Untuk saya, Masjid Nabawi di Madinah memberikan suatu memori yang tidak mudah dilupakan. Menginjaknya untuk pertama kali saja sudah membuat hati saya leyur seperti es krim yang dipandangi terlalu lama. Imajinasi saya tentang pengorbanan Nabi dan sahabatnya menegakkan agama yang saya peluk, terlalu besar untuk hati saya yang kecil ini. Wajar kalau air mata saya sering membasahi karpet hijau tempat saya sujud. Ah biarlah … muslim tinggi besar dari Afrika pun sering saya lihat menyapu matanya kalau berdoa di sana. “Kalau mau merasakan sifat Ar Rahman dan Ar Rahim dari Allah SWT, berlama-lamalah di dalam Masjid Nabawi”, itu kesimpulan singkat saya tentang the Great Green Mosque.
Tapi saya punya satu kenangan personal lain di dalamnya. Di masjid itulah saya pernah merasa terlalu kotor untuk memegang Al Quran. Jangankan untuk memegang dan membaca Al Quran di dalamnya, untuk memasuki pintu masjid saja saya sempat merasa tidak layak. Hehe … dasar manusia.
Ya, selama hampir satu jam, saya sempat takut melewati gerbang Nabawi. Satu jam itu adalah satu jam yang luar biasa menyiksa bagi saya. Satu jam penuh perasaan bodoh, sombong, dan bingung. Baru pertama kali saya merasa sekecil itu.
Kalau tidak salah itu adalah hari kedua saya di Madinah. Sama seperti muslim lain di sana, kerjaan saya adalah keluar masuk masjid, sholat, mengaji, baca al quran, dan memanjatkan doa pada Sang Pengasih. Perlu saya akui bahwa saya termasuk orang yang ngajinya selow. Pelan karena memang tidak terlalu pandai. Sampai Ashar sore itu, sesudah hampir dua hari di sana, saya baru mengaji sampai surat Al Baqoroh ayat 91. Tapi saya sangat menikmati setiap ayat yang saya baca. Saya sering mengaji menggunakan Al Quran yang banyak tersedia di dalam masjid, lalu saya baca artinya di dalam Aplikasi iQuran di dalam handphone saya. Tidak lupa saya bookmark ayat terakhir yang saya baca di dalam HP, agar sesudah sholat nanti saya tahu musti melanjutkan ke ayat berapa.
Mulai hari kedua, memang saya sering datang lebih cepat ke masjid agar bisa mengaji dan sholat di shaf-shaf depan, di lokasi Masjid Nabawi yang asli, di samping Raudhah. Rasanya memang beda jika sholat menghadap langsung ke mimbar di mana dulu Nabi Muhammad SAW mengimami muslim-muslim pertama -empat belas abad yang lalu.
Sayangnya sore itu saya agak terlambat datang ke Masjid. Walau waktu maghrib masih agak lama, rupanya shaf-shaf di samping Raudhah sudah penuh jamaah yang lain. Seharusnya saya berhenti di sana dan shalat di shaf-shaf tengah. Tapi rupanya saya masih terlalu nakal untuk tau diri, ngalah, lalu sholat di shaf yang kosong. Si Benben ini malah merangsek ke depan, lalu berdiri di dekat tiang-tiang penyangga masjid, menunggu dan berharap nanti ketika Azan berkumandang akan ada ruang sedikit untuk sholat di antara jamaah lain yang lebih dulu berada di sana.
Semakin mendekati waktu maghrib, saya baru sadar bahwa itu adalah ide buruk. Semakin sore-semakin banyak orang yang datang. Bahkan ketika Adzan Maghrib berkumandang, saya lihat semua shaf penuh tanpa menyisakan ruang shalat untuk diri saya -di shaf manapun. “Waduh gawat”’ pikir saya. Kalau begini ceritanya, saya harus segera keluar dari masjid. Soalnya begitu imam takbiratul ihram, maka ruang-ruang sujud di depan jamaah lain haram untuk saya injak. Tergopoh-gopohlah saya berjalan cepat menuju pintu keluar, berharap di luar pasti ada ruang untuk satu jamaah lain.
PRAKKKK! Malang sekali saudara-saudara. Kaki kanan saya yang setengah berlari ternyata menendang sesuatu di hadapan seorang jamaah yang nampaknya berasal dari Turki. Tidak tanggung-tanggung, saya menendang Al Quran dan buku-buku lain miliknya. Duh …. hati saya menciut..ut..ut.. ut. Sebenarnya muslim turki itu cukup baik hati untuk memaafkan saya yang panik meminta maaf sambil membantu mengumpulkan kitab-kitabnya yang berserakan. Bukan! Hati saya bukan menciut karena takut pada si Turki. Hati saya nyaris raib dari badan, karena saya merasa bersalah menendang Kitabullah di dalam Masjid Nabawi. Dan itu semua terjadi karena saya memaksa ingin shalat di shaf depan. Padahal saya ingat sekali ajaran guru agama saya dulu: bahwa sebenarnya Nabi Muhammad tidak menyukai prilaku seorang muslim yang telat tapi sok ingin sholat di shaf depan.
Akhirnya dengan hati galau, saya sholat di dekat pintu kanan depan Masjid Nabawi. Masya Allah, gak tenang hati saya selama shalat maghrib itu. Terbayang terus Al Quran yang saya tendang. Sehingga sesudah shalat maghrib, saya melipir keluar masjid dan duduk di teras kanan Masjid. Saya sumuk sendirian di antara orang-orang lain yang shalat, berdoa dan mengaji di teras. Mau shalat sunah gak khusyu, mau berdoa gak fokus, mau ngaji malah takut megang Al Quran –merasa gak layak. Sempat terpikir untuk kembali ke hotel, tapi saya urungkan niat karena tidak lama lagi kan waktunya shalat isya.
Mungkin bagi orang lain, kelakuan saya ini menggelikan. ‘Toh saya gak sengaja nendang Al Quran, biasa aja atuh laah. Jangan Lebay’. Tapi bro, gak tau kenapa, rasa bersalah itu asli. Kayak diri kita tertangkap basah nabrakin mobil kita ke pager rumah presiden. Akhirnya saya celingak celinguk gak jelas, ngeliatin orang lain shalat dan berdoa –sambil mengutuki diri sendiri.
Lama memperhatikan orang lain shalat, akhirnya saya sadar sendiri. Saya kan sedang berada di rumah Allah SWT. Allah yang mengundang saya ke sana. Gak mungkin saya berada di sana, kalau bukan karena izinNya. Kalau berbuat salah sama tuan rumah, yang harus dilakukan si tamu ya sederhana …. minta maaf sama yang punya rumah. Langsung saya buka HP. Buka www dot google dot com, lalu ngetik ‘Shalat Taubat’.
Setelah shalat taubat 6 rakaat dan sujud agak lama, saya baru berani masuk kembali ke dalam masjid, walau memang masih agak gamang sedikit. Saya duduk tidak jauh dari tempat saya menendang Al Quran sebelumnya. Terbayang lagi insiden saat maghrib tadi. Tapi ah sudahlah … saya sudah shalat taubat, mungkin Allah SWT sudah memaafkan saya. Sambil menunggu Adzan Isya, lebih baik saya meneruskan mengaji lagi. Jadi saya mendekati rak di tiang masjid dan mengambil salah satu Al Quran yang ada di sana.
Pada saat itulah terjadi ‘kebetulan yang luar biasa’. Setiap Al Quran punya pita bookmark, kan? Nah, saya refleks membuka Al Quran tsb dengan membuka halaman yang ditandai pita bookmark. Seperti biasa, saya juga membuka applikasi iQuran di HP saya untuk mencari bookmark ayat terakhir yang saya baca sesudah shalat ashar (sepanjang maghrib kan saya gak berani pegang Al Quran). Ternyata … #JengJeng … bookmark di aplikasi iQuran (HP) dan bookmark di Al Quran (yang entah sebelumnya dibaca oleh siapa), menunjukkan ayat yang sama. Yaitu ayat terakhir yang saya baca sesudah shalat Ashar : Al Baqoroh ayat 91!
Mungkin saja sih itu kebetulan: kebetulan orang yang sebelumnya mengaji menggunakan Al Quran tsb juga berhenti di Al Baqoroh 91 (woow, kebetulan satu banding sejuta). Tapi jelas, ‘kebetulan’ itu membuat hati saya lega. Seakan-akan Allah SWT lah yang langsung memberi tanda kepada saya untuk terus mengaji dan tidak perlu merasa tidak layak untuk membaca Al Quran -seberapa rendahpun saya menilai diri saya.
Subhanallah, Alhamdulillah. Terima kasih, Ya Ghofur. Gak akan lagi saya maju-maju ke shaf depan di masjid kalau datang terlambat. Apalagi pakai tendang-tendang Al Quran segala. Bantu saya agar lebih rajin baca Al Quran, Ya Rabb. Aamiin.
—————-
cerita ini ditulis gara-gara ngobrol malam dengan adikku Diana Novianty. Maafkan belum pernah cerita tentang kejadian ini sama istriku Fanny Bratakusuma
Nice share Mas! 👍
Sya juga merasa Alquran itu salah satu media kita untuk berkomunikasi dengan Allah.
Kadang kebetulan yang kita baca sesuai sama yang kita rasakan. Kalau udah begitu makin ngerembes deh air mata. 😂
Duh semoga bisa berkunjung ke nabawi. Aamiin.
SukaSuka