Belakangan saya suka sengaja checking-checking akun pengajian Pemuda Hijrah-nya ustadz Hanan Attaki di Instagram. Lumayan, sambil nyetir mobil pulang ke rumah, kalo kebetulan ustadz Hanan sedang live, saya suka pindahkan channel dari acara ‘Sore Bara-Harsya’ di Delta FM –ke instagram stories Ustadz Hanan.
Topik sore itu menarik, membahas sebuah hal yang dulu saya pikir kontradiktif. Masalah ikhtiar sambil tawakal. Wajar dong, otak saya yang straigh forward agak sulit menerima dua konsep yang (rasanya) bertolak belakang ini.
Ikhtiar pada dasarnya adalah konsep islam dalam cara berpikir dan mengatasi permasalahan. Allah memerintahkan hamba-Nya untuk berikhtiar dan melarang manusia untuk berputus asa. Kalau kita mengaku beriman, maka kita juga harus meyakini bahwa rahmat Allah ada di depan menunggu kita. That’s why there’s no quitting for a muslim.
Sementara tawakal adalah sebuah sikap untuk bersandar dan berserah diri pada Allah. Lalu bagaimana caranya berikhtiar sekuat tenaga —sambil di saat yang sama— menyerahkan apapun yang terjadi kepada takdir Allah?
Kenapa enggak ikhtiar aja dulu. Kalau gagal, baru tawakal?
Jujur, hal ini terasa bertentangan bagi saya, sampai Ustadz Hanan Attaki mengenalkan saya pada diri saya sendiri, melalui instagram.
Katanya, “Ikhtiar itu amalnya seluruh badan kita. Ketika kita ingin mencapai sesuatu; tangan, kaki, mata, mulut, otak, jantung, dan semua organ tubuh kita harus sejalan kearah sana.”
“Sementara, tawakal itu amalnya hati. Hati (heart, bukan liver) tetap harus terkoneksi tanpa putus kepada Allah SWT -Sang Penulis Takdir- siap menerima apapun yang akan terjadi.
Jadi ada dua bagian diri kita yang harus menjalankan fungsinya masing-masing: raga dan hati. Penting banget juga agar kerjanya tidak tertukar. Jangan sampai badan melakukan kerja hati, atau sebaliknya hati melakukan kerja badan.
Karena badan yang terlalu tawakal artinya pemalesan.
Hati yang terlalu ikhtiar artinya baper.
Perkataan Ustadz Hanan membuat saya berpikir lebih dalam. Saya gak nyangka bahwa saya selama ini tidak menyadari hal simpel itu; bahwa badan kita -termasuk otak- sebenernya hanya kendaraan duniawi kita untuk menjalankan misi kita di dunia.
Bahwa sebenarnya supir kendaraan tersebut, setiap saat selalu (harus) terkoneksi dengan penciptanya melalui hati. Itu sebabnya hati itu selalu ghaib, tapi setiap saat selalu membisikkan guidence pada kita –yang sering kita sebut sebagai kata hati.
Oh … mungkin itu sebabnya orang-orang yang selalu terkoneksi dengan Tuhannya, seakan-akan, lebih mudah melihat jalan terbaik yang harus ditempuhnya. Komunikasi yang dia bina dengan Allah SWT lancar. Dia bisa mendengar “suara Tuhan” dengan lebih jelas.
Tiba-tiba saya teringat ketua dpr yang terhormat (sengaja pakai huruf kecil. sentimen!). Bukannya kangen sama dia, tapi saya tidak bisa membayangkan orang yang hatinya berperang dengan badannya seperti itu.
Jika badan manusia terhubung dengan penciptanya melalui hati, sama seperti hp android saya terkoneksi dengan google melalui internet. Maka, apa jadinya badan manusia yang hatinya tidak mau berkomunikasi dengan penciptanya?
Kalau HP yang tidak pernah diupdate aja lama-kelamaan makin mudah di-hack, rawan terserang virus, nge-hang, dsb. Lalu apa kabar badan Setya Novanto yang tampaknya udah memutuskan komunikasinya dengan hatinya sendiri? Berkelahi sama Tuhannya sendiri?
Saya kasihan sama dia. Bahkan untuk sebuah DPR yang tidak produktif seperti di Indonesia, gak mungkin bapak ketua itu kerjanya santai. Pasti pulangnya malam terus!
Dan walau saya yakin sakitnya dia kemarin memang di-pas-pas-in dengan jadwal panggilan KPK.
Tapi kok saya rasanya yakin juga bahwa badannya dia sedang runtuh pelan-pelan.
Mudah-mudahan pak ketua segera sadar -segera insyaf. Sebelum sakit hati.