Sulitnya Memilih Angle Pengukuran PDB dan PDRB Ekonomi Kreatif

on

Awal bulan lalu saya diminta Diskominfo Jabar untuk menjadi narasumber di acara konsultasi regional PDRB (Pendapatan Domestik Regional Bruto) – Jawa Bali Nusa Tenggara, di Cirebon.

Tiga ratus ASN dari berbagai kota dan kabupaten berkumpul di sana. Kebanyakan dari dinas-dinas yang berhubungan dengan pengukuran PDB/PDRB; seperti BPS, Bappeda, Diskominfo, dll

Terus ngapain saya ada di sana? Kan biasanya saya suka menolak jadi pembicara di sebuah seminar, kalau saya tidak merasa punya kompetensi atau punya urusan ngobrol di sana.

Tapi ternyata tema Konsultasi Regional tahun ini adalah ‘Ekonomi Kreatif dalam Akselerasi Pembangunan Ekonomi Digital’.

Wah, sayang kalau dilewatkan. Soalnya belakangan saya menemukan data-data BPS terkait ekonomi kreatif yang menurut saya berpotensi menimbulkan pembuatan kebijakan yang salah di daerah-daerah.

Masa?

Oke, kita mulai dari depan dulu ya. Indonesia adalah salah satu negara yang mengukur output PDB industri yang tidak mengandalkan sumber daya alam, ke dalam 16 sub-sektor Industri.

Industri-industri yang mengandalkan kemampuan ‘kreasi sumber daya manusia’ ini sering kita sebut sebagai ‘Industri Kreatif’.

Mulai tahun 2016, Bekraf dan BPS berusaha mengukur angka produktifitas sub-sektor industri kreatif dalam publikasi PDB (Nasional) dan PDRB (Regional) Ekonomi Kreatif. Niatnya baik, agar pemerintah punya pegangan data awal dan fokus dalam pengembangan industrinya.

Tapi sepertinya angle pengukurannya kurang pas. Terasa aneh jika dilihat oleh pelaku industri kreatif seperti saya.

Gambar di bawah ini adalah tabel PDRB Ekonomi Kreatif Jawa Barat per sub-sektor. Terlihat di sana ada 3 sub-sektor industri yang menghasilkan 90% PDRB Jabar; kuliner, fashion dan kriya.

Arsitektur, penerbitan, TV dan radio jika digabungkan hanya menghasilkan 7% output produktifitas

Sepuluh sub-sektor lain DKV, desain produk, desain interior, visual arts, fotografi, film, animasi, video, performing arts, biro Iklan, musik, apps dan game developer –hanya menyumbangkan 3% pada PDRB Jabar.

Really?

Memang kita bisa merasakan sih bahwa sumbangan kuliner, fashion dan kriya di Jawa Barat memang tinggi. Tenaga kerja yang terlibat di sini pun terasa masif.

Tapi apakah ke sepuluh sub-sektor lain ini memang tidak seproduktif itu?

Saya menghargai usaha mengukur produk domestik bruto industri kreatif yang dilakukan Bekraf dan BPS ini. Tapi ini bisa jadi angka-angka yang berbahaya, jika ditelan bulat-bulat oleh pemerintah di daerah-daerah.

Misalnya jika pemda, pemkot dan pemkab, memutuskan penyusunan budget sesuai prosentase output produk bruto-nya saja.

Nanti mayoritas budget akan dianggarkan untuk industri kuliner, fashion dan kriya -yang menyumbang 90% kontribusi PDRB.

Sementara anggaran pengembangan sub-sektor desain produk, DKV, video, musik, video, fotografi, dll secukupnya saja. Toh, tidak menghasilkan sumbangan PDRB yang signifikan.

Wow, bahaya. Karena kenyataannya, ke 16 sub-sektor ini tidak pernah bekerja masing-masing dalam menjalankan bisnisnya.

Dalam proses penciptaan nilai dan produk di industri-industri kreatif, mereka saling berinteraksi, saling mengisi, dan menciptakan jaringan kerja sama antar pekerja kreatif.

Mereka masing-masing memberi input nilai dalam setiap proses; dari mulai analisa data, pendesainan produk, branding, marketing sampai akhirnya produk terjual secara berkelanjutan.

Lihat gambar di bawah. Sebuah contoh posisi sub-sektor lain bagi industri Fashion.

Bisa dilihat di sana, semua sub-sektor yang menurut pengukuran menyumbangkan PDRB yang rendah, sebenarnya kedudukannya sangat vital untuk industri fashion.

Tanpa desainer produk dan DKV yang kreatif, tanpa fotografer yang mumpuni, tanpa video-video iklan yang menggigit, tanpa startup pembuat App/system yang maju –lupakan pertumbuhan eksponensial dari industri fashion.

It’s an ecosystem, sir. Kita tidak mungkin tidak menyirami rerumputan di halaman depan rumah, hanya karena rumput kita tidak kunjung berbuah seperti pohon jambu di atasnya.

Sepakat, ya?

Tentu saja, kita juga tidak perlu memaksakan pengembangan industri video, app, musik, dst, di kota-kabupaten masing-masing ketika sebenarnya bisa kita sourcing dari kota/kabupaten, propinsi atau negara lain.

Kembali…. It’s an ecosystem, sir. Yang penting tumbuh sehat dan connected.

PS: Terima kasih untuk teman-teman di BPS yang menanggapi masukan saya dengan sangat positif. Ke depannya, mari kita cari cara mengukur yang angle-nya lebih pas.

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Gambar Twitter

You are commenting using your Twitter account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.