Saya dahulu pernah jadi relawan tim kampanye politik di sebuah kota. Dalam ketegangan musim kampanye, pernah suatu kali kami berdebat keras di dalam kantor salah satu DPD partai politik, karena saya mendapati di meja rapat terdapat beberapa skrip kampanye negatif bergeletakan. Siap untuk disebarkan –menyerang istri petahana yang mengajukan diri menjadi calon walikota.
Teman-teman parpol menenangkan saya, “Punten, Kang. Skrip ini hanya akan disebarkan jika diperlukan saja, kok. Tidak akan disebarkan jika tidak perlu.”
Namun siang itu, saya tidak beranjak dari posisi saya dan tidak keluar dari ruang rapat sebelum semua rekan berkata langsung di muka saya bahwa kami semua, relawan dan parpol, tidak akan mengeluarkan kampanye negatif –apalagi kampanye hitam– untuk menjatuhkan rival politik kami.
Alhamdulillah, siang itu kami semua berhasil mencapai kesepakatan bahwa tidak akan ada materi kampanye negatif diproduksi oleh kami semua. Jika kami menemukan materi seperti itu, tidak sengaja keluar dari simpatisan misalnya, maka kami akan langsung menarik dan menurunkan materi tersebut. Kami tegaskan bahwa hal tersebut terlarang. Titik.
Kala itu (mungkin sekarang pun) masih banyak partai politik yang meragukan efektifitas sosial media dalam membentuk opini positif dan menggiring suara pada kemenangan sebuah pemilu. Tapi, kami relawan muda kota, sudah sadar sekali kekuatan besar sosial media dalam politik.
Kami sadari juga bahwa pisau ini adalah senjata bermata dua yang hanya akan tunduk pada keinginan dan niat si pemegang pisau. Malapetaka besar ketika digunakan untuk membawa pesan negatif. Sila ke-3 adalah taruhannya.
Maka jadilah kami, tim kuda hitam yang di-bully habis-habisan oleh isu, kampanye negatif dan kampanye hitam yang dikirim oleh rival-rival lain dalam pesta demokrasi yang terasa menggerus hati.
Selanjutnya tidak ada keajaiban yang terjadi. Calon walikota dan Calon Wakil Walikota kami bergerak dari pasangan dengan elektabilitas 6% –menjadi pemenang pilwalkot dengan mengantongi suara 46%, mengungguli 8 pasangan calon lainnya. Dalam 100 hari, dengan bersandar pada kampanye positif dan kompetensi si calon.
Bukan sebuah keajaiban. Bukan. Tentu bukan! Dalam sirah dan dalam sejarah dunia, si kecil yang menang besar itu adalah hal yang jamak. Bertaburan di seluruh penjuru dunia. Tersebar sejak awal peradaban manusia sampai saat ini.
Ini hal yang mungkin bagi umat manusia, dan mudah bagi Allah SWT.
Yang sulit itu adalah tidur nyenyak dan hidup dengan damai sesudah kemenangan, ketika sepanjang jalan kemenangan DAN jalan kekalahan, banyak hati yang kita sakiti, banyak silaturahim yang kita putuskan, dan banyak larangan Allah SWT yang kita langgar.
Bukankah takdir itu milik Allah? Sehingga Dia lah juga yang paling tahu; siapa yang harus menang dan juga yang harus kalah di titik ini.
Saya tetap yakin, sesudah kematian datang pada kita semua. Kita tidak akan ditanya apakah kita kalah atau menang dalam kontestasi kemarin. Yang akan ditanyakan pada kita adalah DENGAN CARA APA kamu kalah –atau menang.
Saling bermaafan lah sejak sekarang. Sebelum saat itu datang. Karena di alam sana, kita memerlukan sebanyak-banyaknya pembela dan sesedikit-dikitnya penggugat.
—–
Wallahu ‘alam bishawab.