Mau bagi pengalaman nih. Kejadiannya sekitar dua tahun yang lalu, ketika saya ngurus surat keterangan domisili perusahaan di kecamatan. Awalnya, rekan saya dari bagian legal bilang bahwa saya harus menyiapakan uang sekitar 1,5 juta untuk pembuatan surat tersebut. Saya ingat komentar saya waktu itu, “Mahal amet pak, selembar doang?” Yang kemudian dijawab oleh rekan saya, “Emang biasanya dari pengalaman memang diminta segitu, Kang Ben.” Namun ketika saya tanya apakah itu biaya resmi, rekan saya langsung berkata bahwa itu bayaran tanpa kuitansinya … waaah ….duit siluman dong.
Kebetulan saya punya dendam kecil pada salah satu staf kecamatan di sana. Dulu saya pernah membuat Kartu Keluarga dan ‘dikerjain’ dengan disuruh bayar uang pelicin agar selesai dengan cepat. Kecil sih, tapi dongkol juga.
Berbekal semangat gak mau dikerjain lagi, saya volunteer pada bagian legal agar saya saja sendiri yang mengurusnya. Targetnya adalah bayar nol rupiah untuk tarif ‘jurig’-nya.
Setelah browsing-browsing internet dan tanya sana-sini, minta izin tetangga, tanda tangan Pak RT dan RW di lokasi, lalu berkas pun dimasukan, terakhir proses pun naik dari kelurahan ke kecamatan. Di sini mulai dapat ‘sinyal-sinyal’ gak enak dari salah satu staf, seperti ‘titip ke saya aja mas, biar saya yang urus’. Semacam gitu deh. Tapi saya acuhkan karena saya harus ngurus sendiri sampai sampai tuntas di kecamatan. Kembali ke target nol rupiah tadi lah.
Ternyata proses berjalan cukup lancar. Gak sesusah itu juga. Yang penting kuat iman. Kalau ada yang ngasih sinyal gak bener, yaaa … acuhkan saja.
Sampai terakhir saya ditelepon untuk datang lagi ke kecamatan. Katanya suratnya sudah siap. Tinggal ditandatangan dan diambil. Tapi entah kenapa saya merasa gak enak dengan janji pengambilan tersebut. Rasanya ada yang salah. Jadi saya pikir saya harus punya rencana matang bagaimana kalau diminta biaya siluman oleh oknum yang nakal.
Cara yang kepikiran oleh saya adalah dengan merekam percakapan dengan HP. Saya pikir kalau ada yang ngajakin gak bener, saya akan kirmkan saja rekaman percakapannya ke Walikota yang dulu baru naik jabatan, Kang M Ridwan Kamil.
Sayangnya, pas di hari H ternyata gak selancar jaya yang saya harapkan. Belum sempat saya setting HP untuk merekam, saya sudah diminta masuk ke sebuah ruangan terpisah. Waduh gak enak perasaan nih, kenapa harus masuk ruang terpisah? Parahnya HP saya malah ‘Lola’ (Loading Lama) di waktu yang genting.
Terpaksa saya improvisasi. Saya membuat beberapa gestur corat-coret di layar HP saya (yang sebenernya gelap), lalu saya taruh di tengah meja antara saya dan Bapak Staf. Mirip seperti wartawan yang sedang merekam wawancara dengan narasumbernya. Si Bapak Staf, langsung melototin HP saya, tapi gak berani tanya sebenernya apa yang sedang saya lakukan. Melihat si Bapak berhasil termakan akting saya, maka saya makin panas. Setiap kali Bapak Staf berbicara tentang sesuatu, saya melirik pendek ke arah HP di tengah meja. Obrolan yang awalnya tentang jenis usaha saya, kemudian jadi melebar kemana-mana dan kurang jelas arahnya. Tapi yang penting gak ada obrolan apapun tentang biaya 1,5 juta.
Akhirnya setelah 20 menit-an. Si Bapak bilang, “Ok deh pak. Cukup. Saya ambil dulu suratnya ya. Sudah ditandatangan kok sama Pak Camat.” Wahahah … bahagianya … bermodalkan HP Lola saya berhasil menangkis ajakan korupsi … Beneran deh … Bahagianya setara dengan menang lotre, bro!
Harus dibiasakan nih. Lain kali kalau buat KTP atau SIM atau surat apa lah, kayaknya kita musti berani bilang ” Bikin KTP-nya #GakPakeKorupsiya, Paaak!” #Prung