Hal ini saya tahu ketika bercermin pada bapak.
Dulu Bapak cukup berdiri menggandeng tangan saya yang mungil. Badannya yang menjulang tinggi di antara bapak-bapak lain, cukup membuat saya punya perasaan kelas wahid. Perasaan bangga.
Yang dia lakukan sederhana. Menemani saya menonton bioskop di Pantikarya –bioskop bergengsi di tengah Kota Bandung tahun 80-an. Dari film Ultraman sampai Godzilla, bapak adalah pengawal saya. Dulu, menonton itu padat gengsi. Menonton itu aktivitas yang harus ditemani orang spesial. Untuk saya yang belum bisa beli tiket sendiri, cukuplah bapak –yang tinggi– berdiri menggandeng saya. Ketika bapak menggandeng saya di dalam antrian –saya pun merasa setinggi bapak. Keren.
Sayang, Bapak tidak selalu ada di dekat saya saat saya masih kecil. Bapak tinggal di hutan Tarakan, Kalimantan. Dia pemimpin cabang produksi perusahaan kayu lapis di seberang pulau. Sejak muda dia memang merantau jauh dari keluarganya. Dia agak mirip Lone Ranger. Menikmati kesendirian di lingkungan yang asing.
Kata Mamah, bapak muda itu orang yang lempeng luar biasa. Di era kontrol perusahaan jaman dahulu yang jauh dari ketat, sebenarnya dia dengan mudah bisa mengirimkan kayu-kayu Indonesia kepada cukong-cukong negara tetangga. Pengiriman satu kapal barang gelap seperti itu, bisa membuat dirinya pensiun dini berlimpah harta. Tapi bapak adalah bapak. Menurutnya hidup itu harus sesimpel mungkin. Hidup dalam berbohong itu terlalu kompleks untuk dijalani. Not his style –not worth doing.
Suatu hari kala saya masih SMA, dia membawa seekor anak ayam kecil yang terlihat sakit dari depan rumah.
“Ben, tolong bantu”, katanya. “Tolong pegang anak ayam ini.”
“Ini ayam kenapa, Pak?” tanya saya agak gemetar, karena belum pernah memegang anak ayam yang sekarat.
“Ayam ini sepertinya salah makan”, katanya pendek.
Dia dengan cepat mengambil pisau kecil yang dia bersihkan dengan alkohol.
“Tangan kamu harus tenang, Ben. Jangan bergerak-gerak.”
Tangan bapak tampak meraba-raba sepanjang leher ayam itu, lalu disayatkanlah pisau kecil itu ke lehernya.
Tidak lama kemudian dia mengeluarkan sebutir jagung kering yang rupanya mengganjal saluran pernafasan mahluk kecil yang malang itu.
“Pegang terus, Ben. Bapak mau ambil jarum dulu”, sambil berjalan cepat ke belakang.
Dia kembali dengan sebuah jarum yang sudah dibakar dan seutas benang jahit. Lalu dia jahit luka sayatan di leher si ayam kecil. Sambil berbisik pelan, “Makanya jangan pernah makan sesuatu yang terlalu besar untuk kamu makan.”
Saya ingat, ayam itu akhirnya selamat –sehat kembali. Menjalani hidup panjang –sepanjang kehidupan seekor ayam. Lumayan.
Sampai sekarang, saya ingat juga nasihat dia pada si ayam kecil, “Jangan makan sesuatu yang terlalu besar untuk kamu makan.”
Bapak memang tidak mendorong saya untuk mengejar hal-hal besar di dunia. Tapi dia lah yang mengajari saya untuk peduli pada hal-hal kecil dalam kehidupan. Mungkin, kemuliaan hidup memang pernah tidak diukur dari ukuran besar-kecil masalah, tapi dari ketulusan niat dan keberanian bertindak. Bapak tahu itu sejak dulu. Dia tidak pernah mengatakannya langsung pada saya. Dia memilih untuk perlihatkan langsung di depan anaknya.
——
Pak ….
Seorang ayah memang tidak mungkin sempurna. Saya sadari itu ketika saya pun akhirnya menjadi seorang ayah. Saya sekarang mengerti kenapa Bapak sering diam. Karena kadang diam-mu memang lebih mampu membawa kebaikan bagi keluargamu.
Pak….
Setiap pelukan saya pada anak-anak, setiap tawa yang saya hias untuk mereka, setiap ilmu yang saya turunkan pada mereka, setiap hal baik yang saya coba contohkan pada mereka –mudah-mudahan menjadi saksi bahwa saya punya guru yang luar biasa.
Cepat sembuh, Pak. Dunia terlalu sepi tanpa diam-mu.
——–
أَذهِبِ البَأسَ
اشفِ…..!!!! أَنتَ الشَّافِيء
لَا شِفَاءَ إِلَّا شِفَاوءُكَ
Aamiin ya rabbal aalaamiin. .
Tulisannya bagus inspiring as always Omben. .
SukaDisukai oleh 1 orang