Bertemu Kolonel Tahajud

on

Ini temen bandel saya jaman SMA. Sesama siswa yg lebih betah di lapangan volleyball daripada di kelas. *saya pernah di-skors gara-gara main volley di jam pelajaran matematika

Dulu saya manggil dia: Si Adi. Sekarang resminya Pak Kolonel (Penerbang) Adi. Dia ternyata kolonel termuda di AURI saat ini.

Kita berdua ada di tim sepak bola kelas yang sama juga. Bedanya, karena saya gak jago gocek bola, ditaruh sebagai bek kanan. Dia jago banget bawa bola, jadi ditaruh sebagai gelandang.

Ternyata ada satu perbedaan lagi. Waktu pengumuman kelulusan, sementara saya sibuk coret-coretan baju seragam pakai pylox, dia rupanya melipir kabur bersiap tes untuk masuk sekolah militer. “Gue masih butuh baju seragam bersih, Bro”, katanya.

Hampir dua puluh tahun gak bertemu, akhirnya kita bisa ketemu juga di Bandung. Ternyata dia komandan di kota ini. Whoaa… Jadilah kita saling tanya ini-itu —trying to catch up.

Saya sangat penasaran bagaimana ceritanya dia bisa masuk AU. Karena dia bukan tipe orang yang sesumbar bakal masuk TNI. Dia dulu cenderung pendiam, kecuali lagi olahraga.

Ternyata dia bilang bahwa walau tidak pernah cas-cis-cus tentang cita-citanya jadi tentara. Sejak dahulu cita-citanya hanya ingin jadi ‘tentara’. “Lu pikir kenapa gue olah raga melulu? Nyiapin fisik, Bro.”

Arry, kakak saya, juga seorang penerbangan. Tapi sipil, bukan tentara. Saya tahu banget, di jaman dulu, mau jadi penerbangan itu harus banyak backing ‘bintang’. Kakak saya pun hampir gagal.

Sekalian aja saya tanyain bagaimana bisa dia langsung diterima sekolah militer. Soalnya dia dan saya tuh sama aja, warga kelas menengah tanpa backing siapa-siapa. –
“Elu punya saudara di Akademi, Bro?” tanya saya.

“Enggak, bro. Mungkin karena gue keinginannya kuat banget untuk jadi tentara. Selebihnya modal tahajud aja. Kalo gue menghadapi sesuatu yang besar, gue tahajud aja. Setiap menghadapi tes gue tahajud. Eh, ternyata lulus tuh.”

“Serius?”

“Iya. Terus modal apa lagi yg gue punya? Cuman punya persistent sama sholat. Sampai sekarang kalau ketemu hal yg terlalu besar, gue tahajud.”

Dia lanjut bercerita. Di zaman ramai-ramainya GAM di Aceh tahun 2004, beberapa bulan sebelum tsunami, dia ditugaskan membawa teknisi sipil ke salah satu daerah di Aceh.

Dia seorang penerbangan helikopter. Jadi beberapa misi-misi penerbanganan ke pelosok-pelosok jatuh ke tangan dia. Dalam salah satu penerbangannya, tiba-tiba helikopternya mengeluarkan suara metal beradu dengan metal. “Ctangggg!”.

“Cepat periksa di bawah! Helikopter kita sepertinya tertembak.” Kru helikopter segera melakukan pengecekan dan untungnya melaporkan bahwa helikopter sepertinya tidak tertembak parah. Untungnya lagi, posisi mereka tidak jauh dari salah satu pangkalan tempat pendaratan selanjutnya.

Di pangkalan, ketika helikoper melakukan re-fuel, seorang teknisi TNI berlari-lari melaporkan bahwa ada temuan baru. Ternyata bunyi ‘ctaaang’ tersebut benar-benar sebuah peluru yang mengenai fuel tank. Parahnya, peluru ini adalah peluru jenis incendiary. Peluru yang dirancang untuk menghasilkan percikan api. Tujuannya jelas, untuk meledakkan tangki bahan bakar helikopter itu.

Beruntung, ternyata peluru ini mengenai bagian tangki bahan bakar bagian atas yang sudah tidak ada isinya. Karena memang helikoper hampir kehabisan bahan bakar.

“Alhamdulillah, Bro. Beda beberapa centimeter aja helikopter gue meledak. Makanya memang harus banyak berdo’a kita-kita nih.”

Luar biasa … Beda banget arah takdir membawa hidup saya dan hidup Adi. Dari sama-sama penggila Volleyball, kemudian hidup menyuruh saya belajar dagang – dia belajar perang.

Tapi rupanya pak Kolonel baru aja menggarisbawahi bahwa jurusnya sih sama aja : ‘persisten dan sholat’.

—-

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.