Saya paling tidak berani menakar-nakar beratnya kehidupan. Karena jalan hidup orang lain bisa jadi jauh lebih berkelok melelahkan daripada jalan hidup saya. Situasi mungkin bisa menjepit seseorang, tetapi lebih pengertian pada orang lain. Takdir mungkin sedang memanjakan kita saat ini, tapi siapa yang bilang takdir akan selalu setia memanjakan kita besok lusa? Intinya, jangan terlalu bahagia apalagi riya. Jangan-jangan, kamu belum kena batunya aja’.
Tapi ya, hidup jangan dibuat terlalu mudah tanpa tantangan. Saya berusaha membayangkannya seperti mengarungi samudra di atas kapal layar besar. Kamu adalah ‘the captain’. Sang kapiten tidak pernah berlayar sendirian. Kamu selalu bersama Dia. ‘Dia’ adalah Master Sang Samudra. You’d better be nice to Him. He owns the ocean and the sea. He’s also the master of the wind.
Ibu dan bapak kamu adalah the shipwrights, yang sepapan-demi-sepapan, menyusun dan membangun kapal ini. Sampai pada akhirnya, papan-papan itu tersusun menjadi sebuah kapal tangguh yang disiapkan untuk menempuh cuaca apa pun dan laut mana pun yang dipilih oleh si kapiten. Ya, tugas mereka memang sepenting itu. Tentu kamu tidak mau melayari samudra dengan sebuah perahu kayu kecil dan lupa pula membawa kayuh. Celaka itu namanya.
Ke mana tujuannya? Itu hak prerogatif sang kapiten. The Shipwrights, sehebat apa pun karyanya, bukanlah penentu arah kapal. Suatu saat mereka akan melambai-lambaikan tangannya di dermaga, dengan tangis atau dengan bangga, melepas kepergian kapalnya yang akan mengarungi samudra.
Doa mereka sederhana saja; semoga suatu saat kapal layar ini akan kembali menengok para shiprights tua. Mereka berharap sang kapiten akan menceritakan ada negeri apa di luar sana. Karena mereka sudah mendengar bahwa di luar sana ada negeri bernama ‘Masa Depan’.
The Master of the wind sebenarnya adalah yang paling punya kuasa. Dia punya hak untuk meniupkan angin ke arah mana pun yang Dia suka. Kadang searah dengan tujuan sang kapiten –kadang-kadang kebalikannya. Oleh karenanya kadang-kadang hidup kamu terasa pelan, berat –serasa tanpa asa.
Tenang… mungkin kamu memang sedang melawan arah angin. How ever slow …. sail on, captain! Tujuan kamu tetap di sana. Lagipula belum pernah ada angin yang bertiup satu arah sepanjang masa, nanti juga berubah arahnya. Ketika angin kembali berada di punggungmu, silahkan kembali tertawa.
Kenapa angin tidak selalu bertiup ke arah yang kamu inginkan? Ah, di sinilah egoisnya kita. My dear Capitan, kapal anda bukan satu-satunya kapal di samudra.
Ketika kamu berlayar ke utara, mungkin ada kapiten lain yang ingin berlayar ke selatan atau barat daya. Ketika angin sedang bertiup ke selatan, tidakkah kamu lihat pelayar lain yang bahagia karena kapalnya didorong angin besar dari belakangnya? Kadang kala, sebagai seorang pelayar sejati, kamu harus belajarlah menikmati kebahagiaan pelayar lain yang juga sedang mengarungi samudra.
Namun jika angin dan ombak tidak kunjung ada di belakangmu. Santailah sedikit. Belajarlah memancing, nikmatilah laut yang tenang, rasakan nikmatnya angin sepoi-sepoi yang meniup muka. Karena sedikit bersantai bukan berarti sang kapiten lupa arah. Yang penting jangan lupa daratan. Kamu hanya menunggu saat yang tepat untuk mengembangkan layar di hadapan angin yang mau kerja sama.
“Maaf, bersantai bukan sifat aku —sang kapiten besar—. kapiten harus selalu bekerja keras mewujudkan mimpi —dan agar kaya raya”.
Ah … masa? Kalau lah kunci meraih kekayaan itu adalah kerja keras, berarti seharusnya orang yang paling kaya di dunia itu adalah orang yang kerjanya paling keras, bukan?
Kenyataannya salah satu orang paling kaya di dunia, ternyata adalah seorang nenek-nenek yang sejak lahir pun sudah punya tanah seluas Britania Raya. Elizabeth namanya.
Lupakan dulu kekayaan, el capitan. Ada banyak peluang di tanah sana yang tidak bisa ditakar hanya dengan timbangan harta. Life will be more rewarding, when you measure it by the oportunities you grab, rather than the gold coins you take.
Ketika angin berhembus, saatnya kembali layar kau kembangkan. Saatnya kau pacu semangat anak buahmu. Pastikan mereka bersamamu sampai di sana. Jangan sampai mereka meninggalkanmu. Atau lebih buruk lagi; kau meninggalkan mereka.
Kalau kau berani meninggalkan mereka, bayangkan rasanya ketika akhirnya kamu injakkan kakimu di tanah tujuan yang dulu kau impikan. Sendiri dan sepi. Tanah baru mu tak akan terasa seperti negeri masa depan. Pulang pun kau tak akan bisa. Wassalam, kapiten.
——
*Ditulis di tengah perjalanan.