Pernah merasa bingung dengan hukum-hukum fiqh yang beredar di media sosial? Galau karena ustadz ini bilang hukumnya ‘begini’ di Fb, lalu besoknya ustadz lain bilang ‘begitu’ di YouTube?
Niat sholat harus pakai bahasa arab atau bahasa Indonesia saja?
Waktu baca Al-Fatihah, ‘bismillah’-nya dibaca pelan-pelan, lantang atau gak dibaca sekalian?
Benerkah hakim itu tidak boleh perempuan?
Batal enggak wudhlu saya, kalau nyentuh tangan istri?
—–
Pernah? Galau seperti ini? ……… Saya pernah. *dan mungkin masih.
Wajar dengan pendidikan saya yg hampir semua dihabiskan di sekolah negeri, saya tidak mendapatkan porsi pendidikan agama islam yang cukup. Plus, sebagai generasi yang dibesarkan orde baru pak Harto, memang ada jarak yang sengaja dibuat antara saya dan islam oleh penguasa saat itu.
Dulu, mau aktif mencari tahu tentang agama sendiri agak susah. Karena seperti informasi lainnya di zaman itu, segala info harus disaring dulu sama pemerintah. Dibuat baku dulu, baru boleh dikonsumsi rakyat.
Makanya saya sempat berpikir, jangan-jangan dulu saya menganut Mazhab Orde Baru —bukan Syafiiyah. *Wong saya emang gak pernah baca langsung kitab-kitab karya Imam Syafii, toh.
Tapi zaman itu sudah lewat. Pak Harto sudah beristirahat sekarang. Era reformasi telah membuka banyak kesempatan untuk saya, termasuk kesempatan untuk lebih dekat dengan agama.
Sayangnya, lahirnya era reformasi yang pas banget dengan ‘masa akil baliq’-nya media sosial‘ di Indonesia, gak terlalu membantu juga untuk saya yang ingin bener-bener ‘belajar agama’.
Belajar agama via media sosial ini seperti belajar agama pada guru yang serba tahu –tapi tidak mengerti tujuan pendidikan.
Hasilnya adalah makhluk-makhluk yang merasa pintar, tapi kurang manusiawi –ada yang cenderung hewani. *Jangan-jangan ada yang nabati 🙂
Kurikulum dan silabus pendidikan agama di media sosial juga berantakan. Super cakadut! (*karena memang tidak ada kurikulum dan silabusnya).
Materi fiqh (ilmu yang menerangkan tentang hukum-hukum syara’ yang berkenaan dengan amal perbuatan manusia) diberi di awal, karena peminat kelas fiqh sepertinya paling banyak. Beda dengan ahli-ahli fiqh jaman dulu yang harus hafal ribuan hadist sebelum menyusun kitab. Santri-santri medsos, paling rajin berbagi tapi jarang mengkaji hadist-hadist yang mereka dengar. Hasilnya saya, salah satu (mantan) santrinya, malah jadi bingung. Mau takbiratul ihram aja jadi ragu; ‘ngangkat tangannya ketinggian enggak ya?’
Takut salah dan malu sama teman di sebelah kanan dan kiri –yang juga santri medsos.
Kelas sirah (sejarah) Nabi sepertinya juga kurang banyak peminat. Kelihatan dari prilaku santri-santrinya yang makin tidak mirip dengan Nabi: marahan, takfiri, sumbu pendek, berkata kasar, senang gosip dan susah memberi maaf. Belajar sejarah Rasulullah Saw., tapi kemudian berkarakter seperti Abu Jahal. Aneh!
Kelas ‘perbandingan mazhab’ kayaknya paling sepi. Padahal untuk ukuran santri yang rajin dakwah soal fiqh, harusnya sudah lulus kelas perbandingan Mazhab dengan nilai A+. Produk akhirnya … ya kayak saya dulu, bingung sendiri karena tidak familiar dengan manhaj (metode) setiap mazhab, biografi para pendiri Mazhab, sejarah perkembangan mazhab-mazhab ini, dan tidak punya wawasan mengenai dinamika beragama dan ber-mazhab dalam sejarah umat muslim yang sudah lebih dari 1000 tahun umurnya.
Padahal kalau kita tahu betapa para pendiri Mazhab ini sejatinya saling belajar antara mereka, dan betapa rendah hatinya mereka-mereka ini –timeline facebook pasti akan adeeeem.
Perlukah ber-mazhab? Bolehkah mengambil pendapat beberapa mazhab untuk masalah yang berbeda? Atau mau sendiri saja mentafsirkan hukum-hukum agama?
Saya bahkan belum berani menjawab ini -bahkan untuk keperluan diri sendiri pun. Tapi saya jelas menganggap sangat berbahaya jika mempelajari agama mengandalkan pendidikan agama tanpa kurikulum -di sosial media saja. Asal ada ilmu baru, tanpa cek dan ricek, langsung, “woow … share! share! share!”.
Baca! Baca! Baca! Ada banyak buku tebal yang kita harus baca agar menjadi muslim yang bertanggung jawab. Berhenti beragama mengandalkan posting orang dan pesan yang di-share di WA grup. Biasakan menjadikan posting dan share di media sosial sebagai pemicu keingintahuan, bukan standar kebenaran.
Islam tidak diturunkan untuk dipotong-potong ajarannya di media sosial.
——
“Sesungguhnya berdusta atas (nama)ku tidak sama dengan berdusta atas (nama) orang lain, barangsiapa yang berdusta atas namaku dengan sengaja maka hendaknya dia menempati tempat duduknya di neraka”
HR al-Bukhari (no. 1229) dan Muslim (no. 4).
——-