Kemarin-kemarin saya sempat ingin juga ikut-ikutan posting foto saya sekarang dan sepuluh tahun yang lalu untuk meramaikan 10 Years Challange yang sedang ramai di feed dan timeline. Tapi ternyata kalau dilihat-lihat, dalam kurun waktu sepuluh tahun, gak banyak juga yang berubah selain tambahan rata-rata satu kilogram berat badan dan lima lembar uban per tahun.
Ada sih perubahan yang signifikan. Dulu, waktu masih kepala tiga, begadang tiga hari, tinggal dibayar istirahat sehari. Sekarang, begadang sehari, gak enak badannya tiga hari 🙂
Tapi yah semua itu gak kelihatan dari foto sih. Itu mah bagian daleman mesin.
Nah, saat browsing-browsing foto tahun 2009 di google photos, saya menemukan foto ‘kejayaan masa lalu’. Waktu itu saya dan Hanafi masuk tabloid Nova. Kita dimuat dalam satu halaman penuh atas ‘kesuksesan’ kita membesarkan MAHANAGARI –brand kampanye budaya Bandung via desain kaos oblong, dan kegiatan-kegiatan kreatif lain.
Di jamannya, masuk tabloid Nova itu berasa seperti ulang tahun. Hampir semua temen yang membaca langsung kirim pesan, nelepon, ngasih selamat dan sebagainya. Bisa jadi karena pembaca tabloid Nova itu mayoritasnya ibu-ibu muda. Mereka mah sudah jadi viral news
carrier, jauh sebelum internet ditemukan.
Saat membaca artikel itu, saya baru sadar bahwa perubahan yang paling nampak antara sekarang dibandingkan sepuluh tahun yang lalu bukanlah pada orangnya –tapi pada brand-nya.
Mahanagari, paling tidak untuk saat ini, masih menjadi nama resmi Perseroan Terbatas kami, tapi tidak lagi menjadi brand utama yang kami kembangkan. Karena sejak 5 tahun yang lalu, toko terakhir Mahanagari sudah kami tutup –dan sejak 4 tahun yang lalu kami fokus mengembangkan sebuah brand baru bernama Torch.
Saat tulisan ini dibuat, kalau iseng-iseng mengetikkan nama ‘ben wirawan’ di google, maka yang akan muncul bukan lagi foto saya bersanding dengan merek Mahanagari. Kemungkinan besar salah satu yang muncul adalah foto di bawah ini:

Bukan foto terbaik saya sih .. hehehe … tapi mari kita fokus pada tulisan di bawah nama saya: co-founder & director TORCH. Well, bagaimana ceritanya co-founder Mahanagari berubah menjadi co-founder Torch?
Jadi gini, Guys. Saat itu, sekitar 5 tahun yang lalu, saya merasa bahwa Mahanagari sedang berjalan seperti pemain sepak bola yang terjebak dalam liga yang terlalu kecil. Agak mirip dengan nasib seorang Messi jika ia memutuskan untuk merumput di Liga Indonesia. Alih-alih liganya akan tambah maju mengikuti kaliber sang Messi, tampaknya justru seorang Messi akan turun performanya jika membiasakan main di Liga 1 kita.
Hal yang sama sebenarnya terjadi di Mahanagari. Jika mengukur kualifikasi SDM orang-orang di Mahanagari, lalu melihat pergerakan dunia bisnis di sekeliling, saya sebagai pemimpinnya dapat mengatakan jelas bahwa kami terperangkap di bisnis yang tidak memberikan tantangan dan peluang yang cukup besar di masa depan.
Padahal, anak-anak saya akan bertambah besar. Anak-anak karyawan lain pun akan tumbuh besar dan membutuhkan biaya pendidikan dan biaya-biaya lain yang semakin lama akan semakin tinggi. Mampukah kami menggaji mereka di masa depan. Akankah tim ini akan tetap ada, jika pertumbuhannya hanya secukupnya?
Sebagian dari kita mungkin berkata, “Tapi perusahaan saya masih tumbuh di angka yang bagus. Sepuluh persen per tahun! Dua kali pertumbuhan ekonomi negara ini.”
Alhamdulillah kalau memang masih tumbuh. Tapi jangan sampai salah mengukur, ya. Kita harus selalu mempertimbangkan inflasi, kenaikan harga bahan baku, kenaikan biaya distribusi, dst. Sehingga harga jual produk kita punya kecenderungan harganya naik, paling tidak 5%-10% per tahun. Pencatatan omzet yang naik di bawah 10%, bisa saja hanya karena kenaikan harga jual. Sejatinya perusahaan kita tidak bergerak ke mana-mana.
Apalagi banyak di antara kita adalah otak dan otot dari perusahaan-perusahaan rintisan, yang diharapkan memiliki pertumbuhan dalam lima tahun pertama bukan lagi dalam hitungan puluhan persen atau ratusan persen –tapi ribuan persen. Bagaimana caranya kalau kita, pemimpinnya, merasa cepat puas dan takut mencoba sesuatu yang baru?
——-
Kemarin, saya berkenalan dengan sorang teman baru. Usahanya sudah berumur 5 tahun, tapi dia bilang pertumbuhannya pelannnn sekali. “Naik sih, tapi sedikit-sedikit. Bantuin saya memecahkan masalah pemasaran produk saya, kang.”
Dari nada bicara dan raut mukanya, saya bisa merasakan bahwa sebenarnya usahanya tidak dalam keadaan yang baik. Dia terlihat ragu dengan kemapuan timnya untuk menjual produk yang mereka produksi –apalagi di zaman digital marketing yang menurutnya ‘kompleks’ dan ‘mengawang’. Satu hal yang dia yakin adalah ‘ada masalah dengan marketing di perusahannya’.
Nah ini dia. Sering kali ‘marketing’ dijadikan menjadi kambing hitam sekaligus juru selamat yang diharap-harap datang untuk memecahakan masalah tidak sehatnya perputaran produk di pasaran. Tanpa pernah melakukan general check up terhadap semua komponen bisnis –termasuk business modelnya.
Padahal, benarkah penyebab macetnya produk kita adalah kinerja marketing yang buruk?
Kadang iya. Kadang tidak. Tapi setidaknya, kita memiliki tanggung jawab untuk memastikan dahulu apa penyebabnya. Jangan sampai kita salah memberi obat. Karena obat paten termahal untuk sakit jantung pun, tidak akan mampu menyembuhkan sakit maag. Betul, kan?
Banyak cara untuk mendiagnosa masalah yang terjadi di dalam sebuah perusahaan. Semuanya membutuhkan data-data untuk dianalisa. Data valid. Data primer. Historical data.
Itu sebabnya, usaha kecil yang tidak melakukan pencatatan (supply, desain, sales, keuangan, sdm, dst) dengan baik, sebenarnya sedang menapaki jalur lambat menuju pengkerdilan diri.
Dalam perjalanan sebuah perusahaan, jalur lambat menuju pengkerdilan diri ini lebih buruk dari pada jalur cepat menuju bunuh diri. Karena si pengusaha tidak akan merasakan urgency untuk berubah.
Tanpa terasa sumber daya dan waktu terus terbuang –sementara perusahaan sedang berputar-putar tanpa arah di tempat yang sama. Pencatatan penjualan terasa tumbuh stabil –tapi di nilai yang kecil. Terlalu kecil.
Lama-kelamaan perusahaan tidak bisa membayar kewajibannya. Mungkin sebagian merasa terbebani hutang yang sudah terlalu banyak, sudah terlalu letih untuk berinovasi atau sudah terlalu tua untuk memulai lagi.
Should we say good bye to business?
Maybe not! Karena mungkin kita baru saja lulus kelas 1 dalam bisnis. Teruskan ke kelas 2. Jangan dibuang pengalaman dan pengetahuan kumulatif yang sudah susah payah kita kumpulkan.
Tapi akan lebih berbahaya lagi jika memaksa naik kelas tanpa melihat jejak data dan jejak-jejak keputusan yang lalu. Itu beneran artinya business suicide.
Lebih baik, pertimbangkan untuk melakukan pivot.
Dalam olah raga basket, pivot akan dilakukan oleh seorang pemain ketika dia merasa posisinya mentok – terkunci – tidak lagi mungkin untuk meneruskan bola ke posisi yang lebih memungkinkan untuk mencetak score.
Dari pada bola mati di tangannya, dia akan berhenti, pertahankan bola di tangannya, menjadikan salah satu kakinya sebagai poros di titik terakhir yang dia pijak, berputar mencari arah yang lebih terbuka –lalu mencari pemain lain yang lebih memungkinkan untuk mencetak score.
Bahkan tidak peduli jika pemain yang posisinya lebih terbuka, berada jauh di belakangnya. Operkan pada pemain tersebut. Ciptakan score dari arah, dengan pola, dan pemain yang berbeda. Yang penting score!
Seperti melakukan pivot dalam olah raga bola basket, sebagai pengusaha kita boleh menjadikan salah satu kaki kita (pengalaman-pengalaman sebelumnya) menjadi poros. Sementara kaki yang lain bergerak mencari arah baru agar bisa mengoper bola –mencari arah lain yang lebih baik berdasarkan pengalaman atau data yang sudah kita miliki sebelumnya.
Saya sangat menyarankan melakukan pivot dalam bisnis jika:
- Produk/market fit atau kesesuaian penawaran produk dengan market rendah. Tanda-tandanya, penjualan cenderung flat; penjualan naik tapi landai –walaupun marketing digencarkan.
- Model produksi sudah diperbaiki, tapi permasalahan di supply selalu jadi masalah utama: produksi yang selalu ikut menjadi mahal atau selalu tidak bisa mengimbangi kecepatan permintaan.
- Penjualan selalu naik, tapi tidak terlihat perbaikan di bottom line keuntungan. Struktur harga sudah diperbaiki, tapi tetap sulit mendapatkan keuntungan –berapa pun penjualannya.
Gejala di atas tidak selalu berarti perusahaan dalam masalah parah, tapi kalau masalah di atas ini terjadi berulang-ulang, mungkin saatnya untuk pivot. Ngapain juga kita teruskan berbisnis kalau hasilnya hanya capek?
———
Di tulisan selanjutnya saya ingin berbagi pengalaman melakukan pivot demi pivot ini. Yes, it’s a series of pivots. Doa’kan ada waktu untuk menuliskannya.
Om, yg ini ditunggu ya part II nya
SukaSuka