Ajaklah Semua Orang di Rumah Kita untuk Bermimpi

Prinsipnya sederhana. Orang tidak boleh berhenti bermimpi dan mengejar cita-citanya. Dahulu, hal itu yang terus saya katakan pada perempuan mungil yang masih remaja itu.

Dia datang sebagai seorang ABG yang putus sekolah karena harus mendahulukan keperluan keluarga dan adik-adiknya. Oleh karena itu dia berhenti bersekolah lalu merantau ke Jakarta untuk membantu adik dan orang tuanya.

Tapi kebaikan hati dan kepandaian seseorang tidak dapat ditutupi, bahkan oleh tabir ketidakmampuan. Waktu kami ajak dia untuk pindah ke Bandung, kami sudah melihat cahaya kecil itu. Oleh sebab itu, walau kami pun dulu masih muda dan juga masih juga mengejar cita-cita, kami tetap berusaha mendengarkan dan menumbuhkan mimpinya.

Sebenarnya kami hanya bisa membantu menyekolahkan seadanya, tapi anak ini memang tidak mudah menanggalkan cita-citanya. Hebatnya, di saat yang sama dia tidak mau menggadaikan integritasnya.

Suatu saat menjelang ujian penting, dia terlihat galau luar biasa. Ketika kami tanyakan padanya, dia bilang gurunya menawarkan kunci jawaban untuk semua pertanyaan ujian esok hari. Rupanya hampir semua teman sekolahnya sudah menerima dan siap menggunakannya kertas ampuh serba tahu itu : bocoran dari pak guru.

“Saya harus bagaimana?”, tanyanya.

“Menurut kamu sendiri bagaimana?”, saya balik bertanya.

“Saya bingung. Kalau tidak dipakai kunci jawaban saya takut tidak lulus. Tapi saya tidak sampai hati untuk pakai kunci jawaban. Seumur hidup saya tidak pernah curang seperti itu”, jawabnya.

“Ya, sudah. Gak perlu mulai main curang kalau begitu. Buang saja lah kunci jawabannya” kata saya. “Percaya diri saja. Insya Allah, dengan begitu jika kamu lulus, kamu tidak akan mempertanyakan kemampuan diri kamu seumur hidup. Seandainya kamu pakai kunci jawaban itu, kalaupun lulus, seumur hidup kamu akan mempertanyakan kemampuan diri kamu sendiri. Dan itu adalah beban berat yang harus kamu tanggung ke depan.”

Ternyata semua baik-baik saja. Memang dia tidak perlu secarik kertas sakti pembunuh kepercayaan diri itu. Bahkan beberapa waktu kemudian dia cukup percaya diri untuk mengatakan bahwa dia ingin ikut ujian masuk program Pendidikan Anak Usia Dini di Universitas Pendidikan Indonesia. Dia ingin jadi guru, seperti cita-cita ibunya yang belum pernah tercapai.

Entah kenapa, sebenarnya kami yakin bahwa dia akan mampu lulus ujian masuk universitas. Yang kami agak tidak yakin adalah : bagaimana membiayai sekolahnya. Tapi ya sudahlah, yang penting niat dulu -pikir kami. Yang penting lulus dulu lah. Soal bayaran kuliah, kita pikirkan nanti.

Tentang bayaran kuliah … ternyata itu skenario lain. Skenario saya ‘untuk membantu menyekolahkannya’ ternyata adalah bagian dari skenario yang lebih besar. Skenario Sang Pemilik Kehidupan. Skenario Sang Pemilik Ilmu.

Suatu pagi, Pak Ichary, tetangga depan rumah saya memanggil saya dari halamannya.

“Mas Ben”, sapanya ramah.

“Iya, Pak.”

“Saya dengar, Si Mamay diterima di UPI ya, Mas?”

“Betul Pak. Hebat dia. Sekarang kita malah sedang bingung bagaimana mengurus biayanya”, kata saya jujur.

“Wah. Sudah lah. Bagian Mas Ben sih sudah beres. Sekarang ini jadi urusan saya” katanya ringan.

“Maksudnya, pak?”

“Biar saya yang carikan beasiswa untuk dia.”

“Serius?”, ujar saya yang agak sulit percaya. Masih ada orang sebaik ini di dunia, rupanya.

Pak Ichary yang dosen UNPAD memiliki jaringan yang mumpuni dalam urusan pencarian beasiswa dan dana kuliah. Jauh di atas jaringan yang kami miliki. Oleh sebab itu kami ikhlaskan si mahasiswi baru untuk keluar dari rumah kami -dan meneruskan perjalanannya. Seperti juga orang tuanya, kami harus memberikan ruang untuk bekerjanya takdir.

Pak Ichary kemudian memberikan ‘modal awal’ untuk si mahasiswi baru ini: sebuah tanggung jawab, pekerjaan yang bisa menjadi dasar untuk menggantung cita-cita. Di luar itu saya tahu, dia harus tetap membanting tulang, menyeimbangkan kuliah dan bekerja. Dari mulai mengajar mengaji sampai jaga toko dia lakoni. Dia memang pandai mengaji, dan untungnya dia sudah punya jam terbang cukup tinggi untuk urusan jaga toko. Sejak remaja dia sering membantu kami menjaga toko MahaNagari di Cihampelas Walk.

Singkat cerita, si mahasiswi berhasil mewujudkan cita-cita dirinya dan ibunya. Dimulai dari mengajari anak sulung saya mengaji di rumah, sekarang dia adalah Ibu Guru di sekolah anak saya. Dengan sebuah kelas penuh anak didik, yang menjadi tanggung jawabnya.

Minggu lalu kami diundang sebuah acara pernikahan di Serang. Pernikahan ini spesial untuk kami. Soalnya yang berdiri di pelaminan adalah guru anak kami. Seorang guru yang kami tahu cerita hidupnya. Di sampingnya berdiri seorang dokter gigi yang kemudian menjadi pengemban tanggung jawab selanjutnya.

Mamay Maesa Rafilah, “Semoga keluarga kalian sakinah mawadah warahmah. Semoga sejak saat ini tidak ada lagi generasi penerus di keluarga kalian yang putus sekolah.” Aamiiin.

Mungkin ini cara kerja Takdir. Untuk bisa berbuat baik itu ternyata hanya butuh ‘niat baik’. Lalu ikhtiar. Dan yang namanya ‘ikhtiar’, sebenarnya adalah istilah ‘jamak’ alias ‘keroyokan’. Allah SWT itu ‘tangan’-Nya banyak. Kita mungkin salah satunya. Sendirian, kita mungkin tidak bisa berbuat banyak. Kesamaan niat baiklah yang akan menghubungkan tangan-tangan ini.

Jadi, jika suatu saat ada ‘anak lain’ yang datang ke rumah kita. Jangan lupa, tanyakan apa cita-citanya.

Dan bagi yang cita-citanya belum tercapai. Never give up. Kata John Lennon, “A dream you dream alone is only a dream. A dream you dream together is reality.”

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.