Ketika Cita-Cita Ibu Tidak Nyambung dengan Cita-Cita Anaknya

Dulu Ibu mungkin agak ‘gak enak badan’ ketika mendengar kakak saya mengatakan bahwa dirinya ingin jadi pilot. Si sulung Arry, sejak duduk di SD, sudah bulat tekad ingin jadi pilot pesawat terbang. Komik Tanguy and Laverdure yang sering dibelikan oleh bapak, tampaknya punya kesan mendalam untuknya. Dia selalu merasa dirinya harus jadi Tanguy. Karakter pilok pesawat tempur Perancis yang keren dan jagoan. Tentu saja saya keberatan kalau dia nyuruh, “Kamu jadi Laverdure-nya, Ben!”. “Gak mau ah, masa cuman jadi side kick.  Lagian ngapain sih orang mau jadi pilot”, kalo menurut saya mah.

Ibu tuh orangnya beda banget sama kakak saya. Ibu sampai sekarang pun tidak berani nyeberang jalan raya sendirian. Ibu, dari zaman muda sampai sekarang, emang kalau nyeberang jalan raya, harus ada yang bantuin. Ibu saya memang sepenakut itu. Jadi saya bisa ikut merasakan ketidaktenangan di dalam diri ibu saat itu –lebih dari tiga puluh tahun lampau.

Di kepala ibu, pasti yang terbayang apa yang terjadi kalau pesawatnya rusak di langit, apa yang terjadi jika pesawat terbangnya masuk ke dalam awan raksasa cumulunimbus, apa yang terjadi kalau pesawatnya tertiup angin besar, dan segala macam kekhawatiran khas orang tua –seperti bagaimana caranya bayar sekolah penerbang yang ratusan juta rupiah?

On the contrary, anak-anaknya cenderung suka tantangan. Entah dari mana kami dapat gen itu, tapi yang jelas saya dan kakak saya senang mencoba hal-hal baru. Kalau dipikir-pikir bapak kami pun punya pembawaan tenang bagai kolam renang di pagi hari. Jangan-jangan, salah satu kakek kita adalah seorang daredevil pada zamannya.

Khusus kakak saya, pilihan hobinya agak aneh. Ketika saya lebih suka menggambar dan belajar bela diri Jiu Jitsu seperti orang normal – eh, normal gak sih? – Kakak saya memilih panjat dinding dan memelihara ular sanca di rumah. Pernah merasakan mengerjakan PR matematika di atas karpet, tahu-tahu ada ular sanca melata di atas kertas coret-coretan?Kaget tau!

Itulah mereka; ibu dan anak yang beda pembawaan sehingga jelas beda cita-citanya.

Tapi ibu itu orangnya fair dan supportif. Di luar ketidaksetujuannya –atau lebih tepat dibilang ‘ketakutannya’– Ibu tetap mempersiapkan kakak sebagai seorang calon pilot kecil. Dia tidak boleh lupa sikat gigi setiap pagi dan malam hari, dia selalu di-support untuk bergabung dengan tim olahraga, dan tetap dibelikan buku Tanguy and Laverdure –sebagai inspirasi.

Padahal saya tahu sekali, kalau ketemu sama teman-teman dan saudaranya, dia sering mencurahkan kekhawatirannya atas pilihan cita-cita kakak. Uwak dan bibi saya sesekali berusaha menghibur ibu, “Gak apa-apa. Itu kan cita-cita anak kecil. Nanti juga berubah. MUNGKIN nanti dia mau jadi insinyur atau dokter.”

Masalahnya, MUNGKIN itu tidak pernah kejadian. Si Tanguy tetap ingin jadi pilot. Karena bakat lainnya pun emang sepertinya tidak tumbuh. Sebelum sekolah pilot, dia pernah ‘ngisi waktu’ di sekolah akunting. Pada saat itulah kelihatan sekali bahwa dia gak ada bakat jadi akuntan. Sekolah akunting kok nilai akuntingnya gak bisa lebih dari empat? …. Hahahaha … ya gitu deh, bakat is bakat. Either you have it or you don’t.

Btw, kalau bakat itu mengikuti pepatah ‘either you have it or you don’t’. Kalau takdir, akan mengikuti pepatah ‘what will be will be’. Perihal kekhawatiran ibu (dan bapak) mengenai biaya sekolah pilot yang tinggi, ternyata pecah dengan sendirinya sejalan waktu dan persiapan kakak saya. Setelah perjuangan yang lumayan panjang dan keras yang didampingi oleh ibu, singkat kata, dia dapat beasiswa dan kontrak kerja dari salah satu maskapai penerbangan BUMN sebesar setengah milyar. Beres lah masalah biaya sekolah yang mahal itu! Ibu dan bapak cuman nyiapin anaknya, baju dingin, koper dan kacamata pilot –lalu nganter ke Bandara Soekarno Hatta. Selebihnya, perjalanan dia ke New Zealand dan semua biaya sekolah di sana ditanggung oleh salah satu maskapai BUMN.

Di buku komiknya, karekter Tanguy memang tidak pernah digambarkan sebagai seorang yang jago ilmu-ilmu mentereng, tapi jelas dia jagoan terbang dan dogfight. Ternyata di kehidupan nyata, kakak saya yang cuman C-Class student di sekolah akunting, mewujud menjadi seorang A-Class student di sekolah pilot. Dia lulus sebagai Top Accademic dan Top Two Best Flyers. Wah! Kok bisa? Mungkin jawabannya kembali ke ‘bakat is bakat, either you have it or you don’t!’ Dia pengen banget jadi pilot, dia sudah siapkan 100% dirinya untuk jadi pilot –dan ibunya, sudah 100% ikhlas.

Sebenarnya, selama kakak saya sekolah penerbang, ibu sering curhat pada saya tentang kekhawatirannya. Ibu rupanya benar-benar khawatir akan ada hal yang buruk terjadi selama kakak saya belajar di sekolah penerbang. Di saat yang sama, ada satu hal yang saya kagumi dari ibu, yaitu waktu yang dia habiskan untuk mendoakan anaknya. Sesudah sholat isya, saya biasa melihat ibu saya berdoa panjaaaaang banget. Saya sempat nanya, “Mah, mamah nge-doain apa aja sih? Kok panjang banget.” Dia jawab, “Ngedoain kamu sama kakak kamu.” Dasar iseng, saya pun nanya lagi, “Panjangan mana doain saya atau Arry?”. Di jawab pendek, “Kakak kamu. Soalnya dia lebih nakal!”. Hahaha… saya gak tau harus tersanjung atau sedih ngedenger jawaban bercanda ibu.

Menjadi seorang ibu memang kayaknya tidak mudah. Apalagi kalau anaknya laki-laki semua seperti ibu saya. Kebanyakan ibu dikaruniai perasaan yang halus, sementara anak laki-lakinya punya kecenderungan terlalu berani dengan ide dan cita-citanya. Kontras!

Beberapa tahun kemudian, Ibu saya dibuat kaget lagi ketika giliran saya yang kasih surprise. “Mah, Benben mau mengundurkan diri dari pekerjaan. Benben mau mencoba jadi pengusaha.” Ibu saya kontan bertanya, “Loh kenapa? Bukannya pekerjaan kamu sudah bagus?”

Pengalaman saya sih, sulit sekali untuk menjelaskan cita-cita diri saya untuk jadi pengusaha kepada seorang ibu yang latar belakangnya adalah seorang Pegawai Negeri Sipil. Tidak mudah menjelaskan bahwa yang saya kejar dalam hidup bukanlah ‘keamanan’ –seperti yang dikejar oleh kebanyakan ‘PNS’ di jaman ibu. Dan sulit juga menggambarkan pada ibu bahwa; menjadi pengusaha itu bukan otomatis menjadi tokoh antagonis yang kerjanya mengkesploitasi buruh dan sumber daya. Tujuan jadi pengusaha itu sama saja seperti tujuan memilih profesi lain: berusaha berbuat kebaikan dan agar punya manfaat. Membuat ibu mengerti itu adalah tantangan tersendiri.

Tapi memang, what will be will be. Tidak sengaja ketika saya sedang jalan-jalan di toko buku, saya menemukan sebuah buku yang menceritakan Nabi Muhammad sebagai seorang saudagar. Triiiing! Saya beli dan saya jadikan hadiah untuk ibu. Kebetulan pada saat itu ibu sedang getol-getolnya ikut pengajian, baru mulai menggunakan hijab dan mendalami agama. Buku ini bisa jadi tools bridging antara pikiran saya dan pikiran ibu.

Seminggu sesudah saya hadiahi buku tsb, dia menelepon, “Ben, bukunya bagus ya. Mamah baru sadar bahwa Nabi kita itu pengusaha hebat, ya. Ternyata positif atau negatifnya bisnis itu tergantung dari niatnya. Omat (ingat baik-baik, –sundanese), kamu jadi pengusaha yang baik ya. Mamah do’akan sukses.”

Alhamdulillah, ibu sudah ikhlas. Ridho ibu itu mahal dan berharga untuk modal saya di awal.

Hidup berjalan, waktu terbang di dunia yang hiruk pikuk penuh intrik ini. Karir saya dan kakak, tidak bisa dikatakan mudah. Kami berdua menghadapi masalah masing-masing di lapangan pekerjaan masing-masing. Kalau orang bule bilang life is a roller coaster. Bayangkan saja naik roller coaster selama 20 tahun  –segila itu lah up and down meniti karir.

Kami sadar bahwa mungkin hidup tetap akan menguji kami, … but well, sudah ada banyak hal yang harus disyukuri. Si Tanguy sekarang menjadi salah satu direktur dari anak perusahaan maskapai BUMN yang dulu membiayai dia sekolah. Saya tetap tidak mau jadi Laverdure. Saya memilih menjadi ayah, ibu, teman dan ‘mandor’ dari hampir 50 pegawai saya di Torch.id.

——

Bulan lalu ibu tersayang, yang sekarang sudah mulai terhinggap penyakit lupa, ngajak ngobrol di meja makan. Dia bilang, “Hebat yah anak-anak mamah. Waktu SMA-nya nakal-nakal. Tapi sekarang udah pada jadi direktur.”

Sambil ngetik ini mata saya berkaca-kaca. Seikhlas itukah dia? Sampai-sampai dia bilang bahwa anak-anaknya lah yang hebat-hebat.

Apakah dia lupa, peran utama dia di sana? 

One Comment Add yours

  1. My Surya berkata:

    Membaca judulnya, aku tersenyum. Membaca isinya, turut berkaca-kaca, jadi ingat ibu… 🙂 Beliau yang tulus dan ikhlas tidak lupa terus mendoakan yang terbaik buat anak-anak beliau, di mana pun berada. Terima kasih untuk ibu.

    Suka

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.