Daripada jadi orang pinter keblinger, mendingan kita sedikit lebih Chewong. Suku bangsa asli Semenanjung Malaya yang kepercayaannya dapat disimpulkan dalam satu kalimat saja : “kita harus jadi orang baik”.
Mereka tinggal di pedalaman hutan Malaya. Saking dalamnya, mereka jarang bertemu dengan para (pendatang) Melayu dan China. Orang Eropa pertama kali bersentuhan dengan ‘Orang Asli’ Chewong di tahun 1930an. Dan saat itu juga mereka sontak terkejut. Mereka menemukan 350 jiwa suku pedalaman yang terisolasi dan memiliki bahasa sendiri –bahasa Chewong.
Orang Asli Chewong adalah suku yang anti-kekerasan dan anti-persaingan. Dalam bahasa mereka tidak ada kosakata untuk perang, perkelahian, kejahatan dan hukuman.
Mereka percaya bahwa manusia pertama diajari untuk hidup dengan jalan yang benar oleh Yinlugen Bud –roh hutan yang ada sebelum manusia pertama. Yinlugen Bud mengajari orang Chewong hukum yang disebut Maro. Yang isinya:
Makanan harus selalu dibagikan bersama. Makan sendirian dianggap salah dan berbahaya. Mereka percaya bahwa hanya dengan menjaga semangat keadilan dan berbagi, mereka bisa bertahan hidup. Orang Chewong percaya bahwa jika mereka melanggar kode etik ini –tidak berbagi makanan, marah-marah terhadap kesusahan, terlalu banyak berharap, dan memelihara hasrat yang tidak terpuaskan — akan berefek gaib seperti penyakit dan bencana-bencana yang disebabkan serangan harimau, ular, kelabang atau bahkan serangan ruwai –binatang jajadian.
Suku Chewong adalah suku bangsa tua, berasal dari era prasejarah, tapi mereka sudah tahu bahwa kebaikan membawa kebaikan –kejahatan berbuah kejahatan. Apa kabar kita yang katanya sudah ‘modern’ dan ‘maju’? Masih mau menyebarkan kemarahan kepada tetangga di layar tetangga daring/online sebelah? Sudah lupa ya, bahwa seperti bangsa pendatang Melayu di Malaya, kita pun hanya pendatang di dunia.
PS: gak usah juga sih pindah agama jadi Chewong. Agama kamu udah bagus, –lebih sering aja amalkan ajarannya.