Salman Al Farisi r.a. adalah orang Persia dengan postur tubuh tinggi besar dan tampan. Di sekolah kita belajar mengenainya sebagai Pahlawan Perang Khandaq: orang yang mengusulkan pembangunan parit pertahanan yang berhasil menghalau serangan pasukan Quraisy dan Ghathfan menuju Madinah. True! Tapi pernahkah kita bertanya-tanya bagaimana ceritanya orang Persia ini bisa berada di Madinah untuk membela Nabi?
Ia berasal dari desa Ji’, daerah Isfahan (Iran), 1500 kilometer di sebelah timur laut Madinah. Di era itu, desanya dihuni oleh orang-orang beragama Majusi -para penyembah api. Ayah Salman adalah salah satu tetua agama Majusi. Bahkan, Salman sendiri adalah penjaga api peribadahan yang tidak boleh mati. Maklum, namanya juga anak tetua.
Namun hidayah Allah SWT memang datang kepada siapa saja -di mana saja. Dalam perjalanan menuju ladang milik ayahnya, Salman tidak sengaja melewati sebuah gereja Nasrani dan tiba-tiba tertarik mengamati para pendeta yang sedang sembahyang di dalamnya. Sepanjang hari dia memperhatikan cara mereka beribadah, dan bertanya ini-itu pada orang-orang nasrani di sana. Ia penasaran dengan asal-usul dari mana agama ini berasal. Mereka menjawab, ‘Dari negeri Syam’. *Syam adalah sebutan lama untuk daerah yang sekarang kita kenal sebagai Lebanon, Palestina, Syiria dan Jordania. -sekitar 1000 km di sebelah barat desanya.
‘Ini lebih baik dari agama Majusi yang kuanut selama ini’, katanya dalam hati. Sepulangnya dari sana, segera ia memberitahuukan kabar ini pada ayahnya, ‘Ayah, aku melewati suatu kaum yang sedang sembahyang di sebuah gereja. Aku tertarik pada cara sembahyang mereka. Menurutku agama mereka lebih baik daripada agama kita’. Tentu saja langsung terjadi perdebatan sengit antara mereka, yang berakhir dengan dikurungnya Salman.
Beberapa waktu kemudian, dengan bantuan teman-teman nasraninya, Salman berhasil melepaskan diri dari kurungan dan melarikan diri ke Syam bersama sebuah rombongan kafilah dari Syam. Sesampainya di sana, ia tidak menunda-nunda waktu, langsung bertanya,’ Siapa ahli agama di sini?‘ Mereka menjawab, ‘Uskup, pengurus gereja‘. Ia segera menemuinya, belajar, sembahyang dan menjadi pelayan gereja. Sayangnya kebetulan uskup yang dia temui ternyata bukan orang yang baik. Uskup ini mengumpulkan uang sedekah yang kemudian malah digunakan untuk keperluan pribadinya. Namun hal ini tidak menjadi masalah berlarut-larut untuk Salman, karena tidak lama kemudian sang uskup meninggal dunia dan digantikan oleh seorang uskup baru yang lebih taat beragama, lebih mencintai akhirat, dan lebih zuhud dari dunia.
Selama beberapa lama Salman berguru kepada uskup zuhud ini sampai akhirnya sang uskup meninggal dunia. Sebelum meninggal dunia, Salman yang sedang dalam misi mencari Tuhan, masih sempat menanyakan, ‘Sepeninggal tuan nanti, kepada siapa saya harus belajar? Apa yang harus aku perbuat?’. Uskup tua itu menjawab, ‘Anakku, aku tidak mengenal seorang pun di dunia yang menunaikan agama sepertiku, kecuali satu orang. Dia tinggal di Mosul’.
Mosul terletak di Irak utara, sekitar 800 km dari Syam. Pergilah Salman ke sana, berguru pada pendeta di Mosul sampai pendeta tersebut tutup usia. Sebelum meninggal, pendeta Mosul ini menyuruh Salman untuk meneruskan pelajarannya dengan berguru pada seorang ahli ibadah di Nasibin. Dan berlanjutlah perjalanan spiritual Salman di sana sampai ahli ibadah tersebut juga meninggal dunia. Dari sana ia diperintahkan untuk berguru kepada seorang laki-laki di Amuria, Romawi. Sambil berguru, dia memenuhi kebutuhan sehari-harinya dengan berternak sapi dan kambing.
Salman belajar banyak dari diri lelaki itu sampai akhirnya lelaki tua ini mendekati ajalnya. Sebelum meninggal dunia, Salman menanyakan kepadanya ‘Kepada siapa lagi aku harus belajar?‘. Namun ia menjawab, ‘Anakku, aku tidak tahu seorang pun yang masih setia di atas jalan yang kami tempuh, hingga aku memerintahkanmu untuk mengikutinya. Namun, saat ini tiba masanya diutusnya seorang nabi yang membawa risalah Nabi Ibrahim a.s. yang lurus. Ia akan hijrah ke suatu tempat yang ditumbuhi kurma dan terletak di antara dua bebatuan hitam. Jika engkau mampu pergi ke sana, lakukanlah. Ia mempunyai tanda-tanda yang jelas. Ia tidak menerima sedekah, tapi menerima hadiah. Sementara dipundaknya terdapat nada kenabian. Jika engkau melihatnya, pasti kau akan mengenalinya.‘
Salman kemudian menukarkan sapi-sapi dan kambing-kambingnya pada sebuah kafilah dari Jazirah Arab, dengan syarat mereka mau mengikutkan dirinya dalam perjalanan ke Jazirah Arab. Kafilah arab ini menyetujuinya dan membawanya serta. Malangnya, setibanya di daerah Wadil Qura’, sekitar 12 km sebelum Madinah, orang-orang arab ini malah menjualnya sebagai budak pada seorang Yahudi di sana. Sejak itu, Salman kehilangan kemerdekaannya dan berstatus menjadi seorang budak. Bayangkan! Putra Tetua Esfahan, penjaga api abadi peribadatan kaum Majusi dari Persia, akhirnya terdampar di jazirah arab tanpa kemerdekaan.
Beruntunglah Salman, rupanya semua kesialnnya, sebenarnya tidak lebih dari pada campur tangan Allah SWT. Karena majikan Yahudinya kemudian menjual dirinya pada pengusaha Yahudi lain dari Bani Quraizah yang tinggal di Madinah. Salman memiliki firasat baik ketika dirinya tiba di Madinah. ‘Demi Allah, sejak melihat negeri ini, aku yakin inilah negeri yang diceritakan pendeta kepadaku.’ Oleh karena itu Salman menahan diri dan terus bekerja di perkebunan kurma Bani Quraizah, menunggu hijrahnya Nabi seperti yang dikatakan oleh guru pendetanya di Amuria.
Akhirnya hari itu datang juga. Nabi Muhammad SAW tiba dari perjalanan hijrahnya dan singgah di Quba, tidak jauh di pinggiran Madinah. Saat itu Salman sedang berada di atas pohon kurma, ketika datang sepupu majikannya yang membawa kabar, ‘Celakalah Bani Qailah. Mereka berkerumun mengelilingi seorang laki-laki di Quba. Ia datang dari Makkah dan mengaku sebagai nabi.‘ Badan Salman bergetar hebat, hampir saja ia terjatuh dari pohon kurma menimpa majikannya. Dengan terburu-buru dia bertanya, ‘Apa yang tuan katakan? Ada berita apa?’ Yang langsung dijawab tuannya dengan sebuah pukulan keras dan bentakan ‘Apa urusanmu dengan masalah ini? Pergi! Kembali bekerja!’.
Salman kembali bekerja sambil menunggu hari petang. Sesudah itu dia mengumpulkan apa yang dimilikinya lalu berangkat ke Quba, 4 km di utara pusat kota Madinah. Dia memberanikan diri menemui orang yang mengaku nabi dan sehabat-sahabatnya. Dia kemudian memberikan kurma miliknya sambil berkata, ‘Kalian adalah orang asing yang tentu membutuhkan bantuan. Saya punya makanan yang saya siapkan untuk sedekah. Setelah mendengar keadaan kalian, saya pikir kalian layak menerimanya.’ Lalu dia menyuguhkan makanannya di hadapan tamu-tamu itu. Lalu Rasulullah berkata pada para sahabatnya, ‘Makanlah dengan menyebut nama Allah’. Namun dia sendiri diam -tidak menyentuh kurma-kurma tersebut. Salman langsung berpikir, ‘Demi Allah, ini suatu tanda yang disebutkan pendetanya: Dia tidak memakan sedekah.’
Esok harinya Salman datang kembali membawa kembali buah kurma. Kali ini dia memberikan kurma tersebut sambil berkata, ‘Aku melihat Tuan tidak makan sedekah. Aku mempunyai sedikit makanan, dan aku akan merasa tersanjung jika kuberikan sebagai hadiah untuk Tuan.’ Kali itu Rasulullah bersabda pada para sahabatnya, ‘Makanlah dengan menyebut nama Allah’ –lalu makan bersama mereka. ‘Demi Allah, ini tanda kedua. Dia mau memakan hadiah’, pikir Salman.
Selang beberapa lama, akhirnya Salman mendapatkan kesempatan untuk membuktikan tanda ke-3 yang dikatakan gurunya. Saat itu Nabi sedang berada di Pemakaman Baqi’. Beliau memakai dua helai kain, yang digunakan sebagai sarung dan baju. Sesudah mengucapkan salam, Salman langsung berputar berusaha melihat pundak Nabi mencari tanda kenabian yang dibicarakan oleh gurunya. Rupanya Nabi Muhammad SAW, mengerti maksud Salman. Beliau langsung menyingsingkan kain yang menutupi pundaknya. Dan di sana, tepat seperti kata gurunya, terlihat tanda tersebut. Salman Al-Farisi menangis dan memeluk Nabi, lalu terduduk dan menceritakan kisah hidupnya pada Rasulullah. Saat itu juga dia masuk Islam.
Statusnya sebagai budak menghalanginya untuk ikut berperang dalam Perang Badar dan Perang Uhud. Nabi Muhammad kemudian menyarankannya untuk membuat ‘Mukatabah‘ (perjanjian memerdekakan budak oleh majikannya), yang kemudian ditebus oleh sahabat-sahabat rasul. Sejak itulah Salman mulai memperlihatkan kejeniusannya dalam taktik dan strategi. Dimulai dengan strategi penggalian parit dalam Perang Khandaq -lalu perang-perang lain selanjutnya.
Salman Al-Farisi r.a adalah salah satu sahabat Rasul yang diberikan umur panjang. Kepandaiannya dalam ilmu dan strategi, hanya bisa diimbangi dengan sifat zuhud dan kesederhanaannya. Setelah Islam berhasil mencapai kejayaannya, Salman diangkat menjadi gubernur Madain, di mana dia menolak untuk mengambil gajinya yang sebesar 4.000 – 6.000 dirham per tahun. Dia memilih menghidupi dirinya dengan menganyam keranjang pelepah kurma dengan keuntungan 2 dirham per hari -itu pun dia sisihkan 1 dirham per hari sebagai sedekah.
Sebagai orang yang menyaksikan banyak kematian guru-gurunya, Salman Al-Farisi sungguh memiliki akhir hayat yang indah. Ketika sakit menjelang ajal, ia meminta istrinya untuk mengambil hartanya yang berharga. Apakah barang itu? Rupanya harta berharga tersebut adalah seikat kesturi yang diperolehnya saat Penaklukan Jalula (sebuah daerah di Iraq) dari tangan Persia. Barang itu sengaja ia simpan untuk wewangian saat wafat nanti. Dia meminta istrinya untuk mencampurkan kesturi tersebut ke dalam air di dalam cangkir, lalu memercikkan air kesturi tersebut di sekelilingnya. Kali itu ia berkata, ‘Percikkanlah air ini di sekelilingku. Sekarang hadir di hadapanku makhluk Allah yang tiada dapat makan, tetapi gemar wewangian!’
Tidak lama kemudian ruhnya berpisah dengan jasadnya -meninggalkan dunia. Perjalannya mencari agama yang lurus telah berakhir. Dia memenuhi janjinya untuk bertemu dengan Rasullullah dan kedua sahabatnya, Abu Bakar dan Umar. Untuk mempertanggungjawabkan kehidupannya di hadapan Sang Pencipta yang selalu dia cari sepanjang umur hidupnya di dunia.
———————————————-
ditulis ulang dari kitab
Rijal Haula Al Rasul
Khalid Muhammad Khalid
One Comment Add yours