Hasil pemeringkatan ini mungkin akan agak mengagetkan bagi generasi X, apalagi bagi Baby Boomers, tapi bagi Millenials mungkin hasilnya akan lebih masuk di akal dan lebih terprediksi.
Bagaimanapun, setiap generasi biasanya memiliki preferensi brand yang berbeda. Yang tentunya sangat dipengaruhi juga oleh kebiasaan dan pola belanja setiap generasi.
Prilaku Baby Boomers, Gen X dan Millenial Ketika Berbelanja
Bagi Baby Boomers, kekuatan sebuah brand sangat dipengaruhi oleh keberadaan offline store dari setiap brand. “Showroomnya di mana?” –adalah pertanyaan kunci untuk membuka dompet generasi ini. Untuk kebanyakan dari mereka, membeli produk pakaian di internet tanpa memegang bahan/materialnya adalah sebuah hal yang hampir tidak mungkin terjadi.
Wajar, karena mereka-mereka ini baru mengenal internet ketika mereka berumur 40-50 tahun. Selama separuh hidupnya, yang mereka kenal sebagai membeli baju, membeli sepatu, membeli tas dan sejenisnya, adalah aktivitas yang melibatkan menyentuh bahan, mencoba fitting-nya dan berbicara dengan penjualnya.
Generasi selanjutnya, Generasi X, sebenarnya lebih fleksibel. Generasi X muda sudah mengenal internet ketika mereka masih kuliah. Sementara Generasi X yang lebih tua mulai menggunakan internet ketika mereka mulai bekerja dan bahkan ada yang baru mengenal internet ketika mereka sudah duduk sebagai middle-manager.
Sehingga konsumen dari generasi ini cenderung memiliki budaya berbelanja yang hybrid, seperti browsing di internet ketika mencari pakaian –tapi tetap membelinya di showroom fisik.
Atau karakter khas lain seperti baru berani membeli di internet, setelah pembelian pertama yang sukses dilakukan di showroom fisik. Maklum, saat mereka mulai berbelanja di internet, layanan e-commerce yang ada, baru berupa platform setengah e-commerce seperti FJB Kaskus dan Grup-grup Blackberry. Di mana isu utama saat itu adalah keamanan dari penipuan belanja online.
Generasi Millenials, di lain pihak sudah mengenal internet ketika mereka masih sekolah. Saat mereka mulai bekerja dan mulai membelanjakan gaji-gaji pertama mereka, platform e-commerce di Indonesia sudah memiliki fitur keamanan dan pembayaran yang jauh lebih mumpuni. Tingkat kepercayaan mereka pada transaksi digital jauh lebih tinggi daripada generasi-generasi sebelumnya, dan sifat khas mereka yang sering mager –malas gerak– adalah kunci transformasi ke arah pelayanan belanja dengan cara digital di masa depan.
Kepercayaan konsumen millenials yang tinggi pada transaksi digital ini acap kali sulit dimengerti beberapa pengusaha dari generasi sebelumnya. Banyak di antara pengusaha ini kebingungan ketika mereka terganggu (ter-disrupt) oleh ribuan brand-brand fashion baru yang muncul di media-media sosial, marketplace dan website-website brand-brand yang relatif masih muda.
Bagi milenials, keberadaan showroom dari sebuah brand, tidak selalu relevan dengan keputusan mereka dalam berbelanja. Tingkat kepercayaan pada sebuah brand tidak lagi menempel pada keberadaan showroom –hal ini dapat digantikan juga dengan review yang positif dari konsumen lain, jaminan pembayaran dan retur barang yang mudah, dan sebagainya.
Hal inilah yang membuat beberapa brand fashion dengan pandai memanfaatkan momen, dengan membangun website-website yang kuat -dan mendatangkan puluhan ribu, ratusan ribu bahkan jutaan konsumen ke website-nya dalam setahun.
Siapa saja merek-merek fashion yang sukses melakukannya?
Penggunaan Tools Similar Web untuk Mengukur Kualitas Webstore
Pemeringkatan ini disusun oleh saya berdasarkan pengukuran yang dilakukan oleh sebuah situs pengukur rangking website di internet bernama similarweb.
Similar web digunakan untuk mengkalkulasikan jumlah pengunjung unik sebuah situs (monthly unique visitor) dengan jumlah halaman yang dikunjungi (page view) dari sebuah website. Hasil kombinasi dua hal ini kemudian digunakan oleh similarweb untuk menyusun ranking per bulan dari semua situs yang diukur berdasarkan tiga kategori; ranking global, ranking negara dan ranking kategori.
Saat ini 5 situs dengan ranking paling tinggi (ranking 1 sampai dengan 5) di Indonesia adalah google.com, youtube.com, facebook.com, tribunnews.com dan instagram.com.
Indonesia sendiri adalah rumah dari jutaan website yang beroperasi setiap harinya –dari total 1,72 milyar website yang online di seluruh dunia.
Sebagian dari website ini berbentuk berbentuk webstore, atau toko online mandiri –bukan toko online di marketplace. Situs jenis ini dibangun untuk berdagang retail pakaian/apparels dengan mencoba menkonversi sekian persen traffic yang datang ke situsnya menjadi penjualan.
Agar bekerja efektif, webstore-webstore ini berusaha mendatangkan puluhan ribu, ratusan ribu sampai jutaan visit per bulan agar bisa menghasilkan revenue yang signifikan. Sebagai patokan kasar, sebuah situs yang bisa mendatangkan ratusan ribu visit per bulan, biasanya sudah dapat membukukan penjualan bernilai ratusan juta rupiah per bulan melalui webstore-nya sendiri.
Tools dan Metode Pengukuran
Untuk menyusun tulisan ini, saya hanya mengambil pemeringkatan situs berdasarkan wilayah negara (Indonesia), dan hanya untuk situs-situs merek fashion androgini.
Saya belum memasukan situs-situs brand khusus wanita dan brand muslimah sebagai sample. Alasannya karena sepertinya brand-brand wanita dan brand-brand pakaian muslimah tampaknya lebih baik disusun dalam liga yang terpisah, mengingat begitu banyaknya brand wanita yang bersaing dan kemungkinan besar tidak akan berpotongan konsumennya dengan brand androgini yang diukur saat ini.
Sebuah diclaimer juga, pengukuran ini dilakukan oleh saya dengan keterbatasan wawasan saya tentang brand e-commerce yang saya kenal. Bisa jadi masih banyak brand-brand lain yang belum saya ukur. Jika tampaknya ada situs brand fashion yang saya harus ukur, silahkan tuliskan alamat situsnya di kolom komentar. Insyaalah akan saya ukur dalam pengukuran selanjutnya.
Oh iya, saat ini saya juga hanya mengukur sebuah brand yang kelahirannya paling lama di era tahun 2000-an. Hal ini untuk membatasi lingkup pengukuran agar tidak terlalu lebar. Serta untuk melihat apakah brand-brand perintis fashion independen di era itu, yang biasa kita sebagai merek distro, masih tetap bersaing dengan kompetitor barunya yang lebih tech-enabled.
Saya juga sebenarnya melakukan pengukuran untuk cukup banyak brand lain. Tetapi jika ternyata ranking website-nya secara nasional tidak masuk ke peringkat minimal 30.000 di Indonesia, maka saya tidak menuliskannya di sini. Karena ranking di atas 30.000 nasional bisa jadi berarti brand tersebut memiliki website, tapi tidak/belum/baru saja membangun brand di atas kekuatan website tersebut. *Asal domain dan servernya di bayar dan brand-nya tetap berdagang secara offline, sebenarnya sebuah brand fashion masih mungkin punya ranking situs antara 30.000 – 200.000 secara nasional
Perlu saya jabarkan, agar tidak tertukar, bahwa:
- Cara membaca urutan Ranking itu seperti urutan ranking di sekolah. Semakin kecil berarti semakin baik. Website dengan ranking 10.300 berarti lebih baik daripada website dengan ranking 12.400.
- Sementara Jumlah Traffic (pengunjung website) kebalikannya. Semakin banyak yang datang berarti semakin baik. Website dengan traffic 100.000 per bulan, berarti lebih baik daripada website dengan traffic 50.000 per bulan.
———–
3rd League Websites

Saya memasukkan website-website dengan ranking antara 20.000 – 30.000 nasional ke dalam liga ini. Hasilnya cukup mengagetkan, di liga #3 ini ternyata berisi campuran brand fashion yang relatif baru dengan brand-brand-brand lain yang lebih senior –tapi tidak cukup kuat ranking websitenya. Perbandingannya hampir 50:50
Umur domain brand-brand starter ini cukup muda, antara 2-7 tahun. Sementara brand-brand yang lebih senior memiliki domain website berumur 12-15 tahun. Artinya brand-brand baru ini berhasil menyusul ranking website brand-brand seniornya dalam kurun waktu 2-7 tahun.
Website-website ini adalah: wadezig.com, mensrepublic.id, maskoolin.com, waltswallet.com, unkl347.com, schofficial.com, porteegoods.com, serta breycompany.com
Similarweb tidak bisa menampilkan secara detil jumlah kunjungan visitor unik per bulan semua situs-ini. Namun mengambil kesimpulan dari beberapa situs yang sedikit lebih tinggi rankingnya, kunjungan pada situs-situs liga #3 ini rata-rata masih di bawah 20.000 pengunjung per bulan. Sebuah angka yang menunjukkan bahwa ada cukup banyak pengunjung datang ke situs-situs ini. Namun jumlahnya masih masuk kategori kecil untuk ukuran situs e-commerce brand Indonesia, dan supply datanya belum cukup stabil untuk dianalisa datanya oleh layanan ranking website di dunia
Dari data-data yang ditampilkan oleh similarweb, terlihat brand-brand starter di liga ini sudah melakukan aktivitas digital marketing berbayar melalui sosial media, namun masih menggunakan anggaran yang relatif kecil.
Sementara brand-brand yang lebih senior justru terlihat tidak memainkan metode-metode digital marketing yang berbayar untuk memperbanyak traffic ke situsnya. Lalu bagaimana caranya website-website brand senior ini dapat menarik pengunjung yang jumlahnya ribuan sampai dua puluh ribu per bulan? Jawabannya adalah kekuatan brand.
Brand-brand yang berumur sekitar 20 tahunan yang masuk ke liga ini, sebenarnya sudah memiliki market yang mereka tumbuhkan sejak lebih dari 10 tahun yang lalu. Ini terlihat dari jumlah instagram followers mereka sudah mencapai angka 200K – 300K. Sayangnya, modal followers mereka yang sudah ratusan ribu ini terlihat tidak bisa diaktivasi untuk memperkuat traffic ke situs mereka masing-masing. Walau tampaknya mereka masih memiliki penjualan offline yang cukup signifikan.
2nd League Websites

Liga #2 ini terlihat berbeda dengan liga di bawahnya. Brand-brand yang bermain di liga ini memiliki peringkat website 10.000 – 20.000 nasional. Menariknya di liga ini akan ditemukan lebih banyak brand starter berumur 2-7 tahun dibandingkan brand yang lebih senior. Sampai saat ini saya hanya menemukan 3 brand yang umur domain websitenya di atas 10 tahun.
Mereka adalah tees.co.id, livehaf.com, maternaldisaster.com, hijacksandals.com, reclays.id, wellborncompany.com, nahproject.com, tufshoes.com, erigostore.co.id, screamous.com, guteninc.com dan nokha.co
Data-data di similarweb menunjukkan bahwa para starter brand ini menggunakan biaya yang sudah mulai agak besar untuk aktivasi digital marketing mereka. Kebanyakan sudah menjadikan social media advertising secara reguler dan dijadikan sebuah backbone bagi pertumbuhan brand-nya.
Di antara mereka ada juga dua brand senior yang sudah mengubah metode marketingnya menjadi lebih digital-based, dengan menggunakan layanan-layanan dari agregator iklan, situs yang berteknologi tinggi, dan layanan tech-lain. Terlihat dua brand ini pun cukup sukses dalam melakukannya.
Situs-situs mereka, baik yang starter ataupun yang senior, dikunjungi antara 20K sampai 120K visitor per bulannya. Pengunjung situs mereka masih terlihat naik turun setiap bulannya. Bisa jadi inilah yang membuat situs mereka tidak bisa tembus di ranking under 10.000 website nasional.
1st League Websites

Di liga paling tinggi, website-website dengan ranking di bawah ranking 10.000 nasional, terlihat justru brand-brand starter lah yang mendominasi. Semua brand yang menduduki liga ini secara konsisten mendatangkan 100K – 500K unique visitor per bulan.
Brand-brand jenis ini jelas telah memiliki sistem teknologi yang baik di belakangnya, seperti:
- Website dengan UX yang baik
- Website dengan kemampuan analisa data yang realtime
- Sistem pembayaran digital yang beragam
- Metode Digital Marketing yang berjalan baik
- Budget Ads yang tinggi dengan pertumbuhan yang baik
- Meng-update konten-konten secara regular dengan arah branding yang jelas, baik di website dan di kanal-kanal sosial medianya
- Sistem manajemen stok dan logistik yang sudah mulai rapih
- Produk yang berkualitas baik, sehingga mendapatkan nilai customer retention yang baik
- Perencanaan finansial yang sudah baik, termasuk penggunaan fintech dalam pembiayaan pertumbuhannya
- dll
Mereka adalah (secara acak): nama-indonesia.com, ciptaloka.com, sepatucompass.com, bro.do, torch.id, geoff-max.com, visvalbags.com, matoa-indonesia.com dan iwearzule.com
Hebatnya, mereka semua mencapai Liga 1 Website Brand Fashion Nasional, hanya dalam tempo 3 sampai 7 tahun saja.
Ini menunjukkan bahwa brand-brand ini sudah memiliki DNA Tech-Enabled Local Brands / TEL Brands. Sebuah pertemuan metode lean startup dengan digital marketing untuk Brand Lokal.
Memang ada satu brand sepatu di liga ini yang umurnya sudah 20 tahunan. Selama belasan tahun brand ini menjual produknya melalui kanal penjualan offline, dan tumbuh lambat sebagai sebuah brand. Tapi brand ini beberapa tahun yang lalu, melakukan sebuah leap of faith, dengan membuat kampanye branding digital yang sangat baik. Hasilnya dalam tempo waktu singkat, didukung kemampuan produksinya yang sudah veteran, dia segera masuk ke Liga 1 Website Brand Fashion Nasional.
Ini pun menjadi sebuah pembuktian dari teori Eric Reis yang mengatakan bahwa (a) metode Lean Startup tidak hanya bisa digunakan oleh sebuah perusahaan startup baru, tapi juga perusahaan lama yang ingin menciptakan inovasi-inovasi baru yang marketnya tumbuh cepat. (b) metode ini dapat dilakukan bukan hanya untuk perusahan pure tech –tapi juga tech-enabled (creative) industries.
Mari Berternak Zebra Untuk Indonesia
Para TEL Brands di Liga #1 sudah menunjukkan bahwa saat ini omset ratusan juta, bahkan milyaran per bulan, mungkin sekali dicapai oleh industri-industri kreatif dalam waktu di bawah 5 tahun.
Bahkan dengan potensi market nasional yang luas, pertumbuhan ekosistem yang sehat, serta kemungkinan yang semakin terbuka untuk melakukan cross-border marketing bagi brand lokal –jelas alternatif pengembangan startup tidak lagi selalu harus terpaku pada perburuan belasan unicorn.
Berternak ribuan startup zebra, menjadi sebuah alternatif yang sangat menarik dan masuk akal bagi Indonesia yang berlimpah akan ide kreatif dan memiliki jutaan bakat entrepreneur yang sedang tumbuh.
Toh, sebuah situs ritel fashion/apparel tidak membutuhkan untuk menjadi situs ranking 1-10 nasional, tapi cukup dengan webstore peringkat ribuan nasional.
Website peringkat 1.000-10.000 nasional pun biasanya sudah menghasilkan omset puluhan/ratusan milyar per tahun. Artinya ada puluhan ribu spot potensial yang siap untuk diklaim oleh entrepreneur-entrepreneur kreatif Indonesia.
Ini juga kenapa sebabnya pemerintah harus mulai memberikan perhatian yang besar bagi pengembangan TEL Brands: Tech-Enabled Local Brands, beserta ekosistemnya. *Btw, TEL Brands adalah istilah yang tidak ada acu an akademiknya, saya baru saja membuatnya ketika menulis blog ini.
Saya pribadi melihat pemerintahan yang lalu, terlalu fokus dalam racing arena unicorn. Yang terbukti secara faktual, ketika mereka berukuran unicorn, justru sebagian besar sahamnya sudah berpindah kepada pemilik-pemilik dari negera lain.
TEL Brands yang berkarakteristik startup zebra (apa itu zebra startup? click here) bisa menjadi sebuah pendekatan alternatif dalam pemanfaatan teknologi dan kreativitas bangsa ini. Membesarkan startup, tanpa kehilangan potensi pajak dan tetap memperkuat devisa negara.
Mudah-mudahan Pak Wishnutama, Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif yang baru, bisa memiliki visi yang jauh lebih beragam dan tajam untuk dunia ekonomi kreatif Indonesia yang tech-enabled.
Ben Wirawan
Co-Founder & CEO of Torch.id
~menyambut 20 tahun menjadi pekerja kreatif di Indonesia
Apakah disetiap kolom #first league atau #second league etc ada gambar kah? Karena di ho ku ga muncul wkwkwk.. Hanya space kosong sajaaa
SukaSuka