Kisah Minoritas berwajah Mayoritas di Singapura

Ukuran kelopak mata saya yang tanggung, kulit yang agak cerah dan nama depan saya yang kebarat-baratan, beberapa kali membawa saya di situasi spesial yang hanya bisa datang (mungkin) pada rare-breed sejenis saya ini.

Sifat saya yang sering menempatkan diri seadanya juga, kadang-kadang memperburuk keadaan, atau sebaliknya, membawa berkah pengalaman tersendiri

Ini fragmen kehidupan saya tahun 1998 di Singapura. Saat itu di computer center, duduk seorang teman baru tepat di samping kanan saya. Sambil menepuk paha kanan saya, dia bertanya pendek.

Are you Chinese, Ben?
“emm… Ya, I am Chinese“, ujar saya pendek –cari gampangnya– karena malas berdiskusi dalam Singlish.
Padahal dalam hati saya nyebut, “Cina apaan, bos … idung yahudi begini.”
“Yeah, I can tell. You seems like a nice dude. Where are you from? Jakarta?” 
lanjut Chinese-Singaporean kurus berkaca mata itu, sambil terus ngulik mIRC.
Yeah, Jakarta“. Saya iyakan saja semua asumsi dia. Soalnya kadang malas juga diskusi ketika saya lebih ingin chatting gratis di computer center-nya kampus

Sebenarnya asumsi dia bahwa saya adalah seorang Cina dari Jakarta, bukan sebuah asumsi asal-asalan. Tahun itu, di Singapura banyak sekali ‘pengungsi dari Jakarta. Dan mereka memang berasal dari etnis Cina-Indonesia. Beberapa di antaranya adalah teman-teman baik saya yang terpaksa meninggalkan Indonesia karena orang tuanya menganggap Singapura jauh lebih aman untuk mereka setelah letusan Tragedi Mei 1998.

Saya sendiri, setelah musim demo 1998, dapat rejeki beasiswa ke Singapura. Jadi keberadaan saya di Singapura sebenarnya tidak ada hubungannya dengan mata saya yang sipit.

Tapi rupanya teman baru saya ini menganggap saya adalah salah satu pengungsi ini. Biarlah, let’s play along. Gak akan jadi masalah juga toh, pikir saya.

How do you like Singapore, Ben? Do you like it here?”, tanya teman saya ini ramah –sambil terus chatting dengan entah siapa di ujung sana.
Yeah, sure. I don’t have high-speed internet like this in Indonesia. Yea, I like Singapore“, kembali saya menjawab apa adanya. Karena memang di Indonesia, saya masih menggunakan dial-up connection internet dengan modemnya yang sangat berisik tapi sangat woles kecepatannya. Mirip dengan motor bebek yang ganti knalpot racing. Tong kosong nyaring bunyinya.

I hope you enjoy living here. You are no longer a minority here, Ben” katanya santai.
#Eh …
saya agak tertegun. Ini percakapan sara, ternyata. Dan saya baru saja mengenalkan identitas diri dengan tidak terlalu akurat.
Well…. saya yakin saya punya turunan cina 7 turunan ke atas sana. Jadi (mungkin) saya gak bener-bener bohong. Jadi saya lanjutkan saja lah obrolan ini.

I know. It’s quite different here. I think I’ll manage fine”, kata saya agak netral karena sekarang saya malah ingin mendengar obrolan dia selanjutnya.

Pintu ComCen terdengar terbuka di belakang. Teman saya ini, tanpa menengok ke belakang, berbisik kepada saya, “There’s a Bangla entering the room. You can tell by the smell.” Saya melihat ke belakang, ternyata benar ada seorang siswa berbadan hitam besar baru saja masuk ke ruangan.

Teman saya ini meneruskan bisikannya, “You know, I think there’s too many Bangla in Singapore nowdays. They have became a burden to Singapore. They’re not too smart and their body odors …. mfff.

Woh … asli, saya baru sadar teman saya ini agak rasis.

Di Singapura memang banyak pekerja kasar ilegal dari Bangladesh. Mereka umumnya construction workers, wajar kalau mereka yang datang ke Singapura tidak se-terdidik kebanyakan anak Singapura yang disuapi fasilitas pendidikan kelas dunia. Tapi mengeralisir bahwa orang Bangladesh adalah bangsa yang bodoh adalah pernyataan sembrono, setidaknya bagi saya. Apalagi sebenarnya teman saya ini harus sadar bahwa tanpa para pekerja kasar ini, pembangunan di Singapura akan mandeg. Karena banyak orang Singapura mengaggap dirinya sudah terlalu ‘maju’ untuk pekerjaan-pekerjaan konstruksi kasar di bawah sinar matahari terik Singapura.

Saya diam saja, malam itu saya tidak ada rencana debat kusir dengan seorang kenalan baru. Apalagi saya tamu di sini. Chatting mIRC dengan pacar saya di Bandung, lebih menarik daripada debat sosial masalah negara orang.

Tapi teman saya ini memang ternyata punya kemampuan hebat dalam menemukan kekurangan orang yang rasnya beda dengan dia. Karena selanjutnya dia membahas bagaimana Singapura maju di bawah kepemimpinan Lee Kwan Yew. Bagaimana etos kerja Chinese-Singapore yang tinggi dan bagaimana Malay-Singapore lebih laid-back –agak pemalas, menurut dia. Jadi kalau Singapura maju, itu lebih disebabkan oleh ras kuningnya dibandingkan sumbangan keringat ras sawo matang dan ras dark chocolate-nya, …menurut dia.

Kalau saya sedikit saja menyebutkan Indonesia, dia akan tambah panas. Ngobrol ini-itu tentang negara yang sebenarnya dia tidak kenal. Banyak sumpah serapah keluar dari mulutnya. Wajar … karena saat itu sedang ramai-ramainya pemberitaan tentang Tragedi Mei di Indonesia. Bagaimana tragisnya nasib warga Indonesia keturunan Cina yang diperlakukan tidak berprikemanusiaan oleh manusia-manusia yang kehilangan akalnya dan tertutup hatinya di Ibukota Indonesia.

Mungkin perasaan dia saat itu, dapat dibandingkan dengan perasaan saya ketika mengetahui Muslim Rohingya dibantai di Myanmar.

Saat itu, untuk dia, saya sudah tidak dianggap sebagai WNI. Untuk dia, saya adalah sesama Chinese yang pasti marah pada Indonesia atas perlakuan terhadap saudara se-ras-nya di Indonesia. Dia jelas tidak sadar bahwa teman diskusinya ini, sebenarnya lebih Malay daripada Chinese.

Oh… gini mungkin rasanya nggossip rasis di Singapura. Sebenarnya mirip seperti yang biasa saya temukan di warung-warung kopi di Indonesia –bedanya– saat itu saya menggosip dari sisi ras yang lain. 

—–

Di waktu yang berbeda, sekitar seminggu sesudah obrolan rasis saya di ComCen, saya tidak sengaja bertemu beberapa muslimah Malay-Singapore di tangga salah satu bangunan di kampus. Mereka rupanya membuat sebuah musholla darurat di platform kecil berukuran sekitar 10 m2, di antara anak-anak tangga naik dan turun.

Assalamulaikum” sapa saya.
Sambil agak tercekat kaget mereka menjawab “Waalaikumsalam….
Hi. I am Ben. How are you?“.
Hi, Ben. We’re fine.
Why are you praying here? Isn’t there a mushalla around here?” tanya saya.
Excuse me. Are you a Malay, Ben?” tanya salah satu dari mereka dengan sedikit agak curiga.
Yes. I am Malay –from Indonesia ….“.

Karena ciri-ciri fisik saya yang gak jelas, selama di hidup di Singapura memang saya harus selalu berusaha mengklarifikasi identitas ras saya. Rupanya mereka agak bingung harus seterbuka apa pada saya.

Obrol punya obrol, memang ternyata tidak ada mushalla di sekitar gedung itu. Masjid terdekat, tempat saya selalu sholat jumat, terletak sekitar 1 km dari sana. Saya sendiri memang tinggal di asrama tidak jauh dari fakultas. Untuk saya cukup berlari-lari kecil ke kamar saya untuk menjalankan shalat di tengah hari. Tapi rupanya bagi teman-teman muslim/ah yang tinggal agak jauh dari kampus, mereka berinisiatif untuk menggelar karpet dan membuat semacam mushalla darurat di sekitar tangga dekat student center. Lengkap dengan rak kecil dan mushaf-mushaf Al Qur’an yang ditaruh di atasnya.

Bangsa melayu memang tidak lagi dominan di Singapura. Walaupun Lee Kuan Yew muda dengan gagah berani berorasi menggunakan bahasa Melayu dalam perjuangan kemerdekaan Singapura. Dan bahkan lagu kebangsaan mereka sendiri judulnya ‘Majulah Singapura’, tapi etnis Melayu-Singapura sudah menjadi ras minoritas yang tidak dominan di sana.

Saya bisa merasakan perasaan termarginalisasinya etnis Melayu ketika ikut ngobrol-ngobrol di ‘mushalla bayangan‘ itu. Dan tentu saja mereka cenderung menyalahkan etnis yang berkuasa sebagai pihak yang  meng-orkestrasi semua ketidakadilan yang mereka rasakan.

Hal ini terdengar jelas ketika mereka menjawab pertanyaan saya, perihal kenapa lebih banyak wanita Malay dibandingkan prianya di kampus ini. Tadinya ini sekedar pertanyaan basa-basi saja. Saya tanyakan karena memang di kampus nomor satu ini, saya merasa lebih sering berpapasan dengan wanita melayu daripada pria melayu.

Tapi ternyata jawabannya panjang. Lebih dalam –dan lebih serius dari yang saya duga.

“Ben, it is not that easy to pass the exam for men.”
“Why not? They need to pass the same test, right?”
“Yes. But few of them pass, though.”
“How come?”
“The education system in Singapore made sure there are more Malay women enter the top university than the men”
“How so?”
“Well, that’s the way it is”
“Why? What’s the reason for such system?”
“Ben, you do realize that woman usually only wants to marry a man who has better education than her, right?”
“Yes. So?”
“When more Malay women made it to university than the men, the chance is that these women would later choose to marry to men from other races –because most Malay men are most probably less educated than her. By that, soon there would be less Malay and less Muslims in Singapore”.
“Oh, c’mon. You don’t really think that’s possible and really happening, do you?”
“Well … look around, Ben. See it for yourself.”

Saya memilih diam. Teman-teman baru saya ini benar-benar percaya bahwa pemerintah Singapura sengaja membuat sistem yang sangat rapih untuk menyingkirkan ras Melayu dari Singapura. Saya yang hanya tamu, tidak tahu mau percaya atau tidak. Terlalu sedikit yang saya tahu tentang Singapura untuk menghakimi pemerintah Singapura atau justru teman-teman saya ini.

Tapi kemudian pikiran saya terbang melayang ke Bandung. Dulu, beberapa teman-teman saya pernah bilang bahwa universitas-universitas negeri di Indonesia membatasi jatah kursi mahasiswa untuk keturunan Tionghoa. Kalau tidak dibatasi, bisa-bisa seluruh universitas negeri di Indonesia hanya menerima mahasiswa Tionghoa saja. Disebabkan karena keluarga Tionghoa umumnya lebih mampu menyekolahkan anaknya dengan lebih baik di sekolah swasta, sejak SD sampai SMA. Persaingannya tidak akan fair untuk suku yang lain, yang umumnya kemampuan ekonomi dan sosialnya di bawah suku Tionghoa.

Ah, masa sih?” pikir saya. Apa benar Indonesia dan Singapura perlu melakukan hal-hal ini demi supremasi ras? Atau demi kemajuan? Atau demi keadilan?

Bicara tentang keadilan, seorang teman saya bisa testimoni bahwa di negaranya ‘ketidaksamaan hak antar ras’ dilakukan secara legal –dilindungi undang-undang.

Kev adalah teman kuliah saya juga di sana -beda fakultas. Dia mahasiswa dari Malaysia. Seorang Chinese-Malaysian. Beda dengan teman-teman Chinese-Singaporean, Kev sangat fasih bahasa Melayu. Ketika sedang ngobrol berdua saja, dia sering mengajak saya ngobrol dalam bahasa Indonesia x Melayu. Dia bilang, somehow ini membuat dia merasa lebih di rumah, karena di sekolah negeri di sana semua warga Malaysia, dari ras mana pun, harus mampu berkomunikasi dalam bahasa Melayu. Mirip dengan di Indonesia.

Kev tahu sekali bahwa saya beragama Islam dan seorang Malay. Walau kalau di Indonesia saya lebih senang disebut sebagai orang Sunda, karena orang Melayu sih lebih tepat disematkan pada orang Riau.

Anyway, kembali ke Kev. Dia bercerita pada saya bahwa dia tidak memiliki beberapa hak yang dimiliki oleh warga Malaysia keturunan Melayu. Dia bilang akan lebih sulit untuk dia untuk mendapatkan kredit ke Bank dibandingkan warga Melayu. Ada semacam kuota atau apa ‘lah di sana.

Itu legal, Kev?” ujar saya agak kaget.
“Ya, ade law yang guarantee”, kata dia ringan.
“Kamu gak keberatan, Kev? I mean, kamu kan Cina?” tanya saya masih kaget.

Saya kaget karena walau saya sebenarnya sadar bahwa di Indonesia juga sepertinya hal seperti ini ada sih –tapi tidak legal. Minimal tidak terbuka. Misal, hanya ada sedikit orang Tiongkok di TNI, ‘kan? Pasti ada sebabnya. Tapi semua orang diam-diam aja, ‘kan?

No, not really. Ini untuk kebaikan semue orang. Apelagi memang Chinese di Malaysia memang sudah lebih maju ekonominya daripade Malay. I guess I’d better have such a law than having to go through a riot like the one in Jakarta“, katanya menyinggung kerusuhan ras Mei 1998 di Jakarta.
Nada bicara dia ringan sekali. Entah karena dia sangat sadar bahwa itu peraturan yang paling baik untuk Malaysia, atau memang he’s just being Kev. Orangnya memang optimis dan ringan hati.

—–

Untuk seorang mahasiswa berumur 22 tahun yang baru saja pertama kali mengganti statusnya dari mayoritas menjadi minoritas di sebuah negara asing, sebenarnya fakta-fakta ini agak excessive —berlebihan. Bikin galau.

Selama dua puluh tahun, saya hidup di lingkungan beragam –yang damai karena ditekan kediktatoran seorang Suharto. Wajah asli Indonesia yang sebenarnya penuh retak-retak baru saja memunculkan diri di hadapan saya: Tragedi Mei 1998. Kalau saya adalah seorang Sting, saya pasti akan langsung menulis lirik, “How fragile we are. How fragile we are.”

Tiga negara tetangga Asia Tenggara akhirnya memilih jalan yang berbeda-beda untuk mengatur hubungan antar suku-suku dan ras di negaranya masing-masing. Semua keputusan ini pasti membuat luka-luka, baik pada warga minoritas –atau bahkan mayoritasnya. Negara pasti tidak akan terasa adil bagi warganya. Seperti dunia pasti juga tidak akan terasa adil bagi manusia.

Pada akhirnya pelajaran hidup sebagai minoritas berwajah mayoritas di negara Tumasik sana, membuat saya sadar betapa sulitnya tugas yang dibebankan Allah pada kaum mayoritas di seluruh pelosok dunia.

Ketika minoritas dituntut untuk survive –mayoritas dituntut untuk just –adil.

——

“Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa…”
[Al Maa-idah 8]

“…. Seandainya Allah tidak menolak (keganasan) sebagian manusia dengan sebagian yang lain, tentulah telah dirobohkan biara-biara Nasrani, gereja-gereja, rumah-rumah ibadah orang Yahudi dan masjid-masjid yang di dalamnya banyak disebut nama Allah…”
[Al Hajj 40]

——
Bandung, Ramadhan 1439
20 Tahun sejak saya jadi minoritas di Tumasik

 

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.