Bayangkan ini terjadi pada dirimu.
Pegawai kamu yang kemarin tidak masuk kerja tanpa surat izin, berkata bahwa “Pak, saya kan kemarin sudah beri tahu. Saya kemarin update status di Facebook bahwa saya gak enak badan.”
Harus jawab apa coba?
Ini beneran. Ini pengakuan salah satu teman saya yang harus menghadapi salah satu karyawannya yang menganggap status facebook setara dengan surat dokter. *dokter mark zuckerberg 🙂
Di waktu yang lain saya ketiban curhat salah satu manager bank yang cabangnya tersebar sampai pelosok desa-desa di Indonesia.
Katanya, “Gue sampe pusing, Ben. Saat ini gue kebingungan menempatkan kepala unit bank di desa-desa. Masalahnya adalah untuk mengisi posisi ini, seseorang harus memiliki pendidikan yang cukup tinggi. Tetapi pendidikan tinggi jaman sekarang ternyata tidak menjamin adab, prilaku, sopan santun yang bisa diterima oleh orang desa. Lu tau ‘kan, mana mungkin prilaku di sosial media dibawa ke desa. Kalau gue paksain menaruh mereka sebagai kepala unit di desa, jumlah kredit yang tersalurkan bisa turun. Perbedaan kultur, bro. Mana mau petani dan pedagang pasar berurusan sama orang yang tidak mau paham adab daerah setempat.”
Baru lewat empat hari yang lalu, seorang dosen di sekolah bisnis ternama di kota ini curhat juga pada saya. “Kalau mahasiswa saya ketemu saya di lift. Enggak ada tuh yang senyum basa-basi seperti jaman dulu. Apa emang bawaanya seperti itu sekarang, ya?”
Kejadian di atas masih mending. Tidak ada efek langsung pada orangnya. Dosennya baik hati.
Kejadian lain yang saya pernah dengar dari salah satu teman adalah sebuah ‘kecelakaan lift‘ juga. Tapi lebih fatal. Saat itu teman saya dan boss besarnya berada di lift. Teman saya adalah orang yang sangat paham tata krama, dia posisikan dirinya berdiri di samping-belakang bosnya.
Menuju lantai atas, masuklah seseorang muda. Pegawai baru. Tanpa basa-basi, senyum pun tidak, anak muda ini berdiri dengan ‘gestur penting’nya. Ketika anak muda ini kemudian keluar lebih dahulu dari lift, teman saya dan bosnya meneruskan ke lantai atas.
Sambil memiringkan badannya, Sang Bos berbisik pada teman saya, “Buat apa kamu rekrut anak seperti itu? Sudah dilepas saja.”
Terlalu banyak berkicau juga masalah jaman sekarang. Cerita ini diceritakan oleh seorang teman yang menjadi saksi mata berakhirnya karir seseorang karena twitting. Kejadian ini benar-benar terjadi di sebuah agency di ibukota.
Kejadian bermula ketika salah seorang pegawai agency tersebut merasa bahwa kliennya terlalu banyak permintaan tidak jelas pada sebuah meeting. Lalu apa yang dia lakukan? Dia twit betapa bajin**n kliennya itu.
Halooo … sadar tidak sih semua orang bisa baca twit dia? Termasuk bos-nya dong –yang kemudian memecat dia, satu jam sesudah meeting tersebut.
Saya tidak menulis ini untuk menjelekkan sebuah generasi. Generasi Milenial adalah sesama anak bangsa. Ada masanya, generasi kami pun dulu dianggap aneh. Liberal. Penggemar Musik Setan. Tukang Tawuran. Andis – Anak Disko. Wah … banyak lah titel-titel kami.
Tapi berjalan dengan waktu, sebagian dari si Liberal itu bermetamorfosis menjadi pemimpin yang bijak. Pemusik Setan itu ada yang sekarang ngajinya lebih merdu dari bapaknya. Tukang Tawuran itu udah jadi Inspektur Polisi. Si Andis itu sudah berubah … sekarang hobinya Clubbing. 😀
Saya tipe manusia yang masih percaya pada kebaikan yang dibawa oleh Sang Waktu. Pasti ada alasan kenapa Baby Boomers behave like Baby Boomers, kenapa generasi saya kepincut musik Metal, atau kenapa mata generasi adik-adik dan anak saya nempel di layar Hape. Pasti ada alasan kenapa generasi kita harus melalui jalan yang berbeda. In the end, itu semua jalan yang musti dilalui generasi masing-masing untuk bersiap-siap menghadapi jaman yang berbeda.
Tapi bro, sedikit nasihat dari abang lu nih:
(satu) Jangan gantikan obrolan lisan dengan obrolan jari-ke-jari. Obrolan jari-ke-jari adalah sebuah replika obrolan lisan yang terhambat teknologi. Emotionless. Jangan sampai suatu saat kita menyesal, ketika akhirnya kita dewasa, kita baru sadar emosi kita masih fragile, sensitif, touchy –karena kita terbiasa (dan hanya bisa) berkomunikasi di ranah teks pendek.
(dua) Jangan sampai copy-paste dan blind forwarding menjadi identitas lu. Sama saja tidak punya identitas atuh. Belajarlah menuliskan dan menuturkan isi kepala sendiri. Belajarlah berbicara langsung dengan orang yang tidak sama dengan dirimu. Mungkin dengan itu kamu akan lebih mampu mendengar, dan lebih pandai memilih obrolan yang bermanfaat.
(tiga) Gak ada salahnya belajar budaya orang lain, atau budaya generasi lain. Walaupun katanya kita sekarang hidup di ‘budaya dunia’ yang makin mirip satu sama lain. Walaupun nanti google translate akan semakin canggih —Percaya deh, jangan perlakukan dan pandang orang lain dengan cara yang sama, seperti cara kita memperlakukan/memandang orang lain di thread umum Fb, WA Groups, dst.
Karena kalau kamu saja ingin diperlakukan spesial oleh orang lain, kenapa harus berpikir bahwa orang lain ingin diperlakukan sama oleh kamu. Go out. Make some friends that is not easily connected to the internet. They will teach you something you could not ‘google’.
(empat) Bersabarlah. Choose your battles and fights for what actually matters. Jangan terjebak di dalam perkelahian-perkelahian sosial media tanpa ujung dan berakhir unfriend. Kemampuan kamu memilih peperangan yang bermanfaat akan menentukan setinggi apa karir kamu, bagaimana kamu akan diingat oleh orang lain, bahkan mungkin akan jadi apa bangsa ini 20 tahun lagi.
(lima) Stop menari di atas keyboard. Beraksilah. Pertarungan sebenarnya ada di luar sana. Bangsa kita ini masih banyak yang belum pandai. Mulailah mengajar, mulai menulis, mulailah memancarkan energi positif. Jangan malah berkomentar di sosmed: ‘bangsa terbelakang’, ‘kapan bisa maju?’, ‘dasar Indon’.
Sejak kapan orang bodo dikomentari ‘dungu!’ –lalu jadi pintar?
Salam dari abang lu,
~ombenben
Stop menari di atas keyboard. Beraksilah. Karena kamu tidak bisa melamar pujaan hati kamu dengan ng-email bapaknya … 😀