Deklarasi, pernyataaan bahwa kita berani [100 hari Mendesain Kampanye Juara : Part II]

Captain’s Logbook #2

Pasukan Desain Bandung – RKbdg

 by ombenben

The Mission Impossible Team

———————————————–

“That which does not kill us makes us stronger.” 

Friedrich Nietzsche

Pertanyaan Kang Emil itu singkat, tapi bingung jawabnya. “Ben, mau ya bantu saya jadi koordinator desain kampanye Ridwan Kamil?”.  Wajar kalau jawaban saya, “Heeeeh? Apaan?”. Maksud saya kemarin mendorong-dorong Kang Emil jadi walikota sebenernya sederhana, -biar ada pilihan calon walikota yang sesuai dengan hati nurani. Tentu saja kalau diminta bantuan dalam proses kampanye, saya juga gak bakalan nolak. Tapi jadi Koordinator Tim Desain mah lain cerita. Terus saya musti ngapain? Secara saya mah bukan orang politik.

Tapi kayaknya Kang Emil yakin banget. Suaranya jelas, nadanya tegas, kata-katanya lugas: saya diminta membuat sebuah tim yang tugasnya mendesain konsep dan eksekusi kampanye pencalonan Walikota Bandung untuk dirinya. Para penasihat politik senior di negeri ini mungkin akan mengecam keputusan Kang Emil : mempercayakan kampanye politik pada pemimpin yang tidak berpengalaman dan tim yang belum ada. Hahaha … Cadas, mang! 🙂

Saya pun tidak sepercaya diri itu. Saya langsung mengkontak seorang senior yang lebih terbiasa dengan komunikasi massa macam ini. Maksudnya untuk menawarkan kursi panas itu pada dia. Sayangnya dia bilang bahwa dia bersedia membantu -tapi sebagai penasihat saja. Hadeuuh, lieur oge yeuh. Sepertinya takdir sudah tidak bisa ditolak. Saya harus naik kelas dan belajar modul kuliah hidup level advance –Mata Kuliah HDP481 : Ilmu Menembus Batas Diri … hehehe

Waktu berpikir saya tidak banyak. Saya iyakan saja permintaaan bantuan dari Kang Emil. Kadang-kadang kalau niat baik sudah bulat, kita harus bergerak mengikuti insting, dan membiarkan logika kita bekerja di belakang sebagai background. Kang Emil dan simpul lain pun nampaknya bergerak cepat, saya dihubungi lagi untuk berkumpul di hari Sabtu tanggal 9 Maret 2013 di sebuah rumah di Jalan Eijkman.

Sabtu pagi itu berkumpul beberapa anak muda yang takdir hidupnya berpotongan. Saya datang dengan bala bantuan Kang Hanafi Salman, Chief Designer MahaNagari, yang sudah bulat tekad mau membantu perjuangan. Selain kami, terlihat adik kelas saya Kang Ajun, IT entrepreneur yang dikemudian hari terbukti potensinya jauh melebihi umurnya yang masih muda. Lalu ada Kang Yudi juga di sana, seorang rekan lama di Bandung Creative City Forum, wartawan dan media liason yang gigih, collective dan cerdas.

Selain muka-muka familiar, ada juga beberapa muka baru bagi saya. Di antaranya Kang Arfi, anak muda pandai berpembawaan tenang -yang saat itu saya kenal hanya sebagai adik kelas Kang Emil di SMA 3. Bergabung juga Kang Rezi, yang terlihat sekali sebagai seorang Psikolog. Soalnya dia memang paling kritis mengomentari bahasa tubuh Kang Emil. Kang Elpi juga sudah stand by di sana. Kang Elpi adalah adik bungsu Kang Emil, saya berkenalan dengannya sehari sebelumnya. Perkenalan pertama memberikan kesan super lurus -dia tipe orang yang lebih memilih jalan kaki daripada naik motor tanpa helm. Manusia macam ini sudah mulai langka di Bandung.

Pagi itu kita sempat membicarakan mengenai beberapa hal dasar, di antaranya tagline kampanye Ridwan Kamil ke depan. Berbagai macam tagline kita lemparkan ke papan tulis di depan ruangan, termasuk “Bandung Juara Indonesia” -ide tagline orisinilnya Kang Emil. Ketika kita kerucutkan berdasarkan voting, tagline “Bandung Juara Indonesia” memang masuk ke dalam top 5. Dengan sedikit catatan, saya dan Kang Ajun merasa tagline ini kurang universal. Bandung Juara Indonesia terkesan membatasi visi pada lingkup nasional dan bahkan terkesan menyombongkan diri pada kota lain. Ada yang harus dimodifikasi sedikit, nampaknya. Tapi hal ini tidak sempat dibicarakan lebih jauh karena Kang Emil datang tidak lama kemudian membawa tugas pertama.

Whiteboard Brainstorming Lokasi Deklarasi dan Tagline Kampanye. Tagline “Bandung Juara Indonesia” ada di tengah

“Saya harus mengadakan deklarasi lagi euy”, katanya. Waktu kita bertanya kapan, dia menjawab ,”Besok.” #JengJeng. Tidak pakai komando, tidak pakai pemilihan ketua, semua orang langsung memilih pekerjaan masing-masing. Dengan cepat kita memilih lokasi deklarasi. Dari semua lokasi yang ada dan memungkinkan, kita akhirnya memilih jalan Dago, di depan landmark ‘.bdg’. Alasannya sederhana, karena waktunya mepet, uangnya terbatas dan kita ingin Kang Emil memulai perjuangnnya tidak di tempat mewah. Kalau sebelumnya Kang Emil sudah melakukan deklarasi unik di Blok Tempe bersama warga Kampung Babakan Asih, kali ini kita ingin Kang Emil deklarasi di hadapan warga di pinggir jalan Dago, kebetulan hari minggu kan saatnya Car Free Day -saatnya Urang BandungUnjuk Kabisa. Kang Ajun, yang masih kuat jaringan kampusnya, mengontak beberapa jagoan kampus untuk membantu kita. Eja, Utta, Rea dan kawan-kawannya mulai dilibatkan dan mulai merekrut rekan-rekan lainnya yang siap membantu. Rundown kasar disusun secepat mungkin, pihak-pihak yang akan diundang mulai didata. Tim kecil ini bekerja sangat efisien. Kita optimis tidak akan ada masalah untuk mengadakan deklarasi esok harinya.

Ruang kontrol deklarasi Pencalonan RK sebagai Walikota Bandung
Ruang kontrol deklarasi Pencalonan RK sebagai Walikota Bandung

Sampai tiba-tiba Kang Emil kembali ke Rumah Eijkman membawa kabar baru, ternyata kita perlu mengadakan deklarasi lain di Gedung Indonesia Menggugat -di hari yang sama. #JengJeng lagi! Di atas kertas, tidak mungkin rasanya tim sekecil ini bisa mengadakan 2 deklarasi dalam 1 hari, dengan waktu persiapan kurang dari 24 jam. Tapi .. whatever lah … Do it now and do it quick, itu saja yang ada di kepala saya. Terlebih tambahan kekuatan anak-anak kampus memang sebuah aset yang tidak ternilai untuk hari itu dan hari-hari kampanye ke depan. Mereka suatu saat akan menjadi garda depan penyambung informasi pada para pemilih pemula : 19% dari total pemilih Kota Bandung.

Deklarasi di Car Free Day Dago

——————————————–

“Just do what must be done. This may not be happiness, but it is greatness.”

George Bernard Shaw

Post it note on dot bdg: Pesan dari warga Bandung di lokasi Deklarasi
Pesan Post it notes dari Gubernur Ahmad Heryawan dan Istri
Pesan Post it notes dari Gubernur Ahmad Heryawan dan Istri

Deklarasi di pagi hari dimulai dengan mengajak warga untuk menuliskan aspirasi di atas post-it note yang kemudian ditempelkan ke landmark ‘.bdg’. Ternyata banyak warga yang antusias berpartisipasi. Hampir semua agenda berjalan lancar berkat bantuan pasukan kampus yang tangguh. Pasukan ini bahkan bisa membujuk Pak Gubernur dan Ibu Netty Heryawan yang sedang oleh raga pagi, untuk menitipkan aspirasinya pada kami, tim kecil embrio RKbdg > Relawan Kota Bandung. Bu Netty menuliskan kalimat “For Bandung Clean & Green – @NettyHeryawan, sedangkan Pak Ahmad Heryawan menuliskan kalimat ,”Bandung Bersih, Resik, Tertib, Tidak Macet. Pokoknya Bandung Asri Deh”. Pak Aher nampaknya sengaja tidak membubuhkan tanda tangannya, mungkin karena sebagai kader PKS dia tidak berani mendahului partainya yang memang saat itu belum resmi mengusung Ridwan Kamil sebagai calon walikota. Well … I wouldn’t  know.

Ridwan Kamil dengan beberapa warga yang langsung mendukung pencalonan dirinya. Saya rasa ibu-ibu dan bapak-bapak ini belum tahu potensi sebenarnya seorang Ridwan Kamil.
Ridwan Kamil dengan beberapa warga yang langsung mendukung pencalonan dirinya. Saya rasa ibu-ibu dan bapak-bapak ini belum tahu potensi sebenarnya seorang Ridwan Kamil.

Pukul 9 pagi Kang Emil datang naik sepeda dan mulai menyapa warga yang sedang rekreasi di sana. Berdasarkan wawancara tim video pada para pengunjung Car Free Day, saat itu kepopuleran Ridwan Kamil memang masih belum terlalu luas. Masih banyak orang yang belum pernah mendengar Ridwan Kamil dan kiprahnya. Kalaupun ada, umumnya mereka adalah anak muda dan kaum intelektual. Tapi saya juga mulai memperhatikan betapa cepatnya warga merespons pencalonan Ridwan Kamil. Kang Emil memang memiliki sebuah kharisma yang unik, itu dibuktikan dengan banyaknya warga yang tiba-tiba mengerumuni Ridwan Kamil minta difoto bersama -terutama kaum ibu dan anak muda.

Sesi menyapa warga kemudian dilanjutkan dengan deklarasi pencalonan dirinya di atas mobil kuning yang kebetulan terparkir di tengah jalan. Saat itu, apapun fasilitas yang tersedia kita gunakan. Tidak ada waktu untuk pilih-pilih mimbar 🙂

Deklarasi di CFD ini dapat dilihat di link ini >> http://www.youtube.com/watch?v=kWjkC8BaIQo

Deklarasi di Gedung Indonesia Menggugat

——————————————————-

“All that is necessary for evil to triumph is for good men to do nothing.”

-Edmund Burke-

Sebelum acara di Dago selesai, saya dan Kang Hanafi harus meluncur terlebih dahulu ke Gedung Indonesia Menggugat. Di sanalah acara deklarasi resmi akan diadakan siang harinya. Protokol acara di sana sedikit lebih resmi, dan dalam eksekusinya kita harus bekerjasama dengan simpul relawan lain -para aktivis yang lebih senior yang tidak saya kenal secara pribadi. Saya cuman tahu bahwa sebagian dari mereka adalah orang-orang yang biasanya aktif di Rumah Nusantara.

Acara yang dimoderatori Budayawan Aat Suratin dibuka dengan pengibaran bendera Republik Indonesia dan orasi ‘Indonesia Menggugat’ oleh artis dan sutradara teater Wawan Sofwan. Beberapa tokoh Bandung, dari berbagai generasi, datang memberikan sambutan; Prof. Primadi Tabrani – Guru Besar ITB & Tokoh Kreativitas Senior, Abah Iwan Abdulrahman – Seniman & Penggerak Masyarakat, Kang Ipong Witono – Pengusaha, aktivis budaya dan politik, dan Kang Fiki Satari – Ketua Bandung Creative City Forum.

Dari semua tokoh yang hadir, kehadiran rekan-rekan BCCF; Fiki Satari beserta Tita Larasati dan Rizky Adiwilaga merupakan kehadiran paling berarti bagi saya pribadi. Karena ini menunjukkan bahwa di luar sikap resmi BCCF yang memutuskan netral dalam Pilkada Bandung, sebenarnya mereka sendiri tidak bisa menampik bahwa mereka adalah bagian dari proses politik Kota Bandung.

Ridwan Kamil duduk menyendiri menyiapkan pidato deklarasi, di pojokan ruang Gedung Indonesia Menggugat
Ridwan Kamil duduk menyendiri menyiapkan pidato deklarasi, di pojokan ruang Gedung Indonesia Menggugat

Hal ini penting bagi saya, karena pada awalnya ada kesan bahwa para penggiat komunitas-komunitas di Bandung justru menjaga jarak dari proses politik kota. Well … Di satu sisi saya mengerti keragu-raguan rekan-rekan komunitas, dunia politik Kota Bandung memang jauh dari suci. Tapi di sisi lain kita harus sadar bahwa kotornya dunia politik juga disebabkan karena kita, sebagai warga kota, memilih bersikap diam dan menjauh. Kita menjaga tangan kita tetap bersih dengan membiarkan kota kita dihina dan dikotori.

“Cukup!”. Pesan itu adalah salah satu pesan utama yang disampaikan pada deklarasi di siang itu. Pesan bahwa banyak kelompok masyarakat yang sudah tidak akan tinggal diam ketika Bandung dianiaya, dan kami mulai merapatkan barisan untuk mendukung salah satu putra terbaik Kota Bandung untuk memimpin kita dalam perjuangan ini. Target jangka pendeknya cukup berat, yaitu meyakinkan banyak pihak yang masih ragu, agar mau mendukung Ridwan Kamil sebagai Calon Walikota -tidak boleh kurang. Karena target jangka panjang kami adalah Bandung yang Juara, bukan sekedar kursi empuk di Balai Kota.

Anyway, Kang Yudi – sang media liason, adalah orang paling tegang saat itu. Kesuksesan deklarasi tidak hanya ditentukan oleh lancar tidaknya acara -tapi juga oleh kualitas dan kuantitas liputan media yang akan muncul esok harinya. Ketegangan Kang Yudi sebenarnya beralasan. Di pagi hari muncul kabar bahwa Pak Edi Siswadi juga akan mendeklarasikan pencalonannya di sebuah hotel di Bandung -di jam yang sama. #JengJeng. Akibatnya besar kemungkinan rekan-rekan wartawan akan terbagi dua, dan tentu akan berefek negatif terhadap kuantitas liputan. Tapi takdir baik berpihak pada Kang Yudi, entah kenapa deklarasi Edi Siswadi tidak jadi diadakan. Wartawan berdatangan ke Gedung Indonesia Menggugat, menambah suasana patriotis di dalam gedung bersejarah itu.

"Sepenggal Republik Indonesia lahir di Kota Bandung" kata Ridwan Kamil, merujuk pada pidato 'Indonesia Menggugat' oleh Bung Karno yang dibacakan di gedung yang sama dengan deklarasi Ridwan Kamil untuk Bandung
“Sepenggal Republik Indonesia lahir di Kota Bandung” kata Ridwan Kamil, merujuk pada pidato ‘Indonesia Menggugat’ oleh Bung Karno yang dibacakan di gedung yang sama dengan deklarasi Ridwan Kamil untuk Bandung

*Rekaman deklarasi dapat ditonton di sini >> http://www.youtube.com/watch?v=IZKERcjBLcs 

Dalam orasinya, Kang Emil mengajak warga Bandung untuk menjadi bagian dari sejarah. “Sepenggal Republik Indonesia lahir di Bandung. Mari melakukan perubahan Republik Indonesia dengan memulainya dari rumah kita sendiri -Kota Bandung!” ajaknya. Saya belum pernah hadir dalam deklarasi kandidat calon walikota lain, tapi saya rasa suasananya akan jauh berbeda. Apalagi ketika menginjak acara puncak: berdoa!

Ya, bagi saya puncak acara hari itu adalah ketika Ibu Ridwan Kamil naik ke panggung dan memimpin do’a –bari mapatahan Kang Emil. Sehari sebelumnya saya dan Kang Elpi terlibat diskusi serius ketika salah seorang ulama yang kita harapkan dapat memimpin do’a penutup acara, menolak halus tawaran kami. Sebagai ulama dia memilih tetap berada di tengah, netral terhadap rivalitas politik. Di dalam kalut mencari alternatif, Kang Elpi nyeletuk, “Kalo Ma’ci aja yang memimpin doa, kumaha?”. “Ma’ci teh saha?”, tanya saya yang agak bingung karena berpikir bahwa Kang Elpi menyarankan agar seorang Malaysia yang memimpin do’a. “Oh … Ma’ci teh ibuna Kang Emil. Ibu sayah“, jawabnya. #JengJeng. Saya tersadarkan saat itu, Kang Elpi teh jenius -sepinter kakaknya. Ide yang bagus sekali. Dalam perjuangan seberat ini, do’a siapa yang paling ikhlas dan paling powerful? Do’a Ibu!bener pisan.

Alhasil siang itu saya melihat Kang Emil, dan banyak orang lain matanya berkaca-kaca mendengarkan nasihat seorang Ibu yang mendoakan anaknya yang masuk ke gelanggang politik. “Ridwan Kamil Lahir di Bandung, besar di Bandung, jadi harus mengabdikan dirinya untuk Masyarakat Bandung.”.”Bersihkan Hati, Luruskan Niat. dan niat itu harus semata-mata karena ibadah kepada Allah SWT, dimanapun, pada posisi apapun.”.”Jabatan walikota sebenarnya bukan sesuatu yang harus diudag-udag, yang harus dicari adalah kemuliaan di sisi Allah.“, itu sebagian penggalan nasihat Ma’ci. Silahkan klik link ini untuk flashback mendengarkan nasihat Ma’ci >> http://www.youtube.com/watch?v=j_AFELP84Ns

Partai Politik, Penuh Caci Maki tapi Keniscayaan Demokrasi

———————————————————

Democracy cannot succeed unless those who express their choice are prepared to choose wisely. The real safeguard of democracy, therefore, is education.”

-Franklin D. Roosevelt-

Kalau kita sepakat dengan Teddy Roosevelt, maka dapat disimpulkan demokrasi di Indonesia adalah demokrasi beresiko tinggi. Dengan tingkat pendidikan masyarakat yang relatif biasa saja, maka kita mempercayakan masa depan kita pada suara-suara yang labil: suara yang bisa dibeli, suara yang belum tercerahkan, bahkan suara yang portable -bisa dipindah-pindahkan sesuai kebutuhan konsumen 🙂  Hasilnya adalah kita sekarang memiliki DPR yang juga portable, pindah-pindah suara sesuai kebutuhan sesaat. Suka tidak suka, setuju tidak setuju, -ini kenyataan.

Dalam kasus pemilihan anggota legislatif, masalah defisit calon yang berkualitas menjadi sangat kompleks. Namun hal yang sama tidak perlu terjadi pada pemilihan calon walikota. Ada peluang lebih besar untuk mengajak pemilih untuk memilih calon yang lebih berkualitas -karena pemilihannya bersifat lokal, dengan calon yang lebih sedikit.

Sayangnya fakta itu tidak lantas membuat proses memenangkan sebuah pilkada kota jadi mudah. Keadaan saat ini benar-benar tidak berpihak pada calon-calon dari jalur independen. Mereka harus mengumpulkan fotokopi KTP para pendukung yang jumlahnya minimal 3-6,5% dari jumlah penduduk kota/kabupaten. Mereka harus juga membuat tim kampanye yang mampu bersaing dengan tim-tim parpol yang diperkuat veteran-veteran pemilu. Belum lagi masalah dana kampanye. Lalu kalaupun menang, mereka harus berhadapan dengan fraksi-fraksi DPR/DPRD yang siap pasang kuda-kuda oposisi terhadap program sang pemenang. Fungsi kontrol DPR bisa dengan mudah dimodifikasi menjadi fungsi dikte. Siapakah korban utama apabila terjadi deadlock antara pemerintah dan DPR semacam ini? Tentu saja rakyat, karena program-program pembangunan terpaksa ditunda, atau bahkan diberhentikan.

Well … sistem belum sempurna. Tapi perubahan di Bandung sudah tidak bisa menunggu. Oleh karena itu saya tidak menyalahkan Kang Emil ketika akhirnya memutuskan menggunakan tiket partai untuk dapat bersaing dalam Pemilihan Walikota Bandung. Dalam strategi memperbaiki Kota Bandung, pendekatan ini lebih efektif dalam jangka pendek dan jangka panjang. Walau tentu saja membawa resiko yang tidak kecil.

—–

Hampir satu minggu saya tidak berkomunikasi dengan Kang Emil, karena dia harus terbang ke Amerika Serikat untuk menerima Urban Leadership Award dari Universitas Pennsylvania. Waktu yang singkat ini kami gunakan untuk lebih mengenal simpul-simpul lain Relawan Kota Bandung. Bagi saya Penting sekali untuk mengetahui latar belakang orang-orang yang bekerja sama dengan saya. Prinsip saya sederhana, I’ll do you a favor as long as you are able to earn my trust.

Tidak sampai satu minggu setelah deklarasi pribadi Ridwan Kamil di Gedung Indonesia Menggugat, saya mendapatikan berita bahwa PKS, satu dari sedikit partai di Bandung yang dapat mengajukan calon walikota tanpa koalisi, akhirnya memutuskan untuk menyunting Ridwan Kamil sebagai calon walikota. Tidak lama kemudian muncul kabar yang tidak kalah mengagetkan: Gerindra juga akhirnya meresmikan dukungannya dan berkoalisi dengan PKS.

Sebenarnya perlu juga diketahui bahwa sebelum 2 partai parlemen ini meresmikan dukungannya pada Ridwan Kamil, ada 23 partai non parlemen yang juga telah mendeklarasikan dukungannya kepada Ridwan Kamil. Jadi kalau dijumlah-jumlah ada 25 partai yang mendukung pencalonan Sang Arsitek Muda Bandung. Kesannya banyak ya? Padahal sebenarnya kalaupun suara pemilih 25 partai-partai ini digabungkan, jumlah suaranya masih jauh dari cukup untuk memenangkan Pemilihan Walikota Bandung. Artinya, tiket untuk ikut bertanding dalam pilkada sudah di tangan -tapi jalan menuju kemenangan masih sangat jauh.

Tanggal 16 Maret 2013, akhirnya PKS dan Gerindra mengadakan deklarasi bersama di Gedung Indonesia Menggugat (lagi). Deklarasi berjalan lancar, dengan banyak sekali wartawan yang hadir pada deklarasi kali ini. Sejak awal deklarasi ini memang memang memancarkan sebuah aura yang berbeda. Nampaknya peta perpolitikan Kota Bandung akhirnya berubah dengan secara resminya Ridwan Kamil masuk ke gelanggang kompetisi calon walikota Bandung. Suhu terasa lebih panas dan kader-kader parpol maupun wartawan terlihat agak tegang.

Deklarasi PKS dan Gerindra mendukung pencalonan Ridwan Kamil sebagai Walikota Bandung 2013-2018

BTW, saya mau sedikit cerita petite historie yang terjadi pada siang itu. Awalnya saya dan Kang Hanafi sebenarnya hanya datang untuk membantu menyiapkan backdrop konferensi pers. Tapi ternyata bahasa semantik partai politik kadang bisa sangat kompleks ketika menyangkut dua partai politik dengan ‘warna’ berbeda. Daripada buang-buang uang untuk mencetak banner yang nanti dikritisi partai-partai politik, akhirnya kami pikir lebih baik membuat backdrop grafis sederhana via projector dan memilih warna hitam putih dengan teks standar. Sepertinya cukup adil + netral.

Sayangnya ternyata itu pun belum dianggap cukup adil. Tidak lama setelah kita menampilkan backdrop digital sederhana tersebut, Kang Hanafi yang jadi kuncen projector dihampiri seorang kader Gerindra yang tidak setuju penulisan “deklarasi  …. oleh PKS & GERINDRA”. Menurut dia seharusnya dituliskan “deklarasi … oleh GERINDRA & PKS”. Sebagai pencinta damai, Kang Hanafi tidak keberatan dan menukar posisi kedua partai pendukung. Namun tentunya Kang Hanafi langsung diprotes seorang kader PKS yang beranggapan penulisan sebelumnya sudah benar …. he he he. Lalu ditukar lagi lah posisi kedua partai ini kembali menjadi “deklarasi ….. oleh PKS & GERINDRA”. Well, tentu saja begitu ditayangkan via projector, Kang Hanafi langsung diprotes lagi. Tapi nampaknya Kang Hanafi yang penyabar pun sudah habis kesabarannya. Alih-alih mengedit kembali, Kang Hanafi akhirnya menyuruh paksa kedua kader partai tersebut diskusi dan sepakat dulu di antara mereka, sebelum kembali lagi menghadap kuncen projector 🙂 Kuncen projector juga manusia, punya rasa punya hati …

Kejadian tersebut mungkin terlihat minor dan lucu, tapi ini sebuah pelajaran bagi saya dan Kang Hanafi ke depan. Berbeda dengan para relawan muda yang benar-benar hanya berbendera ‘Bandung’, kader partai tidak bisa lepas dari loyalitas dan rivalitas antar partai. Itu dogma mereka. Yang penting kita lakukan adalah mencari jalan untuk dapat bekerjasama dengan orang-orang yang memiliki nilai-nilai berbeda dengan yang kami percayai, sehingga kita dapat memenangkan Pilkada Kota Bandung dalam 100 hari.

——————————————————-

Tulisan ini dibuat untuk menularkan semangat kerelawanan warga Bandung pada saudara-saudara kami di kota lain. ‘Rumah Indonesia hanya bisa diubah dari batu batanya”, kata Ridwan Kamil, seorang warga biasa yang terpaksa jadi walikota. Jika Indonesia adalah rumah kita, Kota kita adalah batu batanya. Kita adalah tanah liatnya. Mari berhenti mencaci maki, mari berhenti berharap ada Satria Piningit akan menyelamatkan kita. This is no politic, this is about our city, this is about our country.

——————————————————-

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.