Sejak Si Sulung Samsam kecil, ada kebiasaan khas yang kita lakukan di rumah. Yaitu melarang anak-anak nonton acara TV berbahasa Indonesia. Acara TV pertama yang mereka kenal harus program pendidikan berbahasa Inggris.
Teletubbies, Pocoyo, In the Night Garden dan Magic English adalah acara favorit Samsam kecil.
Sakti mah penonton Channel CeeBeeBies dan Disney Junior; Dibo the Gift Dragon, Pororo, Chuggington, dsb.
Kalau Arix sekarang senengnya Channel Baby First TV; Friendly Jack, Ookiis World, dan teman-temannya.
Yes, kadang orang tuanya bisa kena penyakit bosen akut. Karena Acara-acara itu sebenarnya muter-muter aja -diulang-ulang sampai musiknya terngiang-ngiang terbawa tidur. Jadi ‘ear worm’, kalo kata SpongeBob mah.
Apalagi di jaman Samsam, kita masih pakai CD/DVD, belum pakai TV Kabel. Jadi harus manual gonta-ganti keping dan manual rewind/fast forward.
Tapi sebenarnya semuanya terbayar dengan kondisi sekarang di mana anak-anak biasa ngobrol bahasa Inggris di rumah. Jadi gak perlu ngeluarin budget extra untuk kursus bahasa éggrés.
Ada ‘side effect’-nya sih. Sakti waktu masuk TK lebih lancar bahasa Inggrisnya dari pada bahasa Indonesia 😅. Well, sekarang mah sudah bagusan Bahasa Indonesianya, sih.
Tapi side effect segitu masih bisa ditoleransi lah. Karena Samsam beberapa kali jadi juara Story Telling sejak SD. Dan sejak kelas 7 sudah empat kali diminta gurunya jadi asisten guru dalam mengajar bahasa Inggris di SMP.
Sakti sering melakukan riset kecil-kecilan di YouTube untuk menamakan karakter gambarnya, yang entah kenapa, selalu harus dalam bahasa Inggris. Mungkin menurut dia terdengar cool.
Arix kayaknya bakalan punya masalah yang sama dengan Sakti, karena sekarang belepotan nyampur-nyampur bahasa. “Wah, ada machine!”… “Where’s Nini pergi, Papah?”
Bagusnya belajar via TV adalah mereka ‘less worry about grammar’ dan lebih lepas ketika berbicara.
Duh, seandainya ada banyak program TV kartun berbahasa sunda. Kayaknya saya bakalan sukses juga ngajarin mereka jadi trilingual.