Pasukan Islam telah tiba di sisi kota kuno itu dan melangsungkan pengepungan kota sepanjang musim dingin. Khalifah Umar memerintahkan Abu Ubaidah, Khalid dan Mu’awiyah, yang telah berhasil menaklukkan seluruh wilayah Suriah dan pesisir Levantina, untuk segera bertolak ke Yerusalem dan bergabung dengan pasukan Amr.
Di balik benteng, di dalam gereja, panglima Artavon dan Patriach Sophroinus, uskup agung gereja Yerusalem, tengah berdebat sengit. Artavon bersikeras menginginkan Yerusalem tetap dipertahankan dari penaklukan pasukan Islam, sekalipun harus mengobarkan peperangan di dalam kota suci itu. Sementara Sophorinus menganggap bahwa pendudukan orang-orang Islam adalah penjelmaan dari kekuasaan yang dikirimkan untuk untuk mengakhiri kekuasaan orang-orang Bizantium. Sophorinus lebih memilih bernegosiasi dan menyerahkan Yerusalem kepada pihak Islam dengan jalan damai.
Orang-orang yang berkumpul di gereja dan mengikuti jalannya perdebatan akhirnya lebih mengamini pendapat sang uskup. Mereka setuju jika Yerusalem diserahkan dengan jalan damai. Maka, salah seorang utusan dikirim untuk menemui pihak Islam di luar benteng. Utusan itu datang membawa syarat-syarat penyerahan kota, yaitu tidak akan ada pengangkatan senjata, diizinkan sisa-sisa pasukan Bizantium untuk berangkat ke Mesir, dan penyerahan Yerusalem diterima secara langsung oleh pemimpin tertinggi Islam, yaitu Khalifah Umar. Abu Ubaidah menerima syarat-syarat tersebut. Ia pun mengundang Khalifah Umar ke Yerusalem untuk menerima penyerahan kota tersebut.
Saat itu, Umar berada di Jabiyah, di selatan Damaskus untuk sebuah pengaturan administratif. Perutusan Abu Ubaidah dari Yerusalem datang menghadap Umar, menyampaikan undangan dan pesan-pesan, untuk kemudian segera kembali dengan membawa surat dari Sang Khalifah. Dalam surat itu Umar menulis:
—
Bismillahirrahmannirrahim.
Ini adalah jaminan yan telah diberikan oleh hamba Allah, Umar, pemimpin umat beriman, kepada penduduk Yerusalem. Bahwa ia telah memberi jaminan mengenai keamanan untuk jiwa mereka, untuk harta mereka, untuk gereja-gereja dan salib mereka, untuk sakit dan sehatnya kota, serta untuk ibadah mereka. Gereja tidak akan ditempati oleh orang-orang Muslim, juga tidak akan pernah dirusak, tidak boleh ada satu pun yang dikurangi dari dalam gereja itu atau dari lingkungan sekitarnya, baik salib, harta benda, dan semua harta milik mereka. Mereka tidak akan dipaksa untuk beralih memeluk agama Islam, dan tidak akan ada pula orang Yahudi yang hidup bersama mereka di Yerusalem*(1).
Penduduk Yerusalem harus membayar jizyah*(2) sebagaimana penduduk kota lainnya. Mereka juga harus mengeluarkan orang-orang Bizantium dan para perampok. Para penduduk Yerusalem yang ingin pergi keluar kota dengan membawa serta harta mereka, meninggalkan gereja dan salib mereka, maka keselamatan mereka akan dijamin sampai tempat tujuan. Para pendududk desa boleh tinggal di kota jika mereka menginginkannya, dengan ketentuan harus membayar jizyah sebagaimana warga lainnya. Mereka yang mau pergi, silahkan pergi bersama orang-orang Bizantium, dan mereka yang ingin kembali, silahkan kembali ke keluarga masing-masing. Jizyah mereka tidak boleh ditarik sebelum masa panen.
Jika mereka membayar pajak menurut ketentuannya, maka apa yang sesungguhnya tertera di dalam surat ini adalah perjanjian Allah, di bawah tanggung jawab Nabi, sang khalifah, dan juga orang-orang mukmin.
—
Surat tersebut ditandatangani Umar ibn al-Khattab sendiri dengan tiga orang saksi, yaitu Khalid ibn al-Walid, Amr ibn al-Ash dan Muawiyah ibn Abu Sufyan.
Kabar kedatangan Khalifah Umar ke Yerusalem telah tersebar ke seluruh pelosok kota itu. Semua menantinya dengan sukacita. Umar berangkat dari Jabiyah dengan menunggang unta. Saat Umar datang , semua khalayak terkejut -terutama para penduduk kota. Mereka tak dapat berkata apa-apa. Hati mereka hanya bergumam. Uskup agung Sophronius menyambut kedatangan sang khalifah itu dengan salam penuh takzim. Lalu, kepada penduduk, ia berkata dengan mata bergetar, dengan suara yang parau, “Lihatlah sungguh ini adalah kesahajaan dan kegetiran yang telah dikabarkan oleh Danial sang Nabi*(3) ketika ia datang ke tempat ini.”
Semua sejarawan mencatat peristiwa ini. Pemimpin terbesar umat Islam itu datang ke Yerusalem tanpa iring-iringan pasukan atau ajudan. Ia datang dengan menuntun seekor unta dan hanya ditemani Aslam, mawla-nya yang setia dan telah dibebaskan. Umar juga tidak mengenakan pakaian kebesaran dan kemegahan layaknya para kaisar penakluk. Umar hanya memakai jubah yang sudah lusuh dan banyak jahitan. Ia juga hanya membawa perbekalan makanan ala kadarnya; sekantong gandum, sekantong kurma, sebuah piring kayu, sebuah kantong air dari kulit, dan selembar tikar untuk beribadah.
Khalifah Umar lalu diajak Uskup Sophronius berkeliling ke temat-tempat suci di sepanjang kota. Saat waktu zuhur tiba, Uskup Sophronius membukakan Gereja Makam Suci, kiblat dan tempat tersuci umat Kristen, lalu mempersilahkan Khalifah Umar melaksanakan shalat di dalam gereja. Tawaran kehormatan itu disambut dengan baik oleh Umar, tapi ia menolak, “Jika saya mendirikan shalat di dalam gereja ini, saya khawatir orang-orang Islam nantinya akan menduduki gereja ini dan menjadikannya masjid.”
Khalifah Umar lalu keluar dari gereja, meminta ditunjukkan tempat reruntuhan Kuil Sulaiman. Uskup Sophronius menunjukkkan tempat itu, yang ternyata kotor tertimbun sampah. Bersama beberapa sahabat lainnya, Khalifah Umar membersihkan sendiri tempat tersebut, lalu menggariskan sebuah tapak untuk dijadikan tempat Shalat. Di tempat itu pulalah Khalifah Umar memerintahkan agar dibangun masjid yang kelak dikenal dengan Masjid Umar.
Penaklukan Yerusalem menandai selesainya serangkaian penaklukan Islam atas seluruh wilayah Suriah dan Palestina, di samping Yordania dan pesisir Levantina. Penaklukan tersebut mengakhiri kekuasaan Yunani-Romawi yang telah bercokol di wilayah tersebut selama beberapa abad. Sejak saat itu pula, seluruh wilayah tersebut berada di bawah kekuasaan Islam.
—***—
* Saya kutip dari buku yang sedang saya baca: ‘Umar Ibn Khattab’. Penerbit Zaman, 2014. Karya Dr. Mustafa Murad, Guru Besar Universitas Al-Azhar, Kairo. Silahkan dibeli bukunya. Tapi jangan beli ke saya, saya mah enggak dagang buku, cuman dagang tas dan kaos … hehehe
Dikutip tanpa minta izin ke penerbit, tapi kembali saya sarankan beli bukunya sesudah ini, ya. Di Togamas Bandung diskon 10% … *ahaha .. Baek banget gue … promosi toko orang. Sundul, Gan 🙂
*foto diambil dari weheartit.com
—
Saya berikan keterangan sedikit tentang beberapa hal yang sebelumnya juga menjadi pertanyaan di dalam benak saya:
*(1) Tentang klausul: “… dan tidak akan ada pula orang Yahudi yang hidup bersama mereka di Yerusalem.”
Kalimat ini adalah respon Khalifah Umar atas permintaan penduduk Jerusalem. Saat itu penduduk Jerusalem sangat membenci orang-orang Yahudi. Orang-orang Yahudi sebelumnya membunuhi tawanan Kristen di wilayah Persia. Sampai ada riwayat yang menyebutkan, Umar menjamin tidak ada Yahudi yang lewat dan bermalam di Jerusalem.
Dalam tinjauan sejarah, wilayah Galileia (Hebron, Tiberias, Nazaret) memang banyak ditempati orang Samiria, keturunan Yahudi yang telah bercampur dengan bangsa-bangsa pendatang (Suriah, Persia, Yunani dan Romawi). Orang-orang Yahudi murni, Judea, menganggap orang Samiria itu najis serta dihinggapi roh dan penyakit buruk. Itulah penyebab utama prasangka buruk Judea kepada al-Masih, seorang nabi dari Nazaret. Konflik Kristen-Yahudi sedikit banyak tumbuh dari prasangka ini.
*(2) Jizyah: adalah jaminan khusus yang dibayarkan oleh penduduk yang tidak beragama Islam tetapi hidup dalam wilayah Islam. Jizyah hanya mengikat kepada laki-laki baligh (dewasa), berakal dan mampu secara ekonomoi. Tidak boleh dikenakan kepada perempuan, anak-anak, orang miskin dan orang gila. Yang tidak mampu justru akan mendapatkan nafkah dari negara –beragama apapun dia.
Jizyah ada kadar dan ukurannya. Di setiap wilayah Islam besarnya berbeda tergantung kemampuan ekonomi wilayah tersebut. Secara umum, untuk kategori kaya (kelas atas) ditetapkan sebasar 4 dinar (4 x 4,25 gram emas) atau 17 gram emas, atau senilai Rp 8.500.000 (jika 1 gram=Rp 500.000). Yang masuk kategori sedang (kelas menengah) ditetapkan 2 Dinar atau 8,50 gram emas, atau senilai Rp 4.250.000. Yang masuk kategori mampu, tetapi di bawah kelas menengah, ditetapkan 1 Dinar atau 4,25 gram emas, atau senilai Rp. 2.125.000. Juga harus dicatat, bahwa jizyah hanya dipungut sekali dalam setahun. Itu pun tidak boleh dipungut lebih dari kadar yang telah ditetapkan di atas.
Ini tidak berarti bahwa tidak ada pungutan negara pada penduduk yang beragama Islam. Penduduk muslim terikat dengan semua jenis zakat yang berlaku dalam ajaran Islam.
*(3) Uskup agung Sophronius pada saat itu mengacu pada ayat ramalan penghancuran Yerusalem : “Ketika kamu, oleh karena itu, akan melihat kekejian pemusnahan, yang diucapkan oleh Daniel sang Nabi, mengenai penghancuran Yerusalem, pada waktu itu kamu akan berdiri di tempat kudus, barang siapa membaca biarlah dia mengerti.”
—
Wallahu A’lam Bishawab. Dan hanya Allah yang mengetahui sebenar-benarnya.