Suatu hari Ustad Aam Amirudin pernah berkata, “Salah satu cara untuk menafsirkan surat Al Ashr adalah dengan melihatnya sebagai kewajiban kita untuk nasihat-menasehati antar sesama manusia dalam kebaikan dan kebenaran. Dengan syarat, jika ingin menasihati manusia lain maka : kira harus punya kesabaran. Tidak mungkin kita bisa menasehati tanpa rasa sabar di hati; hati yang dinasehati –dan terutama hati yang menasehati”.
Ayat ini susah dimengerti oleh saya sampai akhirnya saya mendekati umur kepala 4. *mohon dicatat, mendekati –belum kepala 4 …. Memang menjelang kepala 4 ini sudah lebih banyak jenis manusia yang saya hadapi. Mendekati kepala 4 pula, saya harus menjadi bagian dari sebuah bangsa yang masuk masa akil baliq dalam pergaulan via internet. Betul kan? Internet banyak dipakai di Indonesia tahun 2000an, kebanyakan kita buka akun facebook mulai 2008 an, maka bisa dikatakan umur kita di “internet” adalah 15 tahun. Umur ketika pandai dan (terlalu) percaya diri menjadi satu –jadilah sifat jamak bernama ‘ngeselin’. Akhirnya Internet memang menjadi tempat yang bagus untuk belajar sabar.
Lepas dari kenyataan sejarah bahwa saya adalah salah satu orang yang mendukung Kang Emil untuk mencalonkan diri menjadi kandidat Walikota Bandung 2013-2018, saya kan tetap saja warga kota biasa yang suka kratak-kritik. Sehingga ketika kebetulan ada waktu ketemu sama Kang Emil setelah satu tahun pemerintahannya, saya sempat mengkritik dia. Saya bilang ke dia, “Akang teh kurang banyak melibatkan orang-orang pintar Bandung untuk membantu akang dalam memperbaiki kota Bandung. Kan ada banyak orang pintar di kota ini teh. Di kampus-kampus pabalatak tuh orang pinternya, sok atuh diajakan. Jangan sampai akang jadi terlihat solo karir begitu.”
Kang Emil itu kan gak terlalu putih ya. Jadi kalau dia ‘mikir’ (dan ‘merasa’) dengan keras -dia suka berubah warna agak ungu. *atau bisa jadi karena kita selalu ngobrol malam hari, jadi emang gelap (hehe .. punten ah, kang. Hereuy). Sebenarnya wajar kalau Kang Emil berubah warna jadi agak ungu, malam itu dia sengaja datang ke acara mantan-mantan relawan kampanyenya, dia datang untuk diberi masukan. Jadilah belasan kritik harus dia terima secara bertubi-tubi selama dua jam penuh. Menanggapi kritikan saya, dia akhirnya menjawab, “Saya tuh sekarang sebenarnya lagi belajar ilmu yang sulit. Ilmu Ikhlas. Ternyata itu sulit sekali. Percaya deh, Ben. Saya bukannya tidak mengajak orang-orang pintar ini. Tapi ternyata tidak semua orang mau masuk membantu pemerintah –dengan segala konsekwensinya. Banyak orang baik dan pintar pada akhirnya tidak tahan dengan tantangan dan konsekuensinya. Sebaliknya, justru sejak dulu orang-orang nakal sangat pandai mencari peluang ini-itu dalam pemerintahan. Saya sendiri butuh waktu banyak untuk mengubah pola kerja birokrasi. Sistem yang sudah berlaku berdekade-dekade tidak bisa diubah dalam satu tahun. Makanya, sok atuh ajakain orang-orang pandai dan baik untuk mau bersusah-susah bantuin pemerintah. Jangan biarkan orang itu-itu lagi yang jadi kontraktor pemerintah, konsultan pemerintah, dan sebagaianya.”
Yang saya tangkap dari jawaban Kang Emil saat itu adalah bahwa tidak banyak orang yang mau bekerja dengan pemerintahan karena tingkat “kesulitannya” yang agak tinggi. Mungkin masalah bahwa pegawai negeri yang masih kurang cepat kerjanya, masalah masih ada aja oknum yang minta kick back, dsb. Saya tidak terlalu memperhatikan kalimat pertama dia : “Saya lagi belajar ilmu ikhlas.” Tapi saya gak terlalu perhatian pada topik itu. Saya berpikir bahwa kerjaan walikota adalah kerjaan teknis. Pecahkan masalah teknisnya, then the problem is ‘no more’.
Beberapa bulan berselang, mungkin karena kepepet, Kang Emil mengkontak saya. Malam hari itu dia bilang bahwa ada masalah di Kota Bandung yang butuh bantuan orang-orang kreatif. Dia curhat sedikit, dia menganggap Diskominfo harus dibantu. Metode komunikasi yang dilakukan oleh diskominfo masih kurang gigit –padahal komunikasi publik Kota Bandung perlu segera digenjot. Kang Emil punya banyak rencana pembangunan infrastruktur yang akan ‘mengagetkan’ orang Bandung secara kultur. Misalnya, dia sedang berupaya habis-habisan agar Bandung dalam masa jabatannya harus punya koridor Monorel yang fungsinya mengurangi kemacetan. Tapi sama seperti di negara-negara berkembang lain yang baru membangun fasilitas transportasi masal, maka ‘budaya buruk’ adalah hambatan utama.
Bener juga sih. Saya pernah dengar cerita dari teman saya yang orang Singapura, bahwa salah satu alasan di sana tidak boleh dagang permen karet adalah karena pernah ada kejadian di mana sistem MRT se-Singapura mandeg beberapa menit -gara-gara ada orang yang menaruh sisa permen karet di sensor optik salah satu pintu MRT. (Jika satu sensor malfungsi maka satu pintu tidak akan tertutup, jika satu pintu tidak tertutup maka satu kereta tidak akan jalan, jika satu kereta mogok maka semua kereta di Singapura gak mau maju –the wonder of automation).
Kebayang enggak ‘abuse’ terhadap monorel di tangan orang Bandung yang terkenal karena keisengannya: Jemur baju di tiang monorel –biar lebih deket sama matahari, buka pintu monorel pake obeng lalu duduk di pintu – ‘da hareudang’, atau rambu-rambu di koridor monorel digambar ulang pakai pilox dengan alasan gambarnya kurang indah … hehehe. Gegar budaya dalam merespons teknologi dan sistem baru semacam itu lah.
Kang Emil menyimpulkan bahwa ada beberapa isu yang urgent banget. Bukannya yang lain tidak penting, tapi isu-isu ini adalah masalah yang mendesak dan perlu dibantu pembentukan budayanya melalui komunikasi massa yang terencana. Sebut saja ; kebersihan, disiplin lalu lintas, pedagang kaki lima, kemacetan dan sebagainya. Untuk menegakan budaya disiplin di Bandung, Kang Emil berencana memberlakukan Perda-perda yang sebenarnya sudah ada dari era sebelumnya, namun tidak pernah ditegakkan. Misalnya mengenai denda bagi warga yang buang sampah sembarangan. Kang Emil perlu orang-orang kreatif membantu memikirkan masalah komunikasi massanya agar penegakkan perda ini tidak dinilai sebagai sesuatu yang negatif oleh publik.
Duh, ini mah pekerjaan berat euy. Sebenarnya agak malas, tapi kami pun gak tega kalau membiarkan diskominfo menanggung beban ini. Maka kita coba panggil orang-orang kreatif Bandung lewat sebuah panggilan di Twitter. Gak disangka, dari target cuman 20-30 orang, ternyata terkumpul 80 orang yang merespons siap membantu. Awalnya kita pikir ini hal yang luar biasa, tapi ternyata me-manage ide orang sebanyak itu justru malah sulit. Idenya terbang kesana kemari. Kurang efektif.
Maka kita putuskan untuk mencoba memulai dari tim yang kecil saja agar lebih bisa diorganisir dan terarah idenya. Jika tim ini bisa menemukan ‘form’ bekerjanya, maka kita baru akan perluas jangkauan dan perbesar tim-nya. Untung di Bandung memang pabalatak orang pinternya. Beberapa orang yang siap meluangkan sebagian waktu mulai melakukan riset dan proses kreatif sebagai eksperimen Kampanye Iklan Layanan Masyarakat (ILM) yang dibuat oleh masyarakat sendiri.
Tim ini diisi oleh anak-anak muda (mahasiswa, mahasiswi dan praktisi) di bidang komunikasi, desain dan beberapa orang dengan keahlian lain. Ketuanya pun anak muda, kami yang agak senior menempatkan diri menjadi pembimbing mereka. Akhirnya setelah beberapa bulan berkumpul, berpikir, mengembangkan ide dan bekerja, mereka sepakat untuk mencoba mengeksekusi strategi komunikasinya. Sebuah rangkaian ide yang kalau menurut saya sangat bagus. Eksperimental banget -tapi bagus.
Konsepnya begini, sebelum kita mengarahkan orang untuk mulai mengolah sampah dengan benar, maka kita harus mengingatkan warga untuk disiplin ketika berurusan dengan sampahnya sendiri. Walau sebagian kalangan sudah mulai mengenalkan metode pengelolaan sampah yang modern (which is good dan sangat kami dukung), sebagian besar orang Bandung tetap harus diingatkan tentang hal yang mendasar: membuang sampah pada tempatnya.
Masalahnya adalah kata “Jagalah kebersihan”, “Kebersihan adalah sebagian dari Iman”, dan sejenisnya sudah mulai berubah menjadi sebuah ‘kanji’. Kanji yang semua orang akhirnya tidak mengerti apa artinya –atau lebih tepatnya ‘diabaikan’. Faktanya di Bandung bertebaran tulisan ‘jagalah kebersihan’… tapi di bawahnya teuteup aja sampah bertebaran. Artinya stopping power kalimat dan grafis tersebut sudah ‘tidak ngerem’. Perlu dipikirkan desain dengan ‘stopping power’ yang baru dan lebih mengena kepada target kampanye.
Target kampanye fase pertama adalah anak-anak muda, dengan alasan :
- anak muda termasuk yang banyak buang sampah sembarangan
- selagi masih muda, lebih mudah diubah ‘habbit’nya,
- mereka pengguna sosial media yang aktif, jadi biaya kampanye bisa ditekan seminim mungkin.
Dari sekian banyak skenario, akhirnya dipilih satu yang agak nyeleneh tapi tampak akan efektif. Skenarionya adalah kita coba cari figur orang Bandung yang akan lebih didengar oleh si target kampanye. Ide ini kemudian berkembang karena mulai juga terpikir bahwa setiap orang memiliki ‘figur didengarkan’ yang berbeda-beda. Remaja laki-laki lebih mendengarkan masukan remaja perempuan, begitu juga sebaliknya. Suami lebih segan pada istrinya dibandingkan pada satpol PP. Preman gak takut sama Pak RT tapi biasanya takut sama ibunya sendiri. Bobotoh gak takut sama wasit, tapi segan pada striker Persib, dan sebagainya.
Otomatis jika mengikuti pola pikir ini maka kampanye akan cukup panjang dan memerlukan banyak desain dan dana. Nah …. masalahnya kita tidak punya cukup uang. Tawaran bantuan dana dari Kang Emil kita tolak halus dengan beberapa alasan: seperti masih adanya ‘gap’ komunikasi dengan diskominfo Bandung, yang membuat kami tidak bisa mempercayakan eksekusi kampanye pada mereka. Juga karena Iklan ini sangat eksperimental dan melibatkan metode ‘crowd-sourcing’. Jadi punya resiko yang tinggi. Dana APBD dipakai metode komunikasi eksperimental? Kalau di luar negeri mungkin ini hal biasa. Di Indonesia? Duh gak kebayang konsekuensi politiknya. Di sini banyak politisi yang ganjen, bow. Gak deh, kami putuskan biar kita eksekusi sebagian dulu saja dengan uang hasil patungan kantong kita sendiri. Anggap aja nyumbang untuk mengubah pola pikir dan prilaku warga Bandung. Kami tahu dengan nilai dana relatif sedikit, belum banyak yang bisa berubah tapi setidaknya kami bisa mempelajari banyak hal dari respons target kampanye terhadap iklan tersebut.
Singkat kata tibalah waktunya kita memproduksi Iklan Layanan Masyarakat ini. Setelah beberapa draft ide selesai divisualisasikan, maka waktunya untuk pemotretan. Beberapa mahasiswa dan mahasiswi Bandung dikontak untuk menjadi model. Mereka bersedia melakukannya secara pro bono (gak dibayar)–mereka juga sayang Bandung. Dicari sekian set wording yang di rasa cocok untuk menyentil hati kaum muda.

Berhubung dana patungan kita tidak banyak, kita sepakat hanya akan meluncurkan dulu satu Billboard sebagai pemancing. Semua karakter lain akan kita keluarkan secara bertahap sesuai dengan dana tambahan yang bisa kita dapatkan dari hasil patungan. Sebuah cara unik disiapkan untuk mengakali gaung 1 billboard yang jelas terbatas. Teman-teman muda @SayangBandung punya cara. Yaitu dengan melibatkan para pembaca Iklan untuk juga menjadi pembuat iklan tandingan dalam bentuk ‘Meme’. Bagi yang tidak familiar dengan Meme mungkin definisi ini bisa membantu >> ‘Meme : a humorous image, video, piece of text, etc. that is copied (often with slight variations) and spread rapidly by Internet users.’ Tujuannya agar ‘messege utama’ akan secara viral tersebar pada publik. Keinginan membuat meme ini harus muncul secara natural, jadi tidak boleh diiming-imingi oleh hadiah dan sejenisnya. Otomatis, iklan pancingan pertama harus sangat ‘nendang’ agar keinginan berpartisipasi dari publik lahir secara natural dan massal.
Pemilihan desain final bukan hal yang mudah, setiap orang memiliki pendapat dan ‘set values’ yang berbeda. Debat sana-sini yang nyaris gak berujung. Nyaris –tapi ada kok ujungnya. Sebuah desain final akhirnya dipilih dan siap dicoba diluncurkan. Iklan dengan bintang si Iis dipilih menjadi iklan pemancing. Iklan pertama ini bukan hanya harus bisa membuat orang malu membuang sampah sembarangan dan memberitahu bahwa akan diberlakukan denda dari Pemkot, tapi juga harus sukses memancing keinginan orang lain untuk membuatkan versi meme-nya di Internet.
Desain iklannya cukup sederhana. Didesain sengaja sebagai ‘spoof’ (versi humor) dari iklan kosmetik –tujuannya agar tidak terlihat sebagai rambu larangan (yang tidak disukai orang). Di dalamnya digambarkan seorang mahasiswi bernama Iis (agak dandan seperti dalam iklan kosmetik) yang berkata ,”Pilih mana, bayar denda karena nyampah atau traktir aku?” Maksudnya kalau punya uang lebih baik dipakai nraktir teman atau pacar, daripada menghabiskan uang untuk bayar denda –makanya jangan buang sampah sembarangan. Jika diperhatikan, dalam kalimat ini ada dua bagian yang dapat dipenggal: (1) Bayar denda karena nyampah (2) atau traktir aku. Nah bagian pertama ‘bayar denda’ sengaja dibuat fixed, dan bagian kedua ‘traktir aku’ sengaja dibuat mengambang –biar bisa ‘dimainkan’ oleh ‘publik’ menjadi meme-meme baru. Biar rame!
Tidak lupa di beberapa tempat ada bagian-bagian yang non-editable. Seperti bagian berwarna ungu di bawah yang bertuliskan “Buang sampah sembarangan mengakibatkan denda hingga 50 juta rupiah. Buanglah sampah pada tempatnya” –sebagai pesan utama. Lalu ada juga, logo pemkot Bandung (biar kelihatan ini serius, bukan bohong2an) dan ada logo Sayang Bandung. BTW, komunitas ini sengaja menamakan dirinya ‘Sayang Bandung’ agar tidak terlalu rigid dan eksklusif. Siapapun boleh dong sayang sama Bandung, tul?
Ketika hari H datang, kawan-kawan @SayangBandung mulai memasang Billboard (yang hanya satu buah), dan mengajak beberapa teman untuk mulai membuat meme-nya. Dengan bermodal partisipasi hanya beberapa teman komunitas, ombak meme #SayangBandung mulai pecah. Puluhan meme muncul tanpa diorkestrasi. Meme #SayangBandung is going Viral! *Silahkan ketikkan ‘sayang bandung’ di google, teman2 akan mengerti maksud saya.
Sampai saat ini mungkin sudah lebih dari seratus meme berkeliaran di internet mengajak warga kota untuk tidak membuang sampah sembarangan. Berbeda dengan Bekasi yang (sayangnya) justru di-bully melalui Meme, Bandung justru terbantu oleh munculnya budaya Meme di Indonesia. Alhamdulillah, sebagian besar tanggapan publik terhadap kampanye ini adalah positif.















Banyak review positif muncul di media. Bahkan seseorang (I don’t know who) memposting thread mengenai iklan layanan masyarakat #SayangBandung dan berhasil menjadi Hot Thread Kaskus sepanjang 70 halaman. *Di sana koleksi meme-nya lebih lengkap silahkan mampir ke sana >> http://www.kaskus.co.id/thread/5458ebe032e2e6f36e8b4576/kumpulan-meme-kampanye-sayang-bandung

Tapi bukannya tidak ada kejadian yang negatif, namanya juga kampanye eksperimental. Beberapa meme yang muncul dari publik ada menggunakan politisi sebagai tokoh sentralnya. Lucu sih, tapi kami tidak suka juga kampanye kebersihan digunakan sebagai alat perang saudara. Ada juga seorang pembuat meme yang rupanya mencomot foto seseorang model tanpa izin, dan kebetulan model tersebut keberatan. Untungnya akhirnya dua pihak tersebut dapat berkomunikasi dan kemudian berbaikan. Itu sebabnya, sejak awal kita cukup aktif mengawal jalannya kampanye ‘crowd sourcing’ ini di Internet, jika ada varian kampanye yang kami anggap negatif, kami berusaha ‘timpa’ dengan kampanye yang lebih positif. Agar arah kampanye ini tetap terjaga.
Belajar dari respons publik Iklan Layanan Masyarakat fase I, sebenar komunitas Sayang Bandung bermaksud untuk mulai menyiapkan kampanye lanjutannya. Meneruskan kampanye kebersihan dengan menggunakan karakter-karakter lain yang sudah disiapkan, kampanye mitigasi bencana kebakaran dengan ide kreatif yang sama sekali berbeda dengan kampanye kebersihan, membantu komunitas lain dalam mendesain dan merancang sebuah sistem penukaran sampah rumah tangga menjadi tabungan/beasiswa, dan ide lain.
Tapi belakangan, ada hal yang kami tidak sangka-sangka. Munculnya protes dari beberapa orang di halaman Fb yang menganggap bahwa iklan original ‘Iis’ adalah iklan yang sexist –merendahkan perempuan. Ini agak mengagetkan bagi kami. Karena setidaknya 5 orang di antara kami, anggota komunitas kecil ini, adalah perempuan. Kami tentu beranggapan bahwa jika iklan ini sexist, teman-teman perancang yang perempuan sudah memprotes (setidaknya memberi masukan) sejak awal.
Setelah saya baca puluhan caci maki dan beberapa kritik di wall tersebut, saya mulai mengerti bahwa masalah utama adalah ‘persepsi’. Paduan antara figur perempuan cantik dan kalimat ‘Pilih mana, bayar denda karena nyampah atau traktir aku’ yang di kalangan target kampanye (anak muda) diterjemahkan sebagai ‘Jangan sampai kena denda karena nyampah. Kalau punya uang lebih baik nraktir teman atau pacar’ –ternyata bisa dipersepsikan berbeda di kalangan lain. Kalangan warga lain yang lebih concern mengenai gender equality, ada yang menterjemahkannya sebagai ‘perempuan bisa dipakai untuk pengganti membayar denda’. DUH…, sebagai orang yang dibesarkan oleh seorang ibu yang berkarir cukup tinggi dan ayah yang jago memasak -di situ kadang saya merasa sedih. Iya gituh saya ini sexist?
Persepsi memang bagaikan karet gelang, it shrink and stretch, tergantung dari latar belakang orang yang melihatnya. Saya coba mengevaluasi situasi dengan melihat beberapa kasus persepsi.
- Masih ingat kan kasus clothing Indonesia Salvo_ID yang meyablon kalimat ‘Washing Instruction. Give this jersey to your woman. Its her job’. Hampir semua orang yang saya kenal, termasuk saya, menganggap bahwa Salvo_ID bener-bener keterlaluan. Walau persepsi tentu saja ibarat karet, dalam kasus Salvo_ID yang menggunakan bahasa Inggris dan menjual kaosnya di Indonesia, menurut saya ini adalah keputusan yang 90% bloopers. Gak bijak. Bagaimana menurut orang Arab Saudi? I don’t know, they have their own values. Tapi kembali, iklan ini ada di Indonesia dan berbahasa Inggris pula. Publik Indonesia dan orang yang berbicara bahasa Inggris harus menjadi perhatian utama. Dalam hal persepsi ‘perempuan sebagai tukang cuci’, nampaknya kebanyakan orang Indonesia, Inggris dan Amerika satu pandangan. Kompak!
- Iklan rokok A Mild pun kemarin sempat bermasalah. Iklannya menggambarkan dua orang pemuda pemudi yang bergandengan dengan posisi kepala sangat berdekatan dengan wording ‘Mula-mula mau lama lama mau. Go Ahead’. Iklan ini pun langsung diprotes keras kebanyakan orang-orang yang saya kenal. Kebanyakan orang langsung mempersepsikan bahwa ini artinya “Go Ahead, dia mula mula malu tapi lama lama juga mau. Cium aja!”. Persepsi seperti ini jelas bertabrakan dengan nilai kebanyakan orang indonesia yang tidak menganggap seksualitas boleh dipertontonkan sevulgar itu. Bloopers? Saya pikir iya. Tapi saya juga berpikir bahwa dalam kasus iklan yang kedua, orang-orang Inggris dan Amerika tidak akan sepakat dengan orang Indonesia. Betul?
Jadi memang adalah sesuatu pekerjaan tidak mudah untuk memperdebatkan (apalagi menyamakan) sebuah persepsi di antara orang-orang yang berlatar belakang berbeda. Never the less, membicarakannya adalah hal yang perlu. Oleh sebab itu, saya sepakat untuk bertemu dan berdiskusi dengan teman-teman yang mengkritik minggu besok (29/3/2015).
Saya tidak pernah takut pada kopi darat. Dalam posisi apapun, yang namanya good old kopi darat lebih sering membawa output positif. Yang saya agak takut adalah kopi internet –apalagi sosial media. Kebanyakan penduduk dari bangsa yang sedang ‘Akil Baliq Internet’ ini rupanya gak sadar bahwa dirinya sedang akil baliq. Punya anak remaja? Atau masih ingat masa remaja? Ketika segala macam kita tabrak. Meja ditabrak, pintu dibanting, aturan diinjak. Pokoknya ‘gue’ adalah central of the universe. What I thik is what matter. What you think doesn’t matter.
Inilah yang terjadi dalam ‘kopi internet’. Sering banget kan kita menemukan komentar-komentar kasar di internet tuh. Paling parah adalah kometar di media-media komersial yang paling suka mengadu domba pembacanya. Satu-satunya hal yang lebih buruk daripada beritanya adalah kolom komentarnya yang beramai ramai ‘memukuli si pesakitan’ –kasar dan tidak punya arah.
Kebiasaan berkomentar keras dan menyakitkan ini sudah bukan eksklusif milik media komersial, tapi sudah mulai masuk ke wilayah privat kita: di wall Fb kita, di timeline Twitter kita, dan entah di mana lagi. Kita ini sudah menjadi bangsa yang melakukan katarsis –dengan cara menyakiti orang lain menggunakan keyboard.
Dalam kasus kritik di wall FB terhadap kampanye Iis @SayangBandung, selain kritik-kritik yang layak dijadikan masukan -tentu saja noise politik langsung masuk ke dalamnya. Maklum inisiatif #SayangBandung bersinggungan sedikit dengan Walikota Bandung. Padahal semua konsep kreatif, pemilihan model, wording, dan ide kreatif -bisa dikatakan mandiri dilakukan oleh anggota komunitas. Keterlibatan Walikota Bandung hanya pada menyadari bahwa ada kebutuhan Iklan Layanan Masyarakat yang lebih kreatif dan efektif. Bahkan tidak ada dana satu rupiah pun yang berasal dari dana pemerintah atau rakyat. Kecuali kalau kita, yang membuat dan yang menyumbang, disebut rakyat juga.
Words is mightier than sword. Begitu kan ramai digaungkan ketika kejadian #JeSuisCharlie? Jadi semua orang sudah tahu walaupun hanya gabungan kata-kata, sebuah kalimat jika diniatkan pedas maka sakitnya bisa lebih parah dari belati.
- “… walikota tapi mentalnya mirip stand up komedian kelas teri …” ,
- “Stop buang sampah kreatif ala seksis”,
- “Sama sekali tidak kreatif –hentikan!”.
- “Jangan hamburkan uang rakyat untuk membuat kampante tidak kreatif seperti ini”
- Ada pula orang Surabaya yang langsung membandingkan Kang Emil dengan Ibu Risma (*for what?)
- dan banyak noise lain yang diketikkan lebih sebagai katarsis bukan dengan niat demi kepentingan bersama.
Saya jadi mikir, perlu setajam itukah kita dalam menyampaikan kritik dan menuliskan pikiran kita di sosial media? Sampai kita menghilangkan prinsip dasar lain yang sama pentingnya, yaitu ‘Jangan menyakiti orang lain’.
You know what, walaupun sudah menjadi resiko profesinya, sedikit banyak, seorang desainer (muda) akan sakit hatinya ketika karyanya dikatakan ‘sampah’. Sakitnya dijuluki ‘pembuat sampah kreatif’ bagi desainer itu kurang lebih sama dengan menjuluki ‘tidak becus ngurus anak’ bagi seorang ayah atau seorang ibu. Pernahkah kita berpikir ke sana?
Tidak perlu kan saya gambarkan sakitnya dijuluki membuang-buang uang rakyat, padahal justru kita menyisihkan pendapatan pribadi untuk kepentingan orang lain? #SakitnyaTuhDiSini #NunjukHatiDanDompet
Pernah terbayang enggak kalau anak pertamanya Kang Emil (yang sudah SMP) tiba tiba membuka FBnya dan membaca komentar Fb yang mengatakan bahwa bapaknya adalah walikota dengan mental mirip stand up komedian kelas teri? *Di mana bisa kita ambil nilai positif dari kritik seperti ini?
Cara kita memberikan kritik kadang sudah kayak orang yang lupa bahwa SEMUA manusia punya hati. Percaya deh prinsip ini: “Kitik positif pun akan berasa seperti racun ketika yang disasar adalah hatinya –bukan tindakannya.” Prinsip di atas ternyata sudah banyak dilupakan oleh kita ketika kita mengkritik seseorang –apakah itu bawahan, atasan, pemimpin -apalagi orang yang kita tidak kenal. Apalagi di sosial media.
Tarik nafassssss ….. ffffffffff. Sahabat-sahabatku fellow indonesians, saya langsung ingat jawaban Kang Emil tahun lalu ketika saya memberikan kritik pada metodenya..” “Saya tuh sekarang sebenarnya lagi belajar ilmu yang sulit. Ilmu Ikhlas. Ternyata itu sulit sekali ……” Wah … rupanya di jaman akil baliq internet, kehidupan seperti inilah yang dialami oleh Kang Emil, Pak Ahok, Pak Jokowi, Bu Risma dan Pak Prabowo setiap hari setiap detik.
Jadi malu, jangan-jangan kita ini tidak lebih dari rakyat yang menuntut pemimpin yang santun mengayomi, sementara kita, -sopan pun tak kenal, apalagi santun.
Akhirnya, menjelang kepala 4 ini saya baru bener-bener mengerti apa maksud surat Al Ashr “ …..sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian. Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal shaleh dan nasehat menasehati dalam kebenaran dan nasehat menasehati dalam kesabaran.”
Kepada teman-teman pemuda pemudi @SayangBandung, maju terus. Mari kita belajar dari apapun yang dilemparkan kehidupan ke muka kita. JFK pernah berkata, “There are risk and cost of an action. But they are far less, than the long range risk –of comfortable inaction.’
Kepada teman-teman yang telah memberikan kritiknya dengan baik pada kami, saya ucapkan terima kasih yang amat dalam.
Kepada teman-teman yang melontarkan caci-makinya dengan tajam, saya paham bahwa kami -begitu juga Kang Emil amat jauh dari sempurna. Tapi tolong yakinkan pada saya bahwa walikota yang sekarang ini tidak labih baik daripada walikota-walikota 15 tahun terakhir. Kalau teman-teman berhasil meyakinkan saya, mungkin … hanya mungkin …. tahun 2018 kita kembalikan saja Bandung pada pemimpin-pemimpin yang lama *tolong jangan diamini
Karya yang keren, mengubah perspektif Bandung setidaknya dari visual, terasa lebih manusiawi.
Salut buat kawan- kawan kreatif Bandung, keep cool 🙂
SukaSuka
Assalamu’alaykum kang, niatkan karena Allah maka semua akan indah pada saatnya (cie… ) aku mah apa atuh kang, mereka mah apa atuh, tetap semangat aja kang, moga jadi jalan ridla Allah… amien…
SukaSuka