Hilangnya Situ Aksan dan Banjir Pagarsih. Benarkah berhubungan?

on

Baru tiga hari yang lalu saya mendapatkan kabar bahwa akhirnya di bawah koordinasi Propinsi Jawa Barat, 5 kota/kabupaten dan Lembaga Negara menandatangani kesepahaman untuk mengkoordinasikan penanganan potensi banjir secara bersama-sama, … eh muncul broadcast WA yang juga lumayan viral. Katanya ditulis oleh Pak Hardjono, mantan pejabat BPN yang mengetahui set plan Bandung.

*routine check: saya coba googling keywords ‘Hardjono’ dan ‘BPN’ tapi tidak menemukan pejabat di BPN Bandung bernama tersebut. Walaupun ada kakanwil BPN Banten dan Bengkulu bernama Hardjono. Saya tidak tahu apakah itu orang yang sama.  Rekan-rekan mungkin ada yang kenal? salam hormat pada beliau.

penanganan-banjir-jawa-parahyangan

 

Berikut isi broadcast tersebut :


Renungan sejenak .. ini tulisan pa Hardjono mantan pejabat BPN yg sangat mengetahui riwayat tanah dan set plan pembangunan di kota bandung.

Banjir Pagarsih dan Lenyapnya Situ Aksan

Dulu ketika terjadi letusan Merapi tahun 2010, mengakibatkan banjir lahar dingin yang memutus jalur perjalanan Jogja-Magelang. Semestinya, air banjir di Kali Putih tidak perlu naik ke jalan raya, karena tidak jauh dari tempat tersebut, sudah terdapat jalur sungai yang cukup dalam tempat air seharusnya mengalir. Kemudian, baru diketahui bahwa arah alir sungai tersebut adalah baru dan buatan manusia, merubah arah alir sungai asli yang kemudian ditutup. Maksudnya baik, aliran sungai dibuat lurus, tanpa kelokan. Realitasnya air punya logikanya sendiri, ia mengalir mengikuti jalur alamiahnya. Akhirnya, BNPB selaku pengampu penanggulangan bencana, mengalah mengeruk kembali jalur sungai yang lama, dan membangun jembatan yang sama sekali baru. Berdampingan dengan jembatan lama.

Dalam kasus banjir Pagarsih, saya heran dengan logika masyarakat Bandung yang selalu “hanya” menyalahkan pembangunan di daerah Utara yang dianggap sebagai salah satu faktor penyebab banjir di bawahnya. Mereka lupa, bahwa air banjir di Pagarsih hanya mencari kembali wadah alamiahnya yang sekarang tinggal nama, yaitu Situ Aksan. Sebuah danau dan rawa alamiah, yang sekira hingga limapuluh tahun yang lalu masih jadi salah satu obyek wisata di Bandung. Sekarang nyaris tak berbekas, karena konon pelan2 menyusut, mengering, dan akhirnya menjadi bangunan hunian, pabrik, dan berbagai fasilitas publik lainnya. Padahal dulu orang bisa berlayar di tengah-tengah danau. Situ Aksan pun menjadi penampung air bagi wilayah di sekitarnya saat musim hujan seperti, kawasan Pasirkoja, Holis, maupun Pagarsih.

Situ Aksan adalah jejak danau Bandung purba, yang oleh pemerintah Hindia Belanda tersebut dijadikan kawasan konservasi. Pada zaman kolonial dikenal dengan nama Westerpark. Adapun jalan yang ada diberi nama Westerparkweg (sekarang Jalan Suryani). Situ Aksan bagi kolot baheula pernah menjadi objek wisata favorit hingga era 1950-1960-an. Jadi bila, sekarang banjir terjadi demikian dahsyat, jangan mudah menyalahkan anomali cuaca, hujan yang ekstrim, atau apa pun. Karena itu hanya semakin menunjukkan kita makin kurang arif dan justru memusuhi alam lingkungan kita. Alam selalu bersikap adil, ia punya logikanya sendiri. Air yang jadi banjir itu, dan berkali2 membuat mobil2 mengapung hanyut seolah sampah jalanan itu. Hanya sebuah penanda yang mengingatkan bahwa air juga punya jalannya sendiri. Air sebagai sumber kehidupan manusia, hanya ingin menunjukkan apa dan dimana tempat yang pernah menjadi rumahnya. Dan entah apakah orang Bandung kiwari masih berani mengembalikannya lagi!


(back to ben)

Mohon maaf. Saya tidak meragukan niat baik penulis yang mengingatkan akan pentingnya menjaga wadah alamiah air, seperti danau alami di lingkungan kota, tapi saya agak meragukan akurasi broadcast tersebut.

Saya kebetulan menikah dengan salah satu cicit dari H. Mas Aksan. Ibu mertua saya tinggal di lingkungan Situ Aksan sejak beliau kecil. Ada banyak cerita masa kecil dan masa muda beliau yang tampaknya ‘tidak akur’ dengan kesimpulan broadcast WA tersebut. Di antaranya:

  1. Ibu mertua saya sudah sering berjalan kaki menembus banjir di Pagarsih ketika pulang-pergi sekolah di kala hujan lebat pada tahun 1960an. Ayah mertua saya bahkan bercerita bahwa di tahun 50-an, beliau sudah memperhatikan bahwa air sungai di sisi Jalan Pagarsih pada saat hujan, sudah mulai naik setinggi level jalan.  *see my post other post here 
  2. Situ Aksan sendiri sebenarnya mulai menghilang (di-kering-kan oleh banyak pihak) pada era 70an. Sebelumnya, di awal tahun 1970, ayah mertua saya masih sempat mengajak pacarnya (cieee.. calon ibu mertua saya nih!) untuk berwisata di Situ Aksan. Tapi ditolak oleh sang cewek, karena ibu mertua saya bosan lah main di Situ Aksan. *ibu ‘kan rumahnya di situ juga. boring kali’ … dari jaman dulu deketin cewek memang butuh usaha ekstra 🙂 btw, saya dengar cerita ini dari istri tersayang. #kode

Jadi agaknya sulit disimpulkan bahwa salah satu penyebab banjir di Pagarsih adalah hilangnya Situ Aksan. Karena banjirnya telah mulai terjadi satu-dua dekade sebelum situ-nya kering.

Saya pribadi cenderung mencurigai masalah utamanya adalah mulai terpotong dan ter-belok-kannya aliran sungai di sana –mengikuti rencana pembangunan perumahan dan pertokoan oleh Pemerintah Kolonial Belanda.

Coba deh lihat arah ruas sungai yang sejajar dengan Jalan Pagarsih tersebut. Alirannya mengalir dari barat ke timur. Padahal secara natural aliran sungai sebelum dan sesudah ruas tersebut mengalir dari Utara ke Selatan. Wajar kan, kalau keberadaan bangunan di sana membuat semacam ‘labirin beton’ bagi aliran air. Aliran air  akan cenderung terhambat. Terlebih setelah wilayah sebelah utaranya semakin banyak bangunan-bangunan baru. Maka makin sedikit air terserap oleh tanah dan semakin tinggi debit air di permukaan tanah. Banjir. *asuransi mobil makin laku deh 🙂

Hal lain yang membuat saya meragukan akurasi broadcast WA di atas adalah sebuah artikel Pak  T. Bachtiar, seorang Geograf – Kelompok Riset Cekungan Bandung, yang pernah diterbitkan di Harian Pikiran Rakyat tanggal 5 Juli 2010. Kebetulan saya pada tahun itu ikut membantu Pak Bachtiar untuk mewawancarai para narasumber di lingkungan keluarga Aksan.

Kesimpulan Pak Bachtiar, yang ditunjang lebih banyak data, lebih meyakinkan bagi saya. Somehow, data-data yang digunakan terasa lebih sahih : tinjauan peta topografi 1882, buku Gids Van Bandoeng en Midden-Priangan karya A.A. Sitsma dan W.H. Hoogland tahun 1927, Peta ‘Bandoeng Town Plan’ tahun 1933, serta wawancara dengan saksi-saksi sejarah.

Saya sempatkan menulis ulang artikel Pak T. Bachtiar tersebut ke dalam bentuk digital, yang saya sadur di bawah ini.

p_20161113_091222_1

 


Situ Aksan, Bekas Galian Lio Batu Bata
ditulis oleh T. Bachtiar
Pikiran Rakyat, 5 Juli 2010

Situ Aksan adalah kenangan banyak orang yang terpatri abadi dalam hati. Begitu banyak warga kota masih menyimpan kenangan tentang Situ Aksan di laci hatinya dan bila dibuka sedikit saja, akan keluar menjadi kenangan yang tiada akhir untuk dibicarakan. Tentang kenangan di Situ Aksan ini pernah dimuat dalam Pikiran Rakyat, 19 April 2010, yang mengisahkan bagaimana Situ Aksan menjadi kenangan banyak orang dan menjadi sumber inspirasi banyak penciptaan karya seni, musik, seni rupa, dan film.

Sudah lebih dari empat buku tentang Bandung yang terbit, tetapi sangat sedikit yang membahas asal usul tempat rekreasi air yang melegenda itu. Pada umumnya hanya menyebutkan bahwa Situ Aksan merupakan sisa terakhir Situ Hyang atau Danau Bandung Purba.

Pembaca jarang ada yang mempertanyakan, betulkah Situ Aksan adalah sisa terakhir Situ Hyang?

Bila mengamati Peta Topografi tahun 1882 dengan skala 1:20.000, di sana tidak terdapat situ karena sebagian besar lahannya sudah menjadi sawah dan perkampungan. Dalam peta tersebut, di sekitar tempat yang kemudian menjadi Situ Aksan, sudah ada Lembur Dunguscariang yang memanjang utara-selatan mengikuti aliran sungai di Sisi baratnya dan beberapa mata air di sebelah utara perkampungan yang kemudian dibelah Jalan Raya Barat. Ke timur sedikit dari Dunguscariang, dipisahkan oleh hamparan sawah, terdapat Lembur Andir di utara jalan, dan di selatan jalan terdapat Lembur Sukahaji dan Citepus.

Lebih ke selatan dari Lembur Dunguscariang, terdapat Babakan Sukebirus yang masih dikelilingi persawahan sangat luas yang melebar ke timur hingga Bojongloa dan Astanaanyar, ke Selatan hingga di Cibaduyut. Perkampungan di tengah-tengah persawahan mengäkuti jalan yang menghubungkan Jalan Raya Barat di utara dengan Sekebirus di selatan.

Dalam peta tahun 1882 itu, Jalan Pagarsih belum dibangun. Jalan Kalipah Apo dari arah Jalan Astanaanyar, berakhir di ujung barat jalan, lalu berbelok ke utara menuju Jalan Raya Barat. Jadi, dalam Peta Topografi tahun 1882 belum terdapat Situ Aksan. Perencanaan dan pembangunannya baru sampai Astanaanyar-Cibadak di barat, Tegallega di selatan, dan sedikit ke utara dari rel kereta api.

Demikian juga dalam buku Gids van Bandoeng en Midden-Priangan yang disusun oleh S.A Ritsma dan W.H. Hoogland, terbit tahun 1927. Dalam buku panduan wisata yang terperinci itu, juga belum tercantum Situ Aksan. Ini salah-satu bukti bahwa Situ Aksan belum ada sampai tahun 1927.

Baru pada peta Bandoeng Town Plan tahun 1933, Situ Aksan ada dalam perencanaan Kota Bandung, di sisi paling barat. Pemerintah saat itu membangun fasilitas jalan mengelilingi situ untuk mendukung pengembangannya. Wester Park Weg di sisi barat situ menerus hingga Jalan Raya Barat, sekarang menjadi Jalan Suryani, jalan di sisi timur situ sekarang menjadi Jalan Pagarsih Barat, dan jalan menerus ke utara sampai ke Jalan Raya Barat, sekarang menjadi Jalan Nawawi. Di utara situ terdapat Aksan Weg, sekarang Jalan Aksan. Jalan Kalipah Apo yang semula berakhir di Jalan Astanaanyar, dalam perencanaan tahun 1933 itu diteruskan hingga menembus Sisi timur Situ Aksan, dinamai Jalan Pagarsih.

Di antara rentang waktu 1882-1933 itulah terdapat perubahan bentuk lahan yang semula sawah menjadi situ. Apakah ada kesengajaan untuk membuat situ atau ini merupakan contoh reklamasi yang berhasil dari bekas galian tanah menjadi objek wisata air yang melegenda?

Kalau mengamati sejarah pembangunan gedung-gedung dan perumahan di Bandung, tidak terlepas dari usulan dari seorang ilmuwan dan petualang Dr. Ir. R. van Hoevel yang mengirim surat kepada Gubernur Jenderal N.J. Duymaer van Twist di Batavia. Surat itu berisi, “Mungkin Paduka Yang Mulia tahu bahwa saya telah tergoda oleh angan-angan untuk mendirikan kota besar di dataran tinggi Bandung sebagai suatu koloni bagi bangsa Eropa. Banyak orang menentang pendapat saya, bahkan menyebutnya ilusi dan khayalan yang terlalu diidam-idamkan. Namun saya yakin, cita-cita itu akan terwujud. Adapun selama ini Yang Mulia, karunia Tuhan dalam bentuk keajaiban alam yang terjadi di Gunung Tangkubanparahu, menjadi percuma karena tiada manusia yang melihat, merasakan, dan menikmatinya, kecuali beberapa pengelana yang tersesat seperti saya. Hanya alamlah kemudian yang memiliki kekayaan dan keindahan tak terhingga di sini, akan mewujudkan angan-angan saya yang kelak akan dikenal dan dihargai orang. (Dalam Haryoto Kunto, 1996).

Surat R. van Hoevel itu telah meyakinkan Pemerintah untuk membangun Bandung dan memindahkan ibu kota Priangan ke kota yang mulai tumbuh itu. Secara bertahap pembangunan Bandung mulai terlihat, dibangun Pusat Garnisun Militer, Pabrik Kesenjataan, Departemen Pertahanan, dan Pangkalan Udara Andir menjadi Pangkalan Udara Militer pada tahun 1914.

Berlandaskan surat Perintah Heman Willem Daendels, 25 Mei 1810, Bupati Wiranata Kusümah Il kemudian memindahkan ibu kota Kabupaten Bandung dari Dayeuhkolot ke lokasi Alun-alun Bandung sekarang. Baru pada tahun 1854 Bandung menjadi ibu kota Priangan.

Dalam rentang waktu 1918- 1920, pembenahan dan pembangunan Kota Bandung semakin kuat karena kota ini direncanakan menjadi ibu kota Hindia Belanda. Sedikitnya terdapat seratus gedung kolonial di Kota Bandung, seperti yang dimuat dalam buku dokumentasi Bangunan Kolonial Kota Bandung yang terbit tahun 2001 oleh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Propinsi Jawa Barat. Kalau dikelompokkan berdasarkan tahun pembangunannya;

antara tahun 1860-1890 dibangun 12 gedung
antara tahun 1902- 1917 dibangun 17 gedung, dan
puncaknya antara tahun 1920-1930 dibangun 36 gedung.

Pembangunan terbanyak pada tahun 1920 sebanyak 13 gedung.

Belum termasuk pembangunan perumahan, seperti di daerah Kosambi, Jln. Taman Pramuka, sekitar Lapangan Udara Andir, di Cihapit, Sukajadi, dan sepanjang Jln. Riau.

Sebagai pengusaha, H. Mas Aksan melihat rencana pembangunan gedung-gedung dan perumahan itu sebagai peluang usaha. Maka, ia memanfaatkanlahan sawahnya menjadi lio, tempat dan sumber bahan mentah pembuatan bata merah.

Dapat dihitung kasar, berapa kebutuhan bata merah kalau satu rumah yang dibangun membutuhkan antara 20.000-25.000 bata merah? Pastilah satu gedung besar yang dibangun dengan ukuran besar dan tinggi, kebutuhan bata merahnya semakin banyak lagi, sekurangnya membutuhkan 150.000- 200.000 bata merah. Terdapat seratus gedung kolonial di Kota Bandung, belum termasuk kompleks perumahan, serta gedung-gedung di Cimahi dan daerah-daerah di sekeliling Bandung lainnya. Inilah yang menjadi peluang usaha bagi H. H. Aksan terkenal sebagai pengusaha dari keluarga Pasarbaru berhasil yang tinggal di Jalan Raya Barat, sekarang Jalan Jenderal Sudirman. Logika usahanya berputar menangkap peluang usaha dari pembangunan itu. Karena memiliki sawah sangat luas di Dunguscariang, sebagian sawahnya diolah menjadi bata merah yang memenuhi standar untuk pembangunan perumahan dan gedung- gedung di Bandung.

Material bangunan saat itu terdiri atas pasir, kapur bakar, dan tanah bakar yang dihaluskan. H. Aksan memasok sebagian dari tiga bahan penting, yaitu bata merah, tanah bakar halus, keduanya diolah di Dunguscariang, dan kapur bakar miliknya di Citatah- Padalarang. Pada dasarnya, sekarang pun semen batu itu terdiri atas 40-60 persen kapur giling.

Untuk pembakaran bata merah dan pembakaran kapur, diperlukan kayu bakar. H. Aksan memanfaatkan kayu karet yang sudah tidak produktif dari perkebunan karet miliknya di Nyalindung.

Pengambilan tanah sedalam 1-1,5 meter pada sawah seluas 4 hektare, membentuk lahan yang lebih dalam dibandingkan dengan lingkungan sekitarnya. Naluri bisnis H. Aksan muncul ketika melihat lahan tersebut. Di sebelah barat lahan itu terdapat Leuwilimus, sungai yang mengalir dari arah utara. Karena sudah menjadi bagian dari perencanaan kota tahun 1933, alirannya diizinkan untuk dibelokkan sepanjang 600 meter ke bagian lahan yang lebih dalam itu, membentuk empang, kolam yang sangat luas.

Bila airnya sudah mencukupi, akan dialirkan kembali ke persawahan di sekitarnya. Kesadaran bahwa lingkungan yang rindang akan menjadi tempat yang disukai dan menyenangkan, mulailah menanami lahan darat seluas dua hektare dengan beragam pohon, seperti ki hujan, waru, beringin, cangkring, huni, kopo, loa, campaka endog, geredog atau javsura, kupa, sawo, namnam atau pukih, mangga, asem, dan jamblang.

Dalam lingkungan genangan yang baru, ditanam berbagai jenis ikan seperti mujair, bogo, deleg, gabus, lele, tambakang, gurame, nilem, kancra, kamper, dan ikan emas.

Hanya dalam beberapa tahun, lingkungan baru sudah terbentuk. Makin lama lingkungannya makin rindang. Pepohonan yang berbunga dan berbuah, telah mengundang satwa untuk singgah seperti tonggeret, turaes, kalong, burung cipeuw, ungkut-ungkut, cukahkeh atau raja udang, caladikundang, tikukur, titiran, pipit, peking, esenangka dan gelatik

Lingkungan yang rindang dan banyak ikannya, semula terkenal dengan sebutan Balong Aksan yang dimanfaatkan sebagai kolam pemancingan.

Kemudian berkembang dengan beberapa pembenahan dan perluasan yang akhirnya mencapai empat hektar, Situ Aksan berkembang menjadi tempat rekreasi air yang rindang dan menggembirakan.

———————–

T. Bachtiar, anggota Masyarakat Geografi Indonesia dan Kelompok Riset Cekungan Bandung ***


(back to ben)

Tulisan Pak T. Bachtiar memang relatif baru dibandingkan kebanyakan tulisan lain, tapi saya belum menemukan tulisan-tulisan lain yang menyertakan bukti-bukti yang cukup kuat untuk mengatakan bahwa Situ Aksan adalah sebuah danau alami. Apalagi jika hendak menghubungkannya dengan gejala banjir di Pagarsih. Sebuah wilayah 2 kilometer di timur, bukan selatan (cenderung di pinggir -bukan di bawah bekas lokasi  Situ Aksan).
*coba cek lokasi bekas Situ Aksan dan aliran sungai dalam peta google maps di bawah
(*sengaja saya hi-lite aliran sungai di sekitar wilayah tsb)

aliran-sungai-pagarsih-dan-aksan

Saya juga ingin sekali ada danau seperti Situ Aksan di sana. *akan sangat keren dan romantis. Tapi penting agar kita tetap fokus pada masalah utama : perbaikan desain aliran sungai di atasnya, perbaikan perencanaan wilayah utara Bandung dan perbaikan budaya membuang sampah warga Priangan.

Fokus berpikir dan bekerja yang diarahkan pada (membuat kembali) Situ Aksan, saya pikir tidak akan efektif.

Yang namanya pemerintah, apakah pemerintah kolonial ataupun pemerintah republik, adalah manusia juga. Sama-sama bisa berbuat salah. Dan sama-sama berkewajiban memperbaiki masalah warga. Sok ah mangga, silahkan bekerja. Kalau perlu bantuan kita, para warga Bandung, tinggal call aja ya!

Btw, kalau ada yang tidak percaya bahwa ada urang sunda yang mampu membuat pabrik dan toko bahan bangungan yang mampu menjadi salah satu supplier pembangunan di Kota Bandung tahun 1920-1930an, lalu kemudian membuat industri kreatif pariwisata dengan inisiatif sendiri –di jaman Belanda– mangga dinikmati foto di bawah ini.

 

toko-material-aksan
Iklan Toko Bangunan ‘Aksan’ yang beralamat di Jalan Kebon Jati (no telf 314) di koran Padjadjaran edisi no. 20, 17 Mei 1919. Beliau membangun terlebih dahulu bisnis material bangunan di tahun seribu sembilan ratus -belasan

 

situaksan-jpg
Dari rejeki yang dia peroleh dengan berdagang bahan bangunan, H. Mas Aksan, membangun danau wisata yang sempat menjadi landmark Kota Bandung. Tempat tujuan wisata ini dibangun di atas sisa galian tanah liat, yang sebelumnya ia proses menjadi batu bata yang membangun sebagian bangunan-bangunan awal di Kota Bandung.

Salam dari keluarga!

10 Comments Add yours

  1. Bang Aswi berkata:

    Alhamdulillah, informasi yang sangat berharga, Kang Ben. Semoga selalu ada tulisan2 yang tidak begitu saja cenderung menyalahkan masa lalu atau pemerintah saat ini, tetapi bagaimana cara memperbaikinya. Hatur nuhun ^_^

    Suka

  2. Sigma Adi Setyo berkata:

    artikel ini merupakan second opinion atas BC WA yang viral…. berawal penasaran, jadi tambah informasi dan ilmu…… thumbs up

    Suka

  3. Cecep Wandi berkata:

    jelas tur eces .. tur nuhun kang ben. Salam kenal ti pribados urang bandung Oge mung bubuara di jawa timur 🙂

    Suka

  4. Asep berkata:

    Asalamualaikum lur dulur sadayana, tamba geruh tur ripuh, saena mah mending ngemutan kadang wargi Sa Bandung supados enggal enggal bebenah walungan tug dugi susunan alit supagi merenah kalayan nyekapan pangabutuh golontorna cihujan meh lancar dugi ka pasisian Paris van java, boh ruang Bandung pituin atanapi wargi wargi ti palih katapang soreang arjasari, ciwidey kalih nanjung dugi ciburuy saena mah urun rembug milari bongbolongan anu pang saena kangge urang sadaya. Baraqallah fiikum, Insyaallah.

    Suka

  5. Asep berkata:

    Asalamualaikum lur dulur sadayana, tamba geruh tur ripuh, saena mah mending ngemutan kadang wargi Sa Bandung supados enggal enggal bebenah walungan tug dugi susunan alit supagi merenah kalayan nyekapan pangabutuh golontorna cihujan meh lancar dugi ka pasisian Paris van java, boh urang Bandung pituin atanapi wargi wargi ti palih katapang soreang arjasari, ciwidey kalih nanjung dugi ciburuy saena mah urun rembug milari bongbolongan anu pang saena kangge urang sadaya. Baraqallah fiikum, Insyaallah.

    Suka

  6. Nyimak dulu aja nijh Kang, maklum pendatang. Setidaknya nambah pengetahuan koq area Bandung dan sekitarnya jadi langganan banjir tiap tahun. NUHUN…

    Suka

  7. Her Haerudin berkata:

    Situ Aksan awal 70an adalah sarang perjudian; munasabah kalau banyak yg setuju di reklamasi.
    Saya mau melihat banjir Bandung dari sudut yg lain. 1. Menurut catatan Geologi awal pulau Jawa adalah gunung Patuha, kemudian Secara perlahan lahan wilayah utaranya (hilir citarum) terangkat dari permukaan laut; artinya wilayah utara Bandung dengan berjalannya waktu relatif makin tinggi terhadap Patuha (hulu citarum).
    Kita sebagai kholifah fil ard perlu melakukan upaya penyesuaian, bila kita ingin Bandung tetap eksis.
    Yg saya sarankan membobok mercu curug Jompong. Dengan membobok 3 m saja maka dasar sungai Citarum dengan sendirinya akan makin dalam (tidak perlu pengerukan) pada gilirannya banjir dayeuh kolot dapat turun sampai 1 m bahkan lebih.
    2. Mengenai penanganan “cileuncang” tidak ada jalan lain kecuali denga meresapkan air hujan ke dalam tanah. Beberapa hal yg perlu diperhatikan:
    a. Upaya dengan menanam pohon, tentu

    Suka

  8. didén berkata:

    Pak, bikin tulisan “biografi” Pak H. Mas Aksan dong. Semangat enterpreneurship-nya itu loh, Pak. Patut jadi contoh Preanger muda seperti kita². ☺

    Suka

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.