Anugerah Teman Yang Nakal

on

Belakangan ini saya dan istri sedang menimbang-nimbang apakah akan memasukkan Si Sulung Samsam ke SMP negeri atau ke SMP swasta. Di satu sisi SMP swasta menjanjikan lingkungan yang lebih steril, fasilitas yang lebih baik dan rasio guru-murid yang lebih kecil, sementara di sisi lain SMP negeri dengan segala macam kelebihan dan kekurangannya -juga menjanjikan lingkungan pergaulan yang lebih luas dan beragam. Sebenarnya kami cenderung memilih sekolah negeri, karena kami berpikir bahwa sudah saatnya Samsam memiliki pergaulan yang lebih beragam. Tetap dengan rasa was-was juga : “Pergaulan remaja Bandung sekarang seperti apa ya?”. Sehingga tercetuslah nasihat istri saya pada si Sulung “Nanti kalau Samsam sudah SMP, berteman dengan teman-teman yang baik-baik ya!” Seketika itu saya mengiyakan nasihat istri saya. Walau kemudian memori saya langsung melayang pada masa-masa SMP dan SMA saya di Jakarta. Apa iya, dulu saya punya teman-teman yang baik-baik? Coba diingat-ingat dulu. Hmmm…

Ternyata iya. Kebanyakan teman saya ternyata adalah anak baik-baik. Saya punya beberapa sahabat dan teman dekat -dan kebanyakan dari mereka memang anak baik. Errr … kalau dibilang baik banget-banget sih enggak juga … mereka nakal juga. Tetap saja kita sering coret-coret grafiti di belakang kursi supir bajaj, nulis rumus kebetan di meja sekolah atau beberapa kali bolos sekolah demi maen gak jelas. Tapi masih batas normal anak remaja lah. *iya gituh?

Saya ini besar di dua kota yang kontras. Sampai kelas 4 SD saya besar di Kota Bandung era mid 80s. Bersekolah di sekolah swasta yang penuh disiplin dengan latar belakang kota yang sejuk, nyaman dan aman. Sejak kelas 5 SD sampai lulus SMA, saya tumbuh dewasa di Jakarta. Saat itu, mulailah babak kehidupan saya di sekolah negeri kota metropolitan, yang panas, penuh emosi, modern dan heterogen.

Beda dengan teman-teman SD di Bandung yang homogen, di mana saya kenal baik sampai kakak-adik dan ibu-bapaknya. (wajar sih, karena mereka tetangga rumah saya juga). Teman-teman di Jakarta lebih heterogen dan berasal dari latar belakang keluarga yang sangat berbeda dengan saya. Di Jakarta saya punya beragam teman -dari yang bapaknya pemulung, sampai yang bapaknya petinggi PSSI. Campur aduk dalam sebuah kelas bagai pasar tumpah yang membuat kangen.

Dari semua teman di Jakarta, saya punya dua orang teman yang sampai sekarang tetap terasa spesial. Dua teman saya ini mungkin masuk definisi nakal dalam kamus umum bahasa indonesia. Dua-duanya sempat jadi teman baik saya. Dua-duanya ditakutin sama teman-teman satu sekolah. Dua-duanya juga ikut mengajari saya tentang apa sebenarnya artinya seorang teman.

Ketika duduk di bangku SMP, ada seorang siswa tinggi besar yang umurnya pun (konon) lebih tua dari pada kebanyakan teman sekelas. Rex namanya (saya gak pake nama sebenarnya ya, tapi teman-teman saya pasti tahu siapa dia lah). Waktu saya belum punya kumis, dia sudah punya kumis tipis agak lebat. Waktu kaki saya masih mulus, bulu kaki dia sudah mulai ikal-ikal keriting. Waktu saya masih takut sama preman pasar, dia udah ditakutin sama preman pasar. Hebat enggak?

Suatu siang dia bilang sama saya, “Ben, lu besok maen ke rumah gue ya. Gue minta diajarin matematika -sambil maen Nintendo. Okeh?” Saya gak berani nolak, tinggi saya cuman 75% tinggi dia. “Rumah lu emang di mana Rex? Gimana caranya ke rumah lu?” jawab saya. Dengan gaya yang enteng dia bilang, “Elu naek aja 610, terus turun di Pasar Blok A”. Saya masih bingung, jadi nanya lagi, “Dari situ rumah lu arahnya ke mana?” Si Rex masih dengan enteng bilang, “Ahhh … lu tanya-tanya aja di sono. Susah amet!”

Besoknya saya beneran naik bis Metro Mini S610 dan turun di depan Pasar Blok A. Kurus, bingung, keringetan, pakai celana pendek biru, berkulit putih dan agak sipit, membuat saya kurang nyaman celingukan di depan pasar. Dan hal yang saya takutkan pun terjadi. Seorang yang kayaknya preman langsung bentak saya, “WOOY, sini luh!” Waduuuh … belum apa-apa udah kelihatan kalau saya bukan orang daerah situ. Jadi dengan agak gemeteran saya samperin si Abang serem yang lagi duduk-duduk bareng empat orang temannya yang penampakannya semi-serem juga. “Mau ke mana luh luntang-lantung di sini?” lanjut dia. Refleks saya menjawab, “Maap, Bang. Gue nyari rumahnya Bang Rex.” Tumben-tumbenan saya nyebut Rex pakai kata sandang Bang, tapi kayaknya emang pas dalam situasi seperti itu saya nyebut semua orang sebagai Abang. “Heeeh? Nyari Bang Rex? Emang lu kenal sama Si Rex?” kata si Abang. “Iya, Bang. Gue temen sekolah Bang Rex. Gue disuruh maen ke rumahnya”, aku saya.

Si Abang langsung nunjuk salah satu temennya, mungkin anak buahnya, lalu bilang “Tuh, denger enggak lu. ‘Ni anak nyari Bang Rex. Anterin sonoh!” Saat itu juga salah satu dari mereka berdiri bilang “Ikutin gue, nyok!” dan saya pun diantarkan sampai ke depan pintu rumah sekitar 200 meter di belakang pasar. “Pantesan Rex gak merasa perlu kasih alamat lengkap rumahnya, semua orang di sekitar pasar kenal sama dia”, pikir saya membatin.

Rex ternyata emang serius minta diajarin pelajaran matematika. Dia sebenernya pinter, cuman kayaknya lebih seneng kalau belajar gak sendirian. Adanya teman kan membuat jauh lebih betah. Bisa jadi juga, ngeliat situasi pergaulan keras di sekitar rumahnya, maka Rex memilih lebih baik ‘mengimpor’ teman belajar dari lingkungan sekolah. Padahal, dari total ‘waktu belajar’  yang kita lakukan, sebenernya kita tetap cuman 50% belajar -sisanya, sesuai janji Rex, kita maen Nintendo .. hohoho 🙂

Yang unik dari belajar di rumahnya Rex adalah selingannya. Tiap beberapa jam ada aja temennya Rex yang gedor-gedor pintu manggil Rex. Pernah suatu saat, begitu Rex buka pintu rumahnya, terlihat salah satu temannya yang tinggi gede, meringgis sambil bilang,”Rex, gue minta madu doong!” Rex, yang kayaknya udah biasa kedatengan tamu macam ini langsung berseloroh, “Alaaaah … lu ditato lagi?”. Sambil meringis dia memperlihatkan tato naga yang terlihat masih bengkak ,”neeeeh … Keren gak, Rex?”. Rex langsung berjalan masuk ke kamarnya, lalu mengambil madu yang diminta oleh teman bertato naga tadi. Badan Rex emang gede, tapi kalau lagi mengobati teman, dia halus kayak perawat. Madu yang diambilnya segera dilumurkan tipis di atas permukaan tato naga yang meradang tadi. Si Tato Naga lalu pergi sambil tidak lupa berterima kasih pada Rex ,”Makasih madunya, Rex!”

Respon Rex selanjutnya selalu membekas di hati saya. Alih-alih bilang terima kasih seperti biasa, Rex berseloroh, “Makasih .. makasih, aje lo. Kerjaan lo ditato mulu … sekali-kali sholat sonoh!” .. hahaha .. Rex emang spesial. Kalau dilihat dari luar, badan tinggi-gede, bulu tebal dan kata-katanya yang ‘terlalu’ terus terang bisa membuat orang percaya bahwa dia preman tulen. Bukan, bro. Kita harus habiskan waktu yang lama dengan teman-teman seperti ini untuk bener-bener mengerti siapa mereka. Rex itu anak pinter yang dibungkus body tank baja. Rex itu preman sholeh, jagoan pasar lokal pun suatu saat akan mulai sholat kalau lama bergaul dengan Rex. Satu hal yang saya suka dari ‘tank baja’ macam Rex adalah tidak ada teman yang terlalu baik dan terlalu buruk untuk dibantu. Dalam situasi seperti apapun, seorang teman layak dapat bantuan dia -itu kode etiknya.

Lain dengan jaman SMP, di masa SMA saya sudah cukup lama beradaptasi dengan kehidupan ibukota. Saya sudah terbiasa berteman dengan siapa saja; dari yang paling baik sampai yang paling nakal, dari yang  fun to be around sampai yang paling ngeselin, dari yang susah bayar uang sekolah sampai anak direktur bank yang kebanyakan mobil, dari teman yang sudah mulai sholat sunat -sampai yang gak pernah kelihatan sholat. They are all good friends, lepas dari latar belakang masing-masing.

Di kelas 2 SMA saya dapat rejeki gak disangka-sangka. Saya yang, mulai kenal main, mulai naksir cewek, dan mulai malas belajar, -mendapatkan teman sebangku yang langka. Dia seorang veteran (*anak yang gak naik kelas) berbadan pendekar a.k.a pendek dan kekar. Anaknya lucu, sekaligus ditakuti sama murid satu sekolahan. Namanya Zig (bukan nama asli lagi, tapi semua teman saya pasti tahu juga).

Walaupun kita baru kenal, ternyata kita kemudian menjadi teman sebangku yang kompak. Kita bahkan sempat naksir cewek yang sama … hehehe .. kompak. Prestasi akademik dua anak yang duduk di bangku pojok belakang ini sama-sama parah. Saya sering bolos sekolah dengan alasan sibuk dengan kegiatan OSIS dan Zig sering bolos sekolah dengan alasan … gak tau apa deh 😀 Tapi prinsipnya sama, kita gak cukup belajar di kelas dan terpaksa mengandalkan keberhasilan ulangan harian dari nasib bagus dan jawaban ujian yang berseliweran dari otak orang lain.

Saya ingat suatu hari Zig datang ke kelas dengan kedua mata merah. “Wadoh. Jangan-jangan semalem dia mabok nih” pikir saya. Zig begitu duduk langsung memohon pada saya untuk jaga kandang. Maksudnya adalah untuk membangunkan dia kalau guru memutuskan untuk jalan-jalan sampai ke wilayah kita di pojok belakang kelas. Kebetulan mata pelajaran pertama hari itu adalah PMP (Bagi yg tidak merasakan jaman Pak Harto, PMP itu singkatan dari Pendidikan Moral Pancasila, yes?). Memang biasanya Guru PMP lebih sering ngajar di sekitar papan tulis, jarang-jarang beliau jalan-jalan sampai ke belakang. Jadi saya bilang pada Zig, “Udah lu sana tidur. Nanti gue bangunin kalau pak Guru nyamperin kemari.”

Tidak disangka-sangka, hari itu beliau memutuskan untuk memeriksa PR essay dengan memberikan paraf di buku PR masing-masing -sambil berkeliling ke seluruh meja. Semua anak segera mengeluarkan buku PR berwarna kuning yang sering disebut buku Kokur alias Ko-Kurikuler. Not me. Saya masih panik. Saya harus membangunkan Zig yang tidur pulas, dan kalaupun dia bisa dibangunkan, belum tentu dia sudah mengerjakan PR. Saya tepok-tepok pahanya, dia tetap tertidur. Saya injak kakinya, dia tetap pulas. Padahal guru sudah semakin dekat. Akhirnya saya sikut rusuknya. Blegg! Zig langsung bangun kebingungan, “Ada apaan, Ben?”. Setengah berbisik saya bilang ,”Tuh, si bapak lagi keliling kelas mau kasih paraf PR essay PMP. Elu ngerjain PR PMP, kagak?” Dengan kepala yang sepertinya masih berat dia malah bilang ,”PR PMP? Buku kokur PMP aja gue gak bawa …”

Jiaaaah …. bakalan kena masalah nih kita, pikir saya. TAPI. Nah ini nih …. teman-teman yang katanya ‘nakal’ biasanya justru sangat kaya solusi dalam keterpepetan. They are the master of improvisation! Zig saat itu tiba-tiba nanya ,”Ben, lu punya buku kokur lagi enggak?”. Bingung merespon saya cuman bisa bilang, “Enggak. Gak punya. Tapi cobain cari di dalam laci. Biasanya suka ada yang ketinggalan buku di dalem laci meja, kan?” *maklum sekolah negeri pagi-sore. Zig langsung merogoh-rogohkan tangannya ke dalam meja, dan … beruntungnya … sebuah buku kuning, entah punya siapa, memang ada di dalamnya. Dia langsung buka-buka halaman dalam buku kuning itu, lalu bergumam “Ya… lumayan lah”.

“Terus mau lu apain itu buku? Buat PR sekarang? Masih sempat gituh?” kata saya. Jawaban Zig benar-benar out of the box, “Gak usah. Biar langsung diparaf aja. Si Bapak kan cuman lewat sambil paraf doang … lagian kacamata dia tebal kan?”. Luar biasa. Itu ide yang NEKAD. Mengandalkan guru yang kacamatanya tebal, Zig mau mencoba membuat si Bapak memberikan paraf di buku PR entah milik siapa -tepat di halaman berisikan essay yang gak nyambung.

Pak Guru terus mengelilingi kelas sambil memberikan parafnya di buku kokur setiap anak. Akhirnya beliau berdiri di hadapan saya. “Mana buku kamu?” katanya. Saya asongkan buku Ko-Kurikuler saya. Sambil tetap berdiri beliau melihat ke halaman yang terbuka lalu memberikan paraf di pojok kanan. Sesudah itu beliau melihat ke arah Zig, “Buku kamu?”. Zig menyodorkan ‘bukunya’ di atas meja, “Ini, pak”. Beliau melihat ke dalam buku selama dua-tiga detik, selama dua-tiga detik juga kita berdua menahan nafas. Gak disangka-sangka … sret-sret-sreeet … Beliau akhirnya membubuhkan parafnya di atas essay gak jelas tsb. Spektakuler! It works!

Tumbuh dewasa di lingkungan sekolah negeri di Jakarta memang pengalaman yang tidak biasa. Terlalu banyak cerita jika harus disadur ke dalam sebuah blog. In the end, saya sendiri akhirnya merasa berhutang budi pada semua teman-teman dan sahabat saya di saat remaja, yang baik dan yang nakal, -termasuk Rex dan Zig. Saya tidak pernah menyesal memiliki teman anak-anak seperti kalian. Mungkin Si Sulung Samsam pun butuh tumbuh dewasa di sekeliling manusia seperti kalian.

“Bisa jadi kreativitas kita saat ini adalah kekonyolan muda yang telah tumbuh dewasa.”

“Bisa jadi keberanian kita saat ini adalah kenekatan masa muda yang mulai jelas alasannya.”

“Bisa jadi kebijaksanaan kita saat ini adalah kebodohan masa remaja yang akhirnya menemukan formulanya.”

—————-

Rumah Nini, Bandung, 11 Oktober 2015

2 Comments Add yours

  1. Dyo berkata:

    Cieeeh superb euy! Sukak tulisannya 😉 lama-lama jadi motivator nih Ben 😛

    Sama, gw juga masih nimbang-nimbang mau masukin si sulung ke SMP Negeri atau swasta lagi. Pertimbang masukin ke swasta sama kya elu, pengen ngasih lingkungan yang “aman”. Tapi pengalaman sekolah negeri itu juga kaya akan “pelajaran hidup”. Cuma melihat gaya gaul anak sekarang yang jauh banget ama kita dlu, masih liat2 dwh heheheh

    Suka

    1. ombenben berkata:

      Dilema ya, Bu Dyo? Samaaaa ….
      Pelajaran saya baru-baru ini sih, ternyata baik di swasta (sekolah SD Samsam sekarang kan di Swasta) ataupun di negeri (kayak kita dulu) tetap saja kita gak bisa ngelepas anak ke sekolah. Musti tetap di tempel dekat-dekat. Memang kayaknya yang susah itu menjaga kedekatan dengan anak, dari mulai kecil terus sampai mereka melalui masa remaja.

      Suka

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.