Pernahkah punya seseorang yang selalu datang menyapamu di wall Fb dengan sebuah sapaan yang khas? Saya punya. Pak Haji sering kali mampir menyapa posting saya dengan kalimat ‘Sukses terus my brother …’ Untaian kata yang sama, –berulang, –darinya, sering saya terima ketika saya update tentang diri saya di dinding facebook.
Sejarah hidup kami tidak dimulai dengan mesra. Dulu pernah saya melama-lamakan sholat dzuhur di Masjid Salman gara-gara sebuah kabar bahwa sesudah waktu istirahat kakak-kakak berbadan besar itu akan datang ke studio TPB SR ITB untuk membantai kami. Adik-adik kelasnya yang nekad mencoret-coret poster intimidasi OSPEK buatan mereka. Lama saya berada di dalam masjid, demi menghindari tatapan matanya dan bisepnya yang hampir seukuran paha saya.
Tapi itu dulu. Dua tahun setelah kejadian itu, kami banyak menghabiskan waktu bertukar kata di malam-malam panjang sambil berkarya. Saya ingat, pertama kali saya belajar merancang mobil, kami ditaruh dalam satu kelompok yang sama. ‘Waduh..’ ujar saya. Bukannya apa-apa, selera kami jelas berbeda. Gaya desain saya tidak pernah sepaham dengan gaya desainnya.
“Ahhhh, ini fender-nya kecil amet sih. Kalo mobil itu fendernya harus lebar, Ben. Biar gagah atuh.” Begitu biasanya dia mengkritik gambar saya. Debat-debat panjang kami harus lalui sampai akhirnya ada kata sepakat untuk rancangan mobil pertama kami.
Pada akhirnya, mobil yang kita rancang lebih mirip dengan seleranya -daripada selera saya. Tidak apa-apa. Saya cukup senang dengan debat-debat bergizi selama proses pembuatanya. Lagipula kemudian kami semua dapat nilai A. Semua happy. Case closed.
Kami berdua kemudian mengambil jalan hidup yang sama. The path of an entrepreneur. Semakin dekatlah kita. Semakin lama kita semakin sadar bahwa ternyata kita tidak terlalu jauh berbeda. Di luar tongkrongan badan kita yang jauhnya bagai Bandung ke Siberia, apa yang ada di kepala -sering kali sama. Pak Haji punya prinsip yang sama dengan saya, bagi kami pengusaha yang lebih tua harus selalu siap menjadi mentor bagi pengusaha-pengusaha muda. Itu sebabnya pintu kantor Pak Haji selalu terbuka bagi anak-anak muda yang menempuh jalur wirausaha.
Kami berdua juga benci pada tikus-tikus korupsi. Pernah suatu saat Pak Haji memaksa saya meeting dengan beberapa orang pemerintahan untuk urusan sebuah proyek. Pak Haji bilang bahwa orang ini bakal berusaha minta uang syetan. Pak Haji keukeuh bahwa saya harus ikut meeting menemaninya. Katanya, hanya saya yang bisa adu debat dengan orang-orang ini. Pak Haji tahu saya tidak mudah melepaskan uang pada orang macam ini. “Tenang, Ben. Nanti gue bantuin. Lu yakinkan saja pada dia bahwa budgetnya pas, gak boleh dikurangi lagi” pesan Pak Haji.
Meeting pun berjalan panjang dan bertele-tele, tapi yang pasti berakhir dengan tidak ada uang syetan yang harus terbang ke neraka. Kami pastikan mereka cukup puas dengan voucher pijat family yang dijanjikan Pak Haji. Itu pun dikasih nanti, setelah beres acaranya.
…… Ujian persahabatan kami terjadi dua tahun yang lalu, ketika kami memutuskan akan berada di rumah yang berbeda dalam urusan pilkada. Saya sempat khawatir, belum pernah saya berada di posisi kontra dengannya -sejak jaman saya sembunyi di dalam Masjid Salman belasan tahun lampau. Saya pun tahu bahwa dia sebenarnya berbagi rasa yang sama : ‘tidak enak pasang posisi kuda-kuda melawan saudara.’
Tapi Allah memang Maha Tahu apa yang menjadi kekhawatiran hamba-Nya. Di tengah pilkada, tiba-tiba kami berdua dipaksa oleh-Nya untuk tinggal sehotel selama tiga hari untuk urusan sebuah lomba desain di jawa sana.
Obrolan tiga hari di jawa, membuat saya makin mengerti apa arti kata ikhlas. Hidup memang unik, saya belajar arti keikhlasan dari seseorang Haji gondrong bertato yang sholatnya lebih repot daripada saya. Setelah debat panjang selama dua hari, dengan suara lembut dia berkata, “Ben, saya akan ikhlaskan apapun untuk Bandung. Tidak usah khawatir.”
Hari ini. Tengah hari saat saya makan siang, dia menyapa saya dengan sebuah doa di dinding Fb, “Sukses terus my brother ….”. Lalu saya tuliskan kalimat pendek, “Aamiin. Terima kasih, Big Bro”. Pak Haji melanjutkan dengan sebuah ide, “Btw tar kapan2 kita colab yu… Untuk Torch dan Comrades… Untuk perlengkapan biker touring.” Saya langsung mengiyakan “Ayo Banget! Keep in Touch.” “Siap…. Respect!!!”, reply-nya.
Kita tidak sempat berbicara lebih detil lagi. Siang tadi saya dikejar-kejar jadwal mengajar sebuah kelas di Jakarta. Rupanya Pak Haji pun ada jadwal main futsal. Tapi saya senang juga, akhirnya kita bisa kolaborasi lagi. Tidak perlu lah merancang mobil seperti belasan tahun yang lalu. Peralatan biker touring, terasa enak terdengar di telinga.
Tujuh jam kemudian. Saat saya masih makan malam di Jakarta, kabar itu menyapa saya. Katanya, Pak Haji sudah tiada…… Kembali, Pak Haji mengingatkan sebuah pelajaran berharga: bahwa kita ini hanya mampu membuat rencana.
Pak Haji Tegep Karyanegara Kami do’akan kubur yang lapang untukmu. Kami do’akan ampunan bagimu. Kami do’akan semoga Allah SWT menerima semua amal baikmu, imanmu dan islammu. Kami do’akan agar keluargamu selalu dijaga oleh Rabb Sang Pemelihara.
Allahummaghfirlahu, warhamhu, wa ‘afihi wa’fuanhu
Ya Allah ampunilah dia, berilah dia rahmat dan sejahterakan serta maafkanlah dia
————
~Tol Cipularang to Bandung, 20 Februari 2016