Jalan-jalan sudah menjadi tradisi keluarga kami. Sejak anak-anak kami berumur setahun, saya dan istri biasanya mulai mengajak setiap anak untuk hiking ke pegunungan sekitar Bandung.
Biasanya, setelah lelah day-hike, kami menyempatkan mencari tempat beristirahat dan makan di sekitar area hiking untuk recharge tenaga anak-anak yang habis tergerus selama jalan kaki. Kadang-kadang, kalau terlalu lelah untuk hiking, kami pun biasanya -sama seperti wisatawan dari luar kota- mencari tempat-tempat wisata yang selalu ada saja yang baru di sekitar Bandung. Urang Bandung memang ada saja idenya kalau berurusan dengan santai dan bersenang-senang.
Area favorit kami ada dua: Pangalengan di selatan Bandung dan Lembang di utara Bandung. Secara bergantian, dua pinggiran Bandung itu kami jelajahi; dalam pencarian kebun teh, kebun sayur, sungai, kampung, trek hiking, gunung, lembah atau tempat-tempat wisatanya yang sedang happening. Yang penting anak-anak jangan selalu dibawa main ke mall. Itu tujuan kami, sih.

Di akhir tahun 2016, akhirnya kita punya cukup rejeki untuk membangun sebuah rumah peristirahatan kecil yang bisa kami gunakan untuk meluruskan kaki di dekat wilayah hiking kami. Awalnya memang agak bingung juga; “Bangun rumah di Lembang atau di Pangalengan, ya?”. Tapi akhirnya, dengan pertimbangan jarak yang lebih dekat dengan rumah kami di Bandung, agar lebih mudah diurus, maka kami memilih Lembang.
Selama dua bulan, setiap akhir minggu, saya dan istri kembali menjelajahi Lembang. Kali ini berdua menggunakan motor untuk menemukan sebidang lahan yang cocok untuk ‘meluruskan kaki’ nanti.
Alhamdulillah, dasar rejeki. Kami ditawari sebuah lahan tidak jauh dari Peneropongan Bintang Bosscha, di antara kebun sayur yang masih sangat aktif produksi. Lahan ini benar-benar terletak di jantung kawasan wisata Lembang, hanya 500 meter dari Jalan Raya Lembang. Namun tetap sejuk, segar, nyaman dan cukup tenang untuk beristirahat di siang dan malam hari. Plus, kita dapat pemandangan ke arah Gunung Tangkuban Parahu, dong.

Tapi membeli lahan di Lembang juga ada tantangannya. Tapak bangunan yang boleh dibangun di Lembang hanya 20% dari luas lahan yang dimiliki. Kecil sekali!
Aturan ini dibuat agar fungsi wilayah Lembang sebagai wilayah serapan air bagi Bandung Raya tetap terjaga. Dan kami tidak berani melanggar aturan ini –terlepas kebanyakan orang sih rupanya cuek dengan aturan ini.
Tapi jawaban dari larangan ini sebenarnya tidak terlalu sulit. Setelah ngobrol dengan notaris kami, akhirnya kita ketahui bahwa bangunan kayu tidak masuk kategori bangunan permanen. Oleh sebab itu, bangunan kayu tidak terikat oleh larangan tersebut. Dan memang jika bangunan kayu dirancang berbentuk panggung (elevated) maka bisa dikatakan rumah panggung kayu tersebut memiliki dampak negatif yang minimal terhadap penyerapan air tanah.
Tantangan selanjutnya adalah ‘siapa arsitek yang bisa mendesain rumah kayu, ya?’
Saya memang dididik sebagai seorang desainer –20 tahun yang lalu, sih– tapi itu juga desainer produk industri. Tentu kalau dasar estetika saya punya banget, tapi untuk coba-coba belajar mendesain bangunan … hmmm … itu hal yang berbeda.
Untungnya di zaman now ini banyak sekali tools yang bisa membantu merancang rumah kayu. Sehingga proses perancangan tidak sesulit bayangan saya sebelumnya.
Saya akhirnya pakai dua tools utama ini:
- SketchUp Make, untuk merancang dan modeling 3D. Sketchup adalah program modeling 3 dimensi dengan antar muka paling mudah –dan asiknya dia memiliki versi tidak berbayar. Terakhir kali saya pakai program ini untuk merancang 3 dimensi, mungkin 15 tahun yang lalu. Tapi ternyata cukup satu jam adaptasi di depan layar sketchup, kemampuan sketchup dasar saya mulai kembali.
- Houzz.com atau Houzz App, untuk meluaskan wawasan arsitektur yang agak ketinggalan. Houzz adalah ‘facebook + bukalapak-nya’ para perancang rumah, kontraktor dan supplier bahan bangunan. Developernya dari California. Isinya surga inspirasi arsitektur dunia.
Dalam sebulan, bekerja malam hari sesudah ngantor, saya akhirnya berhasil merancang 3 buah rancangan rumah. Di mana dua di antaranya terbukti terlalu mahal untuk dibangun.
Akhirnya saya putuskan untuk mencari kontraktor rumah kayu dahulu, agar saya bisa berkonsultansi mengenai jenis kayu, harganya dan struktur bangunan kayu. Tapi ini pun tidak bisa dibilang mudah, karena tidak banyak ahli bangunan kayu di Indonesia. Terpikir oleh saya dua daerah yang secara tradisional banyak memiliki ahli-ahli bangunan kayu; Tomohon dan Jepara. Plus, saya pun mencoba cari ahli di Bandung, yang jaraknya lebih dekat dengan lahan.
Tapi rupanya saya lebih jodoh dengan seorang ahli, yang sekarang menjadi teman, dari Jepara. Dia memberikan saya banyak sekali masukan dalam hal pilihan bahan, ukuran dan struktur bangunan kayu yang membuat rancangan lebih feasible secara teknis dan ekonomi.
Alhamdulillah. Akhirnya Konsep Kabin Putih punya hampir semua sumber daya yang dibutuhkan untuk dibangun.
Saya akan ceritakan proses pembangunan si Kabin, dalam posting selanjutnya. Karena ternyata membangun kabin dari kayu itu sangat menantang dan menyenangkan 🙂
boleh minta no kontak kontraktor untuk rumah kayunya?
SukaSuka