‘Mas Yang Terbelakang’ adalah salah satu julukan yang diberikan kepada saya oleh salah seorang guru fisika di masa SMA dulu. Kalimat ini benar-benar bersayap. Memiliki dua arti –yang kalau dipikir-pikir– keduanya ada benarnya.
Benar, saya memang duduk di baris paling belakang di kelas. Benar juga, saya sering termangu tidak tahu harus menuliskan apa ketika diminta memecahkan soal menggunakan kapur di papan tulis kelas.
Saya sering memutuskan untuk berdiri saja di depan kelas, sampai guru saya lelah melihat saya tidak mau menjawab soal, dan akhirnya menyuruh saya untuk kembali ke tempat duduk saya di belakang.
Maka, muncullah julukan ‘Mas Yang Terbelakang’ itu.
Apakah saya keberatan? “Oh…. Sangat!”. Tapi mungkin saya tidak cukup sensitif untuk menangis, dan tidak terlalu pemarah untuk menuntut guru saya ke pengadilan. Lagi pula, tahu diri saja lah. “Ranking ke-38 itu salah kamu, bukan salah guru kamu”, pikir saya membatin.
——–
Never the less, beberapa tahun kemudian saya duduk di salah satu ruang kelas berundak di tengah-tegah kampus ITB. Mengikuti sebuah kuliah pertama yang bertajuk ‘Pengantar Studi Seni Rupa’.
Ya, Mas Yang Terbelakang ini rupanya masih cukup terdepan untuk bisa lulus seleksi ketat untuk masuk Fakultas Seni Rupa dan Desain di jantung Kota Bandung, tahun 1994 lampau.
Walau kalau dalam perspektif salah satu saudara saya, rupanya ini hanya pencapaian mediocre. Untuk dia masuk sekolah seni bukan sesuatu yang pantas dibanggakan. Dalam bahasa dia, “Oh, masuk seni rupa. Kirain masuk tehnik“.
“Jangan didengarkan, Ben. Jangan juga dijawab. Ini hidup kamu. Bukan hidup dia. Berbahagialah untuk pilihan-pilahanmu. Kamu tidak membutuhkan dia berbahagia untukmu“, kalimat itu saya ulang-ulang di hati saya.
Tapi pagi itu rupanya banyak hal akan berubah. Ke dalam kelas masuk seorang dosen yang tidak lagi muda. Jenggotnya panjang. Mukanya tirus. Sorot matanya yang tajam agak kontras dengan aura sejuk yang memancar dari dalam dirinya.
Dia membuka kelas dengan mengatakan, “Selamat datang para mahasiswa baru yang berhasil selamat dari sistem pendidikan di Indonesia“.
Dengan mengatakan, “….. yang selamat dari sistem pendidikan di Indonesia” –dia seakan-akan mengerti what kind of hell we had been through in each of our school.
Hanya anak-anak muda kreatif yang mengerti pujian yang baru saja dia sampaikan. Hanya anak-anak muda kreatif yang langsung bisa menghargai empati yang baru saja dilemparkan sang dosen.
Homo Creativitus Nyusahinikus. Orang kreatif yang nyusahin. Disuruh mengerjakan soal matematika halaman 4, kami malah menggambari halaman tengah. Ketika disuruh mengerjakan soal kimia halaman 46, kami melanjutkan gambar mulai halaman belakang. Itulah kami.
Kebanyakan guru kami sebelumnya, yakin bahwa kami hadir di kelas untuk menyusahkan hidupnya.
Tapi tidak dengan bapak ini; Primadi Tabrani. Untuk pertama kalinya ada seorang guru yang mengatakan bahwa kami memiliki kemampuan potensial yang unik, yang akan sangat berarti bagi masyarakat.
Mirip seperti professor X mengayomi mutan-mutan di sekolahnya, begitu juga Pak Primadi. Dia memberi tahu kenapa kadang kreativitas kami mandeg (and what to do about it). Dia pun memberikan perspektif ilmiah tentang mood yang selalu membayangi kemampuan kami berkarya.
Katanya, “Kalau kamu masih butuh minuman keras untuk menjadi kreatif, berarti kamu masih tidak kreatif. Kuasai mood kamu. Hanya dengan menguasai mood kamu sendiri –maka kamu dapat maju”.
Satu tahun di kelas beliau, telah mengubah cara pandang saya terhadap diri saya sendiri. Saya mulai mengerti bagaimana mengoptimalkan kemampuan aneh bernama kreativitas di dalam diri saya. Saya pun mulai mengerti bahwa perbedaan adalah salah satu gift terbaik dari Sang Maha Pencipta.
Ada efek positif lain sebenarnya. Cara pandang saya terhadap diri sendiri yang semakin positif, dengan cepat mengubah prestasi akademik saya. Mantan siswa SMA dengan ranking 38 ini, dalam 1 semester berubah menjadi seorang mahasiswa semester I dengan IPK 3,8. Not bad, ya?
——–
Kemarin sore saya memaksakan menembus macetnya Bandung untuk menjenguk pahlawan berjanggut dari kampus ITB ini. Beliau terbaring bersama istrinya, bersebelahan di dalam ruang perawatan. Kedua wonderful people ini terserang stroke di hari yang sama.
Dua buah karangan bunga menyambut tamu-tamu yang masuk. Salah satu karangan bunga di sana berubah menjadi obyek selfie para suster karena dikirimkan oleh orang nomor satu di Jawa Barat. *Memang sehebat itu pahlawan kami yang sedang sakit ini.
Saya masuk, menyium tangan keduanya, dan memberanikan diri memberikan sebuah karya kreatif yang telah banyak mengubah hidup kami. Dua pasang sendal Torch Arrafa, yang lahir dari kreatifitas 3 orang muridnya –yang saat ini menjadi salah satu sendal best selling di perusahaan kami.
“Pak Prim, di hari pertama kuliah dulu, bapak telah mengubah hidup saya ketika bapak mengatakan bahwa saya adalah salah satu anak yang selamat dari sistem pendidikan di Indonesia. Kalimat pendek itu mengubah cara saya memandang diri saya dan benar-benar mengubah hidup saya.”
“Mohon dapat diterima sendal best seller karya mahasiswa-mahasiswa bapak dulu di ITB. Semoga bapak dan ibu segera sembuh, ya. Jalan-jalan lagi pakai sendal buatan kami ini.”
Saya memang bukan orang yang pandai menyusun kata-kata saat suasana duka. Tapi saat itu saya melihat mata pahlawan kami berkaca-kaca. Saya bisa melihat kebahagiaan di sana. Kebahagiaan seorang guru yang telah berhasil mengubah hidup murid-muridnya.
——
Kadang-kadang untuk mengubah hidup kita, yang perlu kita lakukan sebenarnya sederhana saja. Temukan sebuah kelas luar biasa yang diisi oleh ‘seorang resi raksasa’. Diam di dalamnya –dan dengarkan baik-baik apa katanya.
—–

Selamat jalan, Pak Prim. Semoga semua ilmu yang bapak berikan pada kami akan membawa bapak ke surga yang paling tinggi. Aamin Ya Rabbalalamin.