Hati-hati, Tertipu Scam Panggilan Walikota

on

“Om Ben, ini ada telepon. Katanya dari aspri-nya Walikota Depok. Ingin ngobrol dengan Om Ben”, kata Sovi, Customer Service Torch.id, yang bela-belain menyusul saya yang sedang makan siang dua hari yang lalu.

“Huh? Siapa, Sov?” tanya saya agak terkesima
“Katanya Asisten Pribadinya Walikota Depok, Om. Dari tadi nelepon terus. Mau diterima sekarang?”

Saya memang baru beberapa minggu lalu membuka showroom Torch pertama di Depok. Tapi ya, agak kaget juga kalau sampai ditelepon Walikota Depok. Ada apa pula? Pengalaman di Bandung, kalau yang telepon sudah aspri-nya Walikota, biasanya serius nih.

“Halo, Assalamulaikum”, saya memulai pembicaraan.
“Waalaikumsalam. Dengan Pak Ben W. Sudarmadji?” kata suara di ujung sana menyebutkan nama depan dan nama bapak saya.
“Betul. Saya sendiri. Ada yang bisa saya bantu?” kalimat standar itu keluar dari mulut saya.
“Saya Aspri Walikota  Depok, Pak. Pak Wali ingin berbicara dengan Pak Ben. Sebentar …”

Saya tidak punya ekspektasi apapun, karena memang tidak kenal Walikota Depok. Nama Pak Wali pun saya belum tahu saat itu. Jadi saya siap-siap respons sopan saja.

“Dengan Pak Ben W. Sudarmadji?” kembali nama saya dan pak Sudarmadji disebutkan lagi.
“Betul, Pak. Ada yang bisa saya bantu?” suara sopan saya melantun.
“Pak Ben. Saya dengan Walikota Depok. Saya senang sekali Torch kemarin buka showroom di Depok”, kata pak Wali.
“Alhamdulillah. Terima kasih, pak.” jawab saya agak kaget. Kok Walikota sampai tahu Torch buka di Depok?
“Pak Ben kok tidak mengundang saya untuk pembukaan kemarin?” tanya Pak Wali.

Nah loh … langsung ditodong pertanyaan susah gini. Emang harus ngundang Walikota untuk pembukaan semua showroom Torch, ya?

Saya sebisa-bisanya ngeles, “Maaf, Pak Wali. Kebetulan acaranya kecil saja. Saya malu kalau ngundang Pak Wali.”
“Ah, Pak Ben bisa saja. Saya justru senang sekali Torch buka di Depok. Ini sebuah contoh yang bagus untuk warga Depok. Produk anak bangsa sebagus Torch harus kita jadikan contoh. Saya suka sekali sendal umrah dan haji yang di desain oleh Torch.”

jieeeee …. dipuji walikota nihhh ….

“Alhamdulillah, Pak. Itu sendal didesain karena masalah yang pernah saya hadapi sendiri.” Lalu saya sampaikan sedikit cerita di balik pendesainan sendal umrah Torch yang memang seru.

“Nah. Saya ingin bertemu dengan Pak Ben W. Sudarmadji ini. Kapan Pak Ben punya waktu?” kembali nama bapak saya disebut lagi
“Insya Allah, Pak. Tapi mohon diberitahu sehari sebelumnya. Agar saya bisa kosongkan dahulu jadwal saya”, jawab saya agak diplomatis.

Namanya juga kita ikut dagang di kota orang. Wajar saya pikir kalau saya harus juga meluangkan waktu untuk walikotanya.

“Kalau besok bagaimana, Pak Ben? Pagi hari atau ba’da Dzuhur?” katanya langsung nodong.
“Ba’da Dzuhur tampaknya lebih mungkin, Pak. Tapi maaf pak, saya diundang ke balaikota ini untuk apa, ya?” tanya saya beneran gak ngerti .
“Saya ingin Pak Ben berbicara di depan pegawai negeri Depok. Pak Ben harus berbagi ilmunya. Gak keberatan kan, Pak Ben?” jawabnya dalam nada yang resmi.
Lalu dia melanjutkan, “Pak Ben perlu undangan resmi. Atau cukup undangan lisan dari saya saja?”
“Kalau boleh undangnnya dikirim ke nomor ini saja, Pak. Kalau memang bisa, ke email saya juga boleh”, jawab saya mencari praktisnya saja.
“Oke. Nanti kami telepon lagi ya untuk konfirmasi…. oh, iya Pak Ben. Boleh kami minta nomor telepon pribadinya Pak Ben?”
“Boleh, Pak. Nanti saya SMS kan ke nomor ini. Ini nomor telepon aspri bapak, kan?”
“Oh, bukan. Ini nomor pribadi saya.” kata Pak Wali.
“Baik, Pak.”
“Terima kasih, Pak Ben. Assalamulaikum.”
“Waalaikumsalam, Pak Wali”.

Teman-teman makan siang saya langsung penasaran bertanya siapa yang telepon dan ada apa. Ketika saya jawab Pak Wali minta kita ke Depok untuk sharing, mereka semua langsung bersemangat. Memang khusus pembukaan showroom baru ini kita sampai membuat beberapa video yang di-release online. Tapi jujur, gak nyangka juga markom kita bekerja sebaik itu –sampai ditelepon oleh Pak Walikota sendiri gicu.

Satu jam kemudian, di tengah-tengah meeting dengan tim merchandising Torch, tiba-tiba HP saya bernyanyi. Di layarnya tertulis incoming call dari ‘Walikota Depok’. Kebetulan nomor Pak Wali sudah saya simpan ke HP saya beberapa waktu sebelumnya. Wah pak Wali nelepon lagi. Terpaksa saya pamit keluar dari ruang rapat.

Ternyata sekarang Pak Wali nelepon langsung ke nomor saya, tanpa perantara aspri-nya pula.

“Pak Ben. Jadi ya. Besok ba’da Dzuhur. Jam satu – setengah dua-an. Bisa, kan?” kata beliau.
“Siap. Insya Allah, Pak”.

Kalau telepon-telepon ini sudah cukup mengagetkan bagi saya. Apa yang akan datang selanjutnya akan lebih aneh lagi.

Pak Wali meneruskan pembicaraannya, nadanya berubah lebih serius, “Pak Ben. Saya mau minta tolong pada Pak Ben. Boleh?”
“Apa yang bisa saya bantu, Pak?”
“Untuk acara besok ini sebenarnya anggarannya belum turun. Kita terpaksa minta bantuan ke beberapa pengusaha di Depok. Apakah Torch bisa ikut kontribusi juga?”

JENGG … JEEEEENGG …

“Maksudnya  kontribusi seperti apa, pak?” tanya saya polos.
“Yah saya minta bantuan pengusaha di Depok untuk saling membantu gitu. Sama-sama untuk Depok, Pak Ben.” kata suara di sana
“Maaf, Pak Wali. Saya tidak mengerti maksud bapak. Kalau kontribusi itu bentuknya seperti apa?”
“Contohnya Pi**a H*t (menyebutkan sebuah chain restoran siap saji) menyumbang 5-10 juta untuk acara besok ini. Torch bisa ikut juga?” mintanya.
“Acara apa ini, pak?”
“Acara di mana Pak Ben akan berbicara besok”, jawanya singkat.

Cadas! Seumur-umur saya diundang oleh pejabat, baru kali ini diminta untuk sharing –lalu harus membayar pula. Perasaan gw mulai gak enak nih. Ada sesuatu yang salah, tampaknya. 

“Mohon Maaf, Pak Wali. Kalau hal seperti ini saya harus bicarakan dulu dengan Tim. Saya tidak bisa mengeluarkan biaya di luar budget yang sudah disetujui sebelumnya”, jawab saya diplomatis.

Otak saya masih berusaha memproses. Apakah Walikota Depok baru saja minta uang ke saya. Malak warga, begitu?
Untungnya di perusahaan saya, mengeluarkan uang memang tidak semudah itu. Kami sudah menggunakan sistem ERP. Pengajuan biaya harus melalui beberapa tahap approval dari beberapa pimpinan departemen secara online. Jadi direktur pun tidak semudah itu membuat keputusan belanja perusahaan.

“Jumlahnya tidak perlu segitu, Pak Ben. Berapapun jumlahnya sudah sangat membantu”, tawaran baru muncul.
“Tetap, Pak Wali. Berapa pun uang yang saya keluarkan harus disetujui dari sistem dulu”, jawab saya.
“Wah kalau begitu. Tidak usah dari perusahaan juga tidak apa-apa. Dari Pak Ben pribadi juga boleh. Bisa berapa dari Pak Ben? Pak Ben pakai bank apa? Bisa kirim vai BR*?” desaknya agresif.

……Weeeeeh … dari gue?  agresif amet pak Wali ini ……

“Kami tidak pakai BRI pak Wali. Kami pakai BC*. Tapi tetap pak, di perusahaan saya keluarnya uang harus lewat persetujaun sistem” jawab saya.
“Tidak usah dari perusahaan deh, kalau begitu. Dari ‘nak Ben juga tidak apa-apa. Kalau dari ‘nak Ben, bisa berapa?” desaknya. Kali ini dia sudah mulai memanggil saya dengan kata sandang ‘Nak’. Makin agresif nih.

Karena sudah tidak enak hati, merasa ada yang salah, sekalian saja saya pancing dia, “Kalau satu juta saja, Pak?”
“Tidak masalah. Ini pinjaman kok. Nanti sesudah anggarannya turun akan dikembalikan. Tapi tolong ditransfer cepat ya. Nanti saya SMS-kan rekning BC*-nya”, tanggap sekali suara dari sana.

Tidak sampai setengah jam. HP saya menerima SMS yang berisikan nomer rekening seseorang bernama DEPI di BC*. Disusul dengan sebuah telepon, satu menit kemudian. Kembali, langsung dari Pak Wali.
“Uangnya sudah ditransfer, nak Ben?”
“Wah. Belum, pak. Saya lagi tanggung meeting ini. Nanti sesudah meeting ya.”

Di tahap ini saya sudah sangat curiga. Kok rasanya terlalu agresif ya. Siapa pula DEPI ini? Dan saya langsung sadar, apa buktinya saya barusan sedang ngobrol dengan Walikota Depok. Kan saya tidak kenal dia. Suaranya juga tidak tahu. Kalau keadaanya dibalik, saya telepon seseorang dengan perantara teman saya sebagai (pura-pura) aspri –saya juga bisa jadi (pura-pura) Walikota Depok!

Ah … awalnya saya mikir saya sedang berhadapan dengan pejabat korup. Tapi ini sih terasa seperti Scam Telepon. Ada orang nyatut nama Walikota Depok. Kurang ajarrr …

Saya juga langsung sadar dari mana dia tahu cukup banyak hal tentang saya dan Torch. Beberapa hari sebelumnya, Torch memang masuk liputan beberapa media. Saya rasa, para penipu ini punya modus kayak begini: beli koran, cari pengusaha yang sedang di-features, cari tahu teleponnya, puji-puji layaknya pemimpin daerah yang peduli pada warganya, lalu banting –mintain duit.

Langsung terbayang muka teman saya, Ei di ICW. Langsung terbayang muka Kang Emil minta uang sejuta ke saya. Gak mungkin bangeeeet….

Ya sudah cuekin aja. Tong diwaro, kata orang Sunda mah. Gak usah kirim duit. Gak usah dateng ke undangan ‘Pak Wali’ besok. Kalau toh ternyata (by miracele) si Bapak barusan emang ‘Walikota Depok’, paling banter saya dimusuhin Pak Wali. No man! … saya sengaja masuk bisnis ritel agar saya gak perlu kolusi-kolusi. Hubungan terbaik musti dibuat dengan konsmen, bukan dengan penguasa.

Sampai besoknya saya tidak transfer uang dan juga tidak datang ke Balaikota. Dan … Tentu Saja … tidak ada yang marah-marah nelepon saya. Karena memang yang nelepon itu bukan Pak Wali. Tapi Pak Tipu-Tipu.

Gile, berarti saya baru saja jadi target SCAM … Penipuan per telepon dari seseorang yang mencatut nama ‘WALIKOTA’. Gitu-gitu amet sih cara nyari duit teh’.

Bagi pengusaha di manapun (tidak hanya di Depok), hati-hatilah jika anda ditelepon orang yang mengaku penguasa lalu meminta uang ke perusahaan anda. Bilang saja tidak punya uang. Titik. Karena arahnya cuman dua : satu [anda digiring kolusi] ; dua [anda sedang ditipu]

Waspadalah … Waspadalah … Jangan lupa berdo’a sebelum memulai hari anda.

———–
@ombenben for
benwirawan.com

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.