~ Hidayah, belum pernah dan tidak akan pernah, pilih-pilih luasan mata ~
#kata ombenben, Urang Bandung bermata sipit
Sudah beberapa kali, saya membaca status panas terkait China yang saya tidak berani membayangkan ujung dan akibatnya. Entah, si penulis sendiri sadar atau tidak bahaya akibat pendapat panas yang dia sebarkan terhadap bangsa Indonesia yang masih muda dan panasan ini. Untuk saya pribadi, rasanya tidak fair jika kita menyederhanakan ‘kecinaaan’ sebagai kutub seberang dari ‘keislaman’. Rasanya kok tidak benar menempatkan sebuah bangsa di luar bingkai sebuah agama rahmatan lil alamin.
Karena kalau kita mau avonturir sedikit, berjalan-jalan ke negeri China, di sana kita akan menemukan puluhan juta saudara muslim berkulit kuning bermata sipit. Tapi mungkin karena kita sudah terdogma bahwa China itu komunis, China itu pendukung PKI, China itu pemakan babi, dll –maka kita mudah menyimpulkan bahwa ‘China bukan Islam’.
Hal ini membuat saya mulai membaca-baca sejarah Islam di Negeri Cina.
———————
Ternyata sejarah muslim di China itu sudah menghiasi rantai sejarah hampir seumur dengan agama Islam sendiri. Nenek moyang mereka mulai berinteraksi dengan muslim arab sejak diutusnya Sa’d bin Abi Waqash ke negeri China oleh Khalifah Umar pada tahun 651 Masehi. Tidak sampai dua puluh tahun sesudah wafatnya Nabi Muhammad SAW.
Sejak itu, sejak era Dinasti Tang (618-907), sejarah muslim mulai terkait dengan sejarah Negeri China. Kaisar Gaozong, kaisar yang menerima delegasi Sa’d bin Abi Waqash, bahkan memerintahkan pembangunan Memorial Mosque untuk menghormati Nabi di Kanton (Guangdong).
——————
Di tahun 758 M, penduduk muslim Guangzhou sudah membangun Masjid Besar Huaisheng. Gaya arsitektur tradisional China jauh berbeda dengan kebanyakan masjid yang kita kenal di dunia Islam yang lain. Pengalaman sholat di dalamnya akan berbeda dengan umumnya masjid berkubah. Sampai sekarang, di kota perdagangan besar ini, mencari makanan halal tidak sesulit yang kita bayangkan. Dari mie tarik muslim Lanzhou, roti bakar tungku ala Xinjian yang mirip pizza keras, sampai dim sum halal tersedia di pojok-pojok kota perdagangan tua ini.
——————-
Muslim-muslim pertama di China adalah muslim keturunan Arab dan Persia. Orang China saat itu menyebut orang arab sebagai orang Da Shi/Ta Shi. Adaptasi pelafalan orang China terhadap sebutan orang Persia untuk orang Arab, Tazi.
Dalam 150 tahun pertama, hubungan dua dinasti besar, Dinasti Abbasiyah dan Dinasti Tang, sudah mulai penuh warna. Di antara mereka terjadi Perang Talas tahun 751 M, sampai persekutuan Dinasti Tang dengan Dinasti Abbasiyah untuk melawan serangan Tibet di Asia Tengah.
Orang-orang Arab dan Persia awal yang tinggal di China kemudian berbaur menjadi leluhur bagi populasi muslim China sekarang dan suku Hui (salah satu suku China yang mayoritas beragama Islam). Orang China sampai sekarang masih sering menyebut agama Islam sebagai Huihui Jiao (agama orang Hui).
—————————–
Bagi yang belum pernah ke China, anda mungkin akan kaget dengan betapa miripnya beberapa orang Kanton dengan beberapa orang Indonesia sipit seperti saya. Berbeda dengan penduduk China utara yang lebih putih –penduduk China selatan (seperti Kanton) banyak yang berkulit agak sawo matang seperti orang Indonesia.
Walau silsilah keluarga saya jelas menunjukkan bahwa saya adalah keturunan Sumedang. Orang-orang di Guangzhou, selalu menyangka saya adalah orang China (selatan). Tidak jarang mereka akan mengoceh satu menit di hadapan saya, hanya untuk saya jawab, “I don’t understand. I am ‘Ini’ (orang Indonesia)”.
———————–
Pada era dinasti Yuan, penguasa Mongol, menggunakan strategi yang unik dengan menempatkan pemimpin asing di tanah-tanah petaklukannya. Muslim Arab dan Persia, Kristen Turki, Yahudi, Budhis Tibet dan Uyghur ditempatkan di jabatan-jabatan kelas atas dalam pemerintahan. Di bawah kekuasaan Kubelai Khan, 8 dari 12 distrik di China, dipimpin oleh Gubernur Muslim. Di saat inilah terjadi perpindahan penduduk Asia Tengah besar-besaran ke wilayah China. Penduduk muslim di China saat itu sudah mencapat 4 juta jiwa.
Kebalikannya, suku China Han dan Khitan justru ditempatkan sebagai pemimpin wilayah di Bukhara, Asia Tengah. Sistem pemimpin silang seperti ini dibentuk penguasa Mongol untuk membatasi kekuasaan para Gubernur. Namun justru berdampak positif bagi penyebaran Islam ke wilayah China.
Ini adalah masa harmonis hubungan muslim dengan kaisar Mongol. Jamal Ad-Dien, astronom Persia, sempat memberikan 7 instrumen astronomi kepada kaisar Kublai Khan sebagai hadiah. Sementara Amir Al-Din, seorang arsitek Persia, turut membangun ibukota Dinasti Yuan, Khanbhaliq.
Di pertengahan abad ke-14, terjadi Pemberontakan Ispah terhadap pemerintahan Mongol yang dipimpin oleh seorang Muslim China keturunan Persia di Fujian Selatan. Pemimpin Mongol selanjutnya, Genghis Khan, menyikapinya dengan sangat keras. Pemerintahan Genhis Khan kemudian melarang cara menyembelih dengan metode halal dan juga melarang laki-laki untuk disunat. Tidak hanya muslim, Yahudi yang tinggal di China juga dilarang memakan makanan Kosher.
Setelah lama berada dalam pemerintahan Mongol yang opresif dan penuh korupsi, jenderal-jenderal muslim China kemudian bergabung dengan pasukan suku Han untuk melakukan perlawanan terhadap kaisar.
Zhu Yuanzhang, pendiri dinasti Ming, memiliki jenderal-jenderal muslim yang cakap dalam peperangan seperti Lan Yu dan Chan Yuchun. Jenderal-jenderal ini yang kemudian mengalahkan pasukan Mongol dan menaklukan ibukota Dinasti Yuan, Khanbhaliq, di tahun 1368.
Pertumbuhan penduduk muslim di dinasti Ming terus berlanjut. Ibukota dinasti Ming, Nanjing, adalah salah satu pusat pendidikan agama Islam. Jenderal muslim lain, Mu Ying, yang melakukan menaklukkan Yunnan dan Shandong Tengah, turut menjadikan kedua wilayah tersebut menjadi pusat pendidikan agama Islam.
Kaisar Zhu Yuanzhang, termasuk pemimpin yang sangat toleran terhadap pertumbuhan Islam di China. Muslim China di era dinasti Ming, hidup sebagai warga negara biasa yang memiliki hak penuh dalam menjalankan ibadahnya. Berbeda dengan penganut agama Budha Tibet dan Katolik, yang dilarang untuk menjalankan ibadah.
Sebagian pemimpim militer muslim bahkan dipercaya sebagai panglima-panglima angkatan bersenjata seperti Hu Dahai, Mu Ying, Feng Sheng, dan Ding Dexing. Di zaman dinasti Ming juga muncul seorang Admiral dan penjelajah China yang termashyur, bernama Cheng Ho.
Ketika imigrasi muslim Arab dan Persia melambat, Muslim China mulai terisolasi dari hubungan dengan dunia islam di luar. Muslim China mulai terasimilasi dan menyerap banyak budaya lokal. Mereka mulai menggunakan nama keluarga (surname) China atau mencari karakter China yang mirip dengan nama keluarga arab. Misalnya: Ma untuk Muhammad, Mai untuk Mustafa, Mu untuk Masoud, Ha untuk Hasan, Hu untuk Hussain, Sa’i untuk Said.
Di saat yang sama makanan muslim dan pakaian muslim yang sopan juga mulai berasimilasi dengan budaya China. Keturunan imigran dari Arab dan Persia juga mulai berbicara dalam dialek lokal dan membaca aksara China.
———————
Memang kalau kita makan bakmi dan nasi di restoran China Lanzhou, kita akan menemukan makanan muslim asia daratan yang tidak terlalu ‘padat menu domba’. Makanan Muslim Lanzhou banyak terdiri dari ayam, sapi, domba –dan sayur-sayuran ala makanan China umumnya.
Chef dan pelayannya umumnya berpakaian muslim China. Laki-laki dengan baju kaftan/gamis dan topi haji, lalu perempuannya dengan baju China dengan kerudung yang penuh renda. Jangan lupa sapa mereka dengan ‘Assalamulaikum’—mereka akan senang bertemu muslim lain dari ujung tenggara Asia. Minimal untuk mencairkan suasana, karena umumnya orang China daratan memang tidak seramah orang Indonesia (Melayu ataupun China).
Udah segitu dulu ah, part one-nya. Mau ngantor dulu sambil cari waktu lagi untuk nulis ‘China Bukan Islam? | Part Two’
image courtesy of http://www.sysu-network.com/