Pernah belanja di marketplace, kan? Pernah menghitung berapa persen jumlah produk dalam negeri dibandingkan produk luar negeri yang dipasarkan di situs-situs tersebut?
Ini angkanya, bro. 93% Produk Impor : 7% Produk Indonesia. Data ini dikeluarkan oleh Kementrian Koordinator Bidang Perekonominan, seperti dimuat di kompas dot com bulan Februari 2018 lalu.
CEO Blibli.com, Kusumo Martanto, mengakui akurasi angka tersebut. Dia mengatakan bahwa dari 2,5 juta listing barang di Blibli.com, hanya 100 ribu saja yang merupakan barang buatan dalam negeri. Di kesempatan lain, CEO Bukalapak Achmad Zaky, menampik proporsi itu. Dia memperkirakan di Bukalapak proporsinya adalah 60% produk impor : 40% produk lokal.
Seberapa akurat data yang diberikan Zaky saya kurang tahu, karena Zaky tidak memberikan angkanya secara spesifik. Tapi keduanya, Kusumo dan Zaky, mengakui bahwa produk import itu pun sebenarnya didominasi oleh produk import dari satu negara saja, RRC. Tentu saja.
Oke, mari coba kita bandingkan angka yang keluar dari Kementrian, Blibli dan Bukalapak.
Kementrian mengatakan produk import vs produk lokal proporsinya 93% : 7%
Blibli mengatakan produk import vs produk lokal proporsinya 96% : 4%
Bukalapak mengatakan produk import vs produk lokal proporsinya 60% : 40%
Kelihatan skor sementara persaingan dagang di republik ini? Produk kita kalah jauh volume perdagangannya dibandingkan produk import di marketplace. Yang menambah parah, angka ini terjadi di marketplace lokal! Bukan di Amazon atau Taobao. Ini terjadi di tokopedia, bukalapak, shopee, dan marketplace lokal lain. Situasi ini mungkin hanya bisa disamakan dengan kejadian Persib kalah 7:0 –di hadapan bobotoh di Stadion Si Jalak Harupat! Unacceptable! Ngerakeun! Bikin Baper!
Saya akan kembali dulu ke sifat dasar dari marketplace, yang merupakan format digital dari sebuah pasar. Marketplace, sama dengan pasar, adalah tampat kita mencari kebutuhan, membanding-bandingkan harga, lalu menukarnya dengan uang. Secara natural, di pasar online atau offline, jumlah pedagang akan lebih banyak dari pada jenis barang.
Contoh nih. Di pasar basah Ciroyom, jumlah tukang sayurnya pasti lebih banyak daripada variasi sayur yang dijual di sana. Lalu apa yang kita lakukan sebagai konsumen ketika kita mau membeli kol di sana? Biasanya kita akan menjelajahi minimal 3 tukang sayur, melihat kualitasnya lalu mencari harga termurah. Barang jelek dan barang mahal akan kita skip. Karena kita akan mencari barang sesuai ekspektasi kualitas, dengan harga termurah. Wajar. Kita membeli komoditas di pasar. Memang itulah urutan preferensinya.
Sekarang, mari kita ingat-ingat ketika kita berbelanja di marketplace. Katakanlah kita mau membeli jam tangan. Lalu kita ketikkan kata ‘jam tangan’ di kolom search. Hasilnya mirip bukan? Selama browsing di sana, kita akan menghadapi situasi yang kurang lebih sama dengan Pasar Ciroyom: walaupun jumlah pedagangnya banyak tapi barang yang didagangkan sebenarnya itu-itu saja. Kita akan menemukan dominasi merek Skmei, Digitec, G-Shock murahan, Quick Silver 100 ribuan, Suunto-Suunto-an, bahkan Rolex seharga magic jar.
Standar Operating Prochedure perusahaan ritel adalah ‘selalu memajang paling depan barang yang paling laku’. Jadi tanpa perlu masuk ke backend marketplace, kita sudah tahu barang-barang apa saja yang paling laku dijual. Kesimpulan saya sih, sama dengan kesimpulan Kementrian Koordinator Bidang Perekonomian: kita sedang diserang barang China habis-habisan.
Ah … itu mah semua orang juga tahu, kalee Been!
Ok, kalau begitu saya kasih perspektif baru. Tidak hanya kita diserang barang China, tapi kita juga mulai memperlakukan jam tangan (dan produk-produk lainnya) –sebagai sayur. –sebagai komoditas. Padahal jelas, ‘produk’ dan ‘komoditas’ adalah hal yang berbeda.
Kita mulai menganggap inovasi, hak intelektual, positioning khas, dan atribut lain yang ada di dalam sebuah ‘produk’ sebagai sesuatu yang ghaib.
Yang masih nyata tersisa di benak konsumen yang sudah ter-brain wash pola konsumsi seperti ini, biasanya hanya merek dan harga. Tepatnya merek hebat yang dibandrol harga murah.
Makanya akan banyak orang akan beli Rolex seharga Magic Jar tadi.
——-
Saya mulai menyadari kurang mendukungnya situasi berdagang produk inovasi di Indonesia, ketika saya mulai memproduksi #GetawayGear dengan merek Torch. Bagaimana ceritanya?
Oke, saya jelaskan dahulu sedikit ya bagi rekan-rekan yang bukan industriawan atau pedagang. Saya termasuk orang yang memiliki school of thinking bahwa produk hanya memiliki nilai tinggi bagi konsumennya, jika daya komunikasinya sama kuat dengan value inovasinya.
Maksudnya begini, konsumen hanya akan menganggap sebuah produk memiliki nilai yang tinggi, ketika tidak hanya memang produk memiliki inovasi yang tinggi, tapi juga perusahaan berhasil menyampaikan pesan tegas dan terpercaya bahwa produk tersebut memang bernilai tinggi. Jadi agar sukses di pasaran, marketing communication harus sama hebatnya dengan product innovation-nya. Kalau dua-duanya bagus, barulah konsumen menganggap bahwa produk memiliki nilai yang tinggi.
Salah satu pengalaman kami terkait inovasi dan komunikasi ini adalah ketika Torch mulai mengembangkan sebuah desain sendal yang sangat inovatif, latent demand-nya terindikasi tinggi, dan desain finalnya terbilang mumpuni –keren lah.
Kami memberi nama produk tersebut sebagai ‘Torch Arrafa’. Sebuah desain sendal yang didesain khusus untuk konsumen yang hendak menunaikan ibadah, umrah, haji dan traveling.
Sebagai sendal khusus umrah dan haji, desain produknya sangat matang. Dibuat dari bahan neoprene (bahan baju selam), grip outsole-nya ngigit banget, sendalnya ringan, kuat, dengan style-nya modern dan unik –berbeda dengan rivalnya, sendal gunung.
Sendal ini didesain berdasarkan permasalahan yang saya alami sendiri ketika saya menunaikan ibadah umrah. Sulitnya sendal dimasukkan ke tas karena kegedean, capeknya melepas pasang sendal ketika bolak-balik wudhlu, tidak enaknya sendal jepit ketika dipakai berjalan jauh, tidak nyamannya pakai sendal jika berbasah-basahan, dst. Semua masalah ini kami pecahkan dengan desain sandal Torch Arrafa.
Setelah proses R&D yang memakan waktu hampir setahun, akhirnya saya putuskan untuk mulai mengangkat desain finalnya ke dalam line produksi. Tidak tanggung-tanggung, kami menggandeng Perusahaan PMA Korea untuk memproduksi sendal ini. Untuk melindungi proses komersialisasinya, kami juga mendaftarkan hak desainnya ke Dirjen HKI.
Karena sangat yakin akan solusi yang kami tawarkan untuk pasar, saya putuskan memproduksi ribuan pasang sandal Arrafa. Dan ketika akhirnya sendal-sendal ini masuk ke gudang kami…. “Jamaah haji, here come our solution for you“, begitu pikir saya.
Lalu selama tiga bulan, staf-staf marketing kami menawarkan produk-produk ini pada puluhan agen yang kami kenal. Tidak lupa kami pajang produk-produk ini di toko-toko kami dengan banduan display khusus agar menggenjot penjualannya. Marketplace pun kami coba gunakan untuk menjual produk inovatif ini.
Hasilnya? Tidak lebih dari 10% stok keluar dari gudang. Umumnya agen-agen kami bertanya, “Ini sendal apaan sih? Sendal gunung bukan, sendal jepit bukan. Gimana cara jualnya?” Kalau agen saja bingung, bagaimana dengan end consumer?
Akhirnya, komisaris saya yang sudah mulai tidak sabar pun nyolek, “Ben, kok itu sendalnya masih numpuk di gudang?”
Hiyaaaaa ….. keringet dingin dah….
Apa yang salah? Produknya bagus, toh? Kok susah jualan?
Ini kasus yang saya bilang sebagai marketing komunikasi yang kalah kuat dengan inovasi produk. Tanpa gema yang kuat di pasar, maka kekuatan inovasi yang kuat pun hanya akan bertiup sepoi-sepoi ke telinga konsumen.
Permasalahannya, sebagai perusahaan menengah, kami belum punya budget cukup besar untuk membesarkan gema komunikasi melalui media dengan jangkauan sekuat dan seluas TV. Padahal –mau tidak mau, kuat tidak kuat– inovasi itu harus disampaikan. Konsumen harus mendengar, teryakinkan dan akhirnya percaya bahwa produk tersebut memang baik untuknya.
Bagaimana dengan marketplace? Bukankah jangkauannya sangat luas?
Ya, data pada bulan Januari 2017 mengatakan bahwa nilai transaksi di Tokopedia adalah 1 triliun per bulan dengan jumlah pengguna aktif sebanyak 12 juta pengguna. Tapi kenapa 12 juta pengguna ini bukan market yang empuk bagi produk inovasi?
Saya pikir masalahnya bukan ada pada jumlah pengguna atau total nilai transaksinya, tapi ada pada 30 juta produk aktif siap beli di sana. Bayangkan! Tiga puluh juta produk! Bahkan dengan sistem pencarian yang canggih yang dimiliki oleh marketplace-marketplace ini, tetap saja ini menjadi sebuah persaingan yang keras untuk memasarkan produk-produk inovasi. Bukan hal yang mudah untuk mendapatkan spotlight di tengah puluhan juta produk lain yang juga minta dibeli.
Apalagi seperti kita sudah bahas di bagian awal, prilaku pembeli di sana mirip sekali dengan pasar tradisional. Yang laku adalah barang (agak) bagus yang dibandrol murah. Bukan untuk produk lokal dengan konsep yang kuat dan pemasaran yang kreatif. Maka wajar jika produk diskon masal dan produk China lah yang akan jadi raja.
Saya tidak mengatakan bahwa marketplace ini tidak bagus untuk menjual produk inovatif lokal. Tapi memang dengan prilaku pembeli seperti di atas, maka marketplace bukan sebuah entry point yang efektif.
Walau ini adalah tempat yang cukup efektif untuk berdagang bagi reseller dan agen-agen produk tertentu, saya akhirnya berkesimpulan bahwa ini bukan titik terbaik untuk memulai pemasaran bagi produk-produk inovasi lokal.
Kembali ke Torch Arrafa – si sendal umrah, untung saja kami menemukan sebuah cara pemasaran digital yang lebih efektif untuk memasarkan produk bermerek dan inovatif. Bukan melalui marketplace –tapi via webstore.
Jika kita menganggap bahwa marketplace, dengan banyak lapak digital di dalamnya, adalah bentuk online dari sebuah pasar offline. Maka webstore adalah perwujudan online dari showroom offline —yang umumnya menjual satu merek saja di dalamnya.
Letak perbedaan versi online-nya pun, mirip dengan perbedaan versi offline-nya. Jika pasar adalah kumpulan lapak yang bersatu sehingga menarik pembeli untuk datang, maka showroom adalah toko satu brand yang dengan kemampuan marketingnya menarik sendiri pembeli untuk datang.
Perbedaan utamanya ada di effort marketing. Sebuah showroom, berbeda dengan sebuah pasar, perlu effort marketing dan promosi konsisten yang unik. Sehingga bisa mendatangkan orang yang pas dengan profil pembeli potensial brand tersebut. Tidak perlu bisa mendatangkan konsumen sebanyak konsumen pasar, yang penting cukup banyak pembeli dengan konversi penjualan yang tinggi.
Berbeda dengan marketplace di mana sistem promosi umumnya difasilitasi oleh marketplace-nya sendiri, pada sebuah webstore fasilitas promosi bergantung pada ekosistem di sekelilingnya. Semua webstore bebas memilih metode marketing dan tools-nya masing-masing. Bahkan platform di belakang webstore-nya sendiri sebenarnya berbeda-beda, dan konsumen sering kali tidak tahu perbedaannya. Ada yang menggunakan Shopify, Prestashop, WooCommerce atau bahkan ada yang membangun sistem sendiri.
Berbicara tentang metode marketing untuk mendatangkan calon pembeli potensial, webstore-webstore ini memilih cara dan tools yang berbeda. Ada yang mengutamakan Search Engine Optimization (SEO), Paid Ads (Facebook, Instagram, Google) dan sebagainya. Atau mengkombinasikan tools-tools tsb,
Umumnya perusahaan dengan pemasaran melalui webstore memiliki personil dengan skill set yang lebih beragam dibandingkan perusahaan dengan kanal utama via marketplace. Tidak hanya personil di lingkup operasi penjualan seperti packing, customer service, content writer, –tetapi dibutuhkan juga personil dengan skill set kreatif seperti videographer, script writer, photographer, director, dst.
Intinya, berdagang via webstore adalah sebuah metode yang jauh lebih kompleks dibandingkan melapak di marketplace.
Tapi saya melihat setidaknya ada beberapa keunggulan utama webstore dibandingkan marketplace, yaitu:
1. Kemampuan marketing yang lebih tertarget.
2. Kemampuan branding dan menyampaikan pesan-pesan yang kuat.
3. Kemampuan data collecting yang hampir tidak terbatas.
4. Kemampuan pertumbuhan yang jauh lebih tinggi bagi brand tsb.
Kami sendiri memilih Facebook dan Instagram sebagai tools marketing awal kami. Ribuan konten sudah kami produksi, ratusan di antaranya mungkin sudah menyapa konsumen dan calon konsumen kami. Sendal Umrah Arrafa adalah salah satu desain yang terselamatkan, bahkan tumbuh menjadi besar karena karena memanfaatkan fasilitas marketing yang inovatif dari Facebook.
Kembali ke ribuan pasang sendal yang terdiam di gudang kami selama tiga bulan. Keadaan itu segera berubah ketika kita mulai memanfaatkan Facebook dan IG marketing. Konten-konten berupa video, foto, graphic work, dan tulisan –kami lesatkan ke hadapan para calon konsumen dengan sistem targeting yang jauh lebih akurat dibandingkan metode yang disediakan oleh media konvensional. Sehingga pada saat itu penjualan webstore kami melesat belasan kali lipat hanya dalam kurun waktu 6 bulan.
Apa yang terjadi kemudian dengan tumpukan sendal umrah Arrafa di gudang kami? It is now one of the fastest selling items in our line of products. Amazing. Kita bahkan sudah mulai membuat versi women series dari desain ini
Kenapa ini bisa terjadi? Jawabannya sederhana, karena inovasi yang kuat yang ada pada sendal umrah Torch Arrafa (pada akhirnya) bisa diimbangi oleh pesan-pesan marketing yang sama kuatnya –yang dilesatkan melalui jaringan social media made in america ini. Akhirnya pesan yang sampai ke telinga potensial konsumen kami tidak lagi sepoi-sepoi tapi tegas dan menarik hati.
Ini yang membuat saya yakin bahwa kampus-kampus yang mendidik calon pengusaha di bidang industri kreatif di Indonesia harus segera mengadaptasi metode pemasaran media sosial ke dalam kurikulumnya. Karena, at least for now, pemasaran sosial media lah yang menawarkan kemampuan menyampaikan pesan-pesan kreatif dan branding yang paling mumpuni dan terjangkau untuk para inovator muda.
Di zaman now, sudah bukan saatnya kampus-kampus hanya mengajari mahasiswa cara membuat prouk yang inovatif.
Di zaman now, adalah tugas kampus juga untuk memberikan wawasan dan pengetahuan tentang bagaimana cara menyampaikan pesan-pesan inovasi dan pesan-pesan branding tersebut dengan metode yang paling efektif dan paling terjangkau oleh calon lulusannya.
Karena bagaimana pun juga adalah salah satu tugas kampus untuk mengubah proporsi penjualan barang pada transaksi online yang masih dimenangkan China dengan skor 93 : 7 di babak pertama ini.
Beranikah kampus mengubah pola permainannya agar Indonesia menang di babak ke dua?
~bws~